Mohon tunggu...
BYZANTHIUM kuchen - Muji Winarko
BYZANTHIUM kuchen - Muji Winarko Mohon Tunggu... wiraswasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

BYZANTHIUM küchen. Interior design & Arsitektur www.byzanthium-interior.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rembulanku

28 Februari 2014   06:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rembulanku

Pernah kulalui…

sebuah masa dengan sejuta kenyataan di pelupuk mata,

Namun

Sungguh tiada setangkai pun berbunga dalam benak yang tebuai kala itu.

Hanyalah kepedihan menyayat

yang menyisakan hingga beranjak kini.

Dialah bunga pertama Dan terakhir yang mengajariku arti cinta.

Apalah arti semua itu,

Bila duri telah engkau tancapkan hingga membiru anganku.

Kenanglah itu demi masamu kini.

“Kini”

Ketika aku termangu dalam masaku kini

Sungguh datar tapak langkah menyusuri hijau dan putih masaku.

Dan sungguh bersyukur bila kujabarkan dalam luasan samudera,

Seakan luapan berjuta jiwa pun tidak berarti untuk mewarnainya.

Akulah kini.

Sepertiga abad tengah kujalani.

Sepertiga masa tengah kurenungkan

Terlintas mimpi masa lalu yang tertinggal.

Ketika itu aku merenungkan seakan pungguk merindukan sang bulan

Dan ketika itu aku hanya bersenandung dalam keperdayaanku.

“Hei,,

Tengah apa engkau termangu di sudut mimpi? “

*masa itu*

Akh,,

Ternyata hanyalah sebuah mimpi tak bertepi

tiadalah mungkin rembulan kan jatuh dalam pangkuan si pungguk

aku bergumam dalam lirih

sambil mencibir senyum tipis yang tak berarti.

“ itu suatu hal yang tidak mungkin aku gapai,

Sudahlah…

Usah kau hiraukan suara lirih hatimu”

Masih dalam biru pertemuan itu,

Terpukau aku karenanya.

Terseret hatiku bebisik lirih dengan kehadiran seorang yang dulu pernah aku kenal.

Tiada makna dan tiada bincang.

Namun sungguh meggores untaian sapa yan menyelinap di tepian telinga.

Hmm…

~To be continue~

Hmm…

Engkau kah itu?

Aku menggeram dalam kesendirian malam kini

Entah tengah terjaga kah kau di sana?

Ataukah engkau tengah berlayar ke tengah samudera bersama nahkodamu?

Aku tak tahu…

Mengapa..

Rasa ini semakin menggunung dan semaikin memuncak?

Sejatinya tiada layak aku mengumandangkan kecamuk hati yang menggeram.

Selayaknya aku bermain di tepi pantai.

Selembutnya pasir kala kusibak

Aku cinta kau

kekasihku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun