Aksi massa PDIP yang menggeruduk kantor TVone di beberapa daerah adalah hasil dari pemberitaan media yang terbelah dua. Lebih dari sebulan lamanya, masyarakat Indonesia – dan diaspora Indonesia di luar negeri- disuguhi oleh gegap gempita pemberitaan terbelah dua yang menempatkan dua kandidat pada titik yang ekstrim. Meskipun kita maklum bahwa tidak ada media mainstreamyang sepenuhnya objektif, namun posisi memihak terang-terangan itu telah membuat masyarakat tidak memiliki saluran yang berimbang untuk data valid dan berimbang untuk memilih siapa yang menurut mereka layak memimpin negeri ini maksimal 10 tahun kedepan.
Yang justru terjadi sekarang adalah suguhan media yang menggiring masyarakat untuk terjebak dalam opini yang membingungkan dan bias. Masyarakat menyaksikandan membaca pemberitaan emosional masing-masing kubu yang cenderung membabi buta menonjolkan jagoannya serta menindas lawan jagoannya itu dengan menyajikan unsur-unsur quasi berita dan pemilihan kata-kata yang menonjolkan opini ketimbang fakta.
Kita tertawa ketika membaca berita tentang wartawan yang dengan lebaynya melaporkan mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan saat menghadiri acara Prabowo. Disaat yang sama, kita juga prihatin turunnya berita tendensius yang sedemikian rupa mengabarkan gara-gara Jokowi, seorang ulama meninggal dunia.
Pemberitaan jenis ini sedemikian masifnyadan merata di semua media termasuk yang mengklaim sebagai yang objektif dan independen. Tidak heran jika semua hasil survey menunjukkan porsi besar swing voters yang belum menentukan pilihan. Bisa jadi mereka ini adalah kelompok masyarakat yang bingung hingga berpindah-pindah pilihan dan kelompok yang ‘muak’ dengan pemberitaan yang ada hingga mereka cenderung untuk golput pada tanggal 9 Juli nanti.
Janji Yang Teruji
Adalah sudah menjadi rahasia umum, kampanye adalah obral janji manis. Masyarakat juga paham bahwa janji-janji itu pasti tidak akan terpenuhi semuanya. Karena itu, adalah sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui dan memahami janji-janji dari para kandidat yang wajar, rasional, kemungkinan besar dilaksanakan ketika menjabat atau sekedar janji-janji kosong. Dan disinilah media yang benar benar independen diperlukan, seperti yang selalu terjadi di pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Pada pemilihan presiden Amerika Serikat, dimana media juga terbelah ,selalu saja ada artikel atau media yang berusaha untuk “bermain ditengah”. Mereka menganalisa janji-janji politik yang terlontar dalam debat presiden dengan mengundang para pakar independen termasuk tim pemenangan masing-masing kubu. Pendapat itu mereka rangkum dalamartikel yang komprehensiflengkap dengan tabulasipendapat yang menjelaskan apakahjanji-janji itu masuk akal atau tidak. Pemberitaan seperti itu bisa di google dengan kata kunci, fact or fiction, US Presidential DebateArtikel ini oleh banyak kalangan dipandang berguna bagi para pemilih sebagai data valid dalam menentukan pilihannya di bilik suara.
Dengan pemberitaan yang dipandang independen itu, maka tidaklah heran jika survey nasionalterhadap 11 kali pemilihan presiden di Amerika menunjukkan bahwa pilihan publik terhadap kandidat tidak melulu ditentukan oleh gambaran kepribadian yang dibentuk oleh media. Malahan, sosok yang mengandalkan popularitasnyatidak selalu menang.Survey itu menegaskan bahwa rakyat Amerika menjatuhkan pilihannya kepada kandidat yang mereka pandang mampu dengan baik mempertahankan pendiriannyapada isu-isu yang dia usung selama kampanye dan debat presiden dengan data-data yang masuk akal.
Berkaca pada apa yang dilakukan media di Amerika, masyarakat Indonesia tentunya sangat berharap munculnya pemberitaan yang menyajikan berbagai rangkuman pandanganpara analis yang independen serta fakta-fakta yang membenarkan atau menafikan janji-janji calon kandidat presiden. Pemberitaan ini sangat diperlukan bagi sebuah keputusan besar mereka saat memasuki bilik suara. Masyarakat ingin tahu fakta-fakta obyektif dan bukannya fiksi yang difaktakan tentang program-program kedua kandidat. Masyarakat ingin tahu masuk akal tidakjanji Prabowo naikkan gaji buruh hampir tiga kali lipat atau tentang dronenya atau tol lautnya Jokowi.
Saya rasa, melaksanakan hal itu belumlah terlembat. Masih ada waktu sampai 9 Juli bagi para pelaku media untuk menurunkan pemberitaan yang memberikan pencerahan dan yang memberikan fakta bukan fiksi yang difaktakan atau berita pelintiran. Pemberitaan ini bisa dipandang sebagai amanat rakyat yang akan menentukan nakhoda bahtera raksasa yang bernama Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H