Mohon tunggu...
Muhammad Handar
Muhammad Handar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Semangat berjuang dalam menulis, membaca dan meneliti

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bedah Buku "The Rise Of Majapahit"

1 Februari 2015   18:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:00 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14227633931176045739

[caption id="attachment_394307" align="aligncenter" width="470" caption="Dok. pribadi"][/caption]

Jakarta, Jendela OPMI – Obrolan Pembaca Media Indonesia sebagai salah satu rubrik Media Indonesia. Kembali menyelenggarakan kegiatan rutin berupa bedah buku yang diadakan setiap sebulan sekali. Dalam edisi Januari 2015 ini, OPMI membedah buku novel yang berjudul “The Rise of Majapahit” karya Setyo Wardoyo yang diselenggarakan pada Sabtu, 31 Januari 2015 pukul 15.00-17.00 WIB di Toko Buku Gramedia Matraman lantai 2. Jalan Matraman No. 46-50, Jakarta Timur.

Setyo Wardoyo, penulis dari novel The Rise of Majapahit menuturkan bahwa ia pada dasarnya bukanlah seorang penulis, dalam kesehariannya ia selalu mengurusi talang bocor, parkir yang nggak beres dan sebagainya. Ujar pria yang menjabat sebagai GA Manager di Media Indonesia ini.

Lalu bagaimana semua bisa terjadi ? “semua orang bisa menulis. Hanya modal kesempatan untuk melakukan sesuatu memulainya menjadi tulisan itu ada atau tidak” pungkasnya. Proses penulisan ini pun untuk menyelesaikan ia mengatakan hampir selama 2 bulan puasa. Imbuhnya.

Dalam bedah buku The Rise of Majapahit yang berlangsung, mendapatkan masukan atau kritik dari Bapak DR. Restu Gunawan selaku Kasubdit Diplomasi Budaya Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya sebagai narasumber pada OPMI edisi Januari 2015 ini.

Beliau pun juga seorang penulis buku yang berkaitan dengan sejarah, tapi jika membaca novel pernah namun kalau menulisnya belum pernah. Ujarnya.

Banyak novel yang berlatar belakang sejarah bisa dijadikan sebagai metode pembelajaran di sekolah. Sebagai praktisi di bidang sejarah, beliau pun sangat menyayangkan penerapan pembelajaran sejarah selama ini sangat begitu membosankan, dikarenakan hanya menghafal waktu, tempat, dan nama peristiwa saja.

Selanjutnya, beliau menuturkan memberi sebuah contoh yang pernah beliau lakukan ketika mengajar di sekolah kepada muridnya. Para pelajar yang melakukan tawuran, dengan saling melempar batu satu sama lain, sesungguhnya mereka termasuk orang yang primitif. Salah satu contoh yang beliau paparkan dalam pembelajaran sejarah harus memberikan kritik yang baik sehingga dapat dipahami dengan sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Pungkasnya.

Dalam kisah kerajaan Majapahit ibarat seperti oase atau ladang bagi para ilmu pengetahuan. Dalam penjelasannya, beliau menyatakan suatu tanda-tanda bahwa kerajaan Majapahit begitu luas daerah kekuasannya bersumber terdapat di dalam tiga buah kitab, yaitu kitab Negarakertagama, Sutasoma, dan Pararaton.

Selain itu, dengan semangat kebangsaan, diistilahkan zeitgeist. Beliau mengemukakan dua hal yakni retorika dan anakronisme. Retorika yang dimaksud bahwa penulis telah berhasil membuktikan untuk menyelesaikan novel tersebut. Lalu, anakronisme, menurut beliau dapat dikatakan sebagai menuliskan sesuatu sesuai zaman. Misalnya, dalam halaman tertentu di dalam buku novel ini tertulis “lantai yang bersih dan mengkilap”. Padahal jika ditilik pada zaman lalu, lantai itu belum pakai keramik, masih batu-bata. Dan, dalam halaman 48 tertulis “tangan kirinya memeluk boneka jerami yang menemani tidurnya sejak selepas senja”. Beliau mengungkapkan bahwa boneka ada/masuk di Indonesia, pertama kali semenjak Belanda datang ke Hindia Belanda.dan, contoh terakhir yang beliau kritik dalam novel ini, yaitu ada adegan Kertanegara memotong salah satu kuping pasukan Mongol dengan menggunakan keris. Padahal, hakekat sesungguhnya, keris digunakan untuk menusuk, bukan untuk memotong. Papar beliau.

Hal yang menarik dari isi buku ini sebagai salah satunya banyak terdapat nama-nama desa dan/atau kampung yang barangkali belum diketahui oleh banyak orang. Nenek moyang dahulu, adanya pemberian nama sesuatu pasti ada maknanya. Tambahnya.

Semua tersaji yang di dalam novel ini begitu baik dan mendeskripsikan sesuatu dengan sangat halus dan sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan serta begitu mengapresiasinya atas terbitnya buku ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun