Gus Mus, begitulah panggilan akrab Dr KH A. Mustofa Bisri. Sosoknya dikenal nyentrik namun berwibawa. Sebagai seorang kiai, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang ini memiliki keistimewaan-keitimewaan yang jarang dimiliki ulama-ulama lain. Di samping pengetahuan agamanya yang mendalam, mantan anggota DPR dan MPR ini juga lihai menulis, bersyair, dan piawai seni kaligrafi. Pemikiran-pemikirannya yang kritis konstruktif lebih banyak diekspresikan melalui karya-karya tersebut. Dalam bidang organisasi, Gus Mus juga aktif di NU seperti ulama kebanyakan. Langkahnya dimulai dari menjadi menjadi salah satu Pengurus Cabang NU Kabupaten Rembang (1970); Mustasyar NU Wilayah Jawa Tengah (1977); Rais Syuriah PBNU periode 1994-1999 dan 1999-2004. Sekarang, Gus Mus menjabat sebagai Wakil Rais Aam PBNU periode 2010-2015.
Gus Mus lahir di Rembang, 10 Agustus 1944, dari pasangan KH Bisri Mustofa dan Nyai Marafah Cholil. Kakeknya, KH Mustofa Bisri adalah seorang ulama berpengaruh. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama besar yang karya-karya penanya tersebar luas di nusantara, di antaranya kitab Al-Ibriz.
Kemampuan Gus Mus dalam menyerap dan menyalurkan beragam fan keilmuan yang dikuasainya membuat banyak orang bertanya-tanya perihal pendidikannya. Ingin tahu lebih dalam mengenai sosok seorang Gus Mus, terutama yang berkaitan dengan pendidikannya? Simak penuturan Gus Mus ketika ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
***
"Saya kalau cerita soal pendidikan itu tidak bisa ditiru, 'kacau'," tutur Gus Mus mengawali pembicaraan. Begitulah orang alim, kalau ditanya perihal dirinya selalu tawadlu', merendah.
Gus Mus memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR), sekarang SD. Setamat SR, Gus Mus berniat melanjutkan pendidikan formalnya di SMP. Namun, ayahanda beliau, KH. Bisri Mustofa ternyata berkehendak lain. Tepat pada hari di mana Gus Mus harus masuk SMP, beliau dikirim ayahanda ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Waktu itu, selain sekolah SR umumnya anak-anak daerah Rembang pada sore harinya belajar agama di Madrasah Diniyyah Nawawiyyah, Tasik Agung, Rembang. Namun, Gus Mus kecil termasuk pengecualian. Bukannya tidak mau mengaji, Gus Mus sejatinya aktif berangkat ke Nawawiyyah bersama kakaknya, KH Kholil Bisri. Akan tetapi, karena kepala sekolah Nawawiyyah waktu itu terkenal galak, Gus Mus tidak ikut masuk kelas bersama kakaknya. Beliau lebih memilih bersembunyi di luar kelas karena ketakutan. Nanti pada jam istirahat, Gus Mus ikut bermain bersama teman-teman yang lain. Namun, ketika jam istirahat sudah habis dan waktunya masuk kelas, Gus Mus kembali bersembunyi.
Sampai Gus Mus harus ke Lirboyo, orang tua tidak tahu kalau sebetulnya beliau tidak madrasah. Dengan pengertian orang tua bahwa Gus Mus sudah pernah belajar di madrasah, paling tidak sudah bisa menulis Arab dan mengerti gramatikanya sedikit-dikit. Padahal, Gus Mus waktu itu sama sekali belum bisa menulis Arab. Gus Mus sempat terkejut ketika langsung dimasukkan kelas III Ibtida'iyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM), Lirboyo. "Mungkin, orang tua saya menceritakan bahwa saya sudah pernah di Madrasah Nawawiyyah, jadi saya dimasukkan kelas III Ibtida'iyyah,"Â kenang Gus Mus.
Karena belum bisa menulis Arab, Gus Mus menyiasatinya dengan menulis latin. Hampir seluruh mata pelajaran MHM semuanya ditulis latin. Kalau sedang pelajaran I'lal, Gus Mus sering diketawakan teman-teman kelasnya. "As-sakin Idza Hurika-hurika bi al-Kasri", karena tulisan latin kan nggak ada huruf ha' gitu" kata Gus Mus sambil tertawa. Bahkan, pelajaran setingkat Alfiyah ibnu Malik pun ditulis latin olehnya, disamping juga belajar menulis Arab.
Gus Mus belajar menulis Arab dari papan-papan I'lan (pengumuman). "Waktu itu, santri-santri Cirebon, santri-santri kamar Mars, dan sebagainya, kalau mau mengadakan kumpulan musyawarah selalu buat I'lan. Nah, itu selalu bagus-bagusan tulisan. Saya selalu di papan-papan tulis itu, bawa kertas dan belajar nulis," kata Gus Mus.
Disamping sekolah madrasah, sebagai anak yang masih remaja, wajar jika Gus Mus rentan terpengaruh lingkungan. Alkisah, Lirboyo waktu itu terkenal dengan dunia supranaturalnya. Banyak sekali santri-santri yang melakukan amalan supaya jaduk, supaya macam-macam. Gus Mus rupanya tergoda untuk mendalami bidang klenik tersebut. Bahkan, beliau bergaul akrab dengan almaghfurllah KH Djazuli Utsman (Gus Miek), pengasuh Pondok Al-Falah Ploso yang kemudian dikenal sebagai waliyullah. Pada masa hidupnya, Gus Miek sendiri terkenal khariqal Adat dan kontroversial, salah satunya berdakwah di lingkungan prostitusi. Tak jauh beda dengan Gus Miek, perilaku Gus Mus berlahan mulai mengarah pada tindakan yang khariqul adat; rambutnya dibiarkan panjang, pakaiannya model-model, suka pakai bangkiak, dan segala macam.