Mohon tunggu...
Ahmad Burhan Hakim
Ahmad Burhan Hakim Mohon Tunggu... -

-Penggiat diskusi Malang School (center of international relations studies) dan Madzhab Djaeng (multicultural n social sciene)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Humanitarian Intervention pada Kasus Konflik di Libya

22 Mei 2015   08:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 3033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.Humanitarian Intervention

Humanitarian intervention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan intervensi kemanusian mempunyai arti adanya suatu campur tangan dari negara lain kepada suatu negara untuk urusan kemanusiaan. Yang berarti bahwa suatu tindakan atas nama kemanusiaan kepada negara oleh suatu negara (bahkankelompok negara) untuk melakukan misi kemanusiaan. Namun ada beberapa pendapat ahli yang memberikan berbagai macam arti mengenai Human inetrventions. Menurut Adam Roberts, humanitarian intervention adalah intervensi militer kepada negara lain, dengan kesepakatan yang terbatas atau tanpa kesepakatan dengan pejabat di negara tersebut, untuk mencegah widespread suffering dan kematian sebuah populasi. Memang terkadang campur tangan sebuah negara untuk melakukan misi kemanusiaan dalam sudut pandang Hak asasi manusia agaknya memang benar, namun bagaimana suatu intervensi kemanusiaan tersebut hanya menjadi suatu kamuflase politik negara adidaya semisal Amerika Serikat. Pengerahan kekuatan iliter AS ke Ira katas nama kemanusiaan dengan alasan yang cukup aneh yakni kecurigaan AS terhadap Saddam Husain yang mengembangkan senjata kimia dan ketidak nyamanan rakyat Irak pada kebijakan Saddam yang otoriter membuat AS dan sekutu nekad menyerang negeri abu nawas tersebut.

Irak sebagai negarayang berdaulat dan merdeka seolah menghadapi bencana yang luar biasa dengan invasi AS tesebut pada tahun 2003. Dalam piagam PBB disebutkan memang tidak boleh ada intervensi negara lain (luar) untuk persmasalan dalam negeri suatu negara. Kasus Irak ini tentunya menjadi suatu peristiwa dunia yang harus banyak mendapat pelajaran. Mengingat dalam beberapa kabar yang beredar dan temuan oleh PBB bahwa Irak memang tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang disebutkan oleh AS. Bagi penulis alasan utama penyerangan AS ke Irak bermotif ekonomi belaka, lantaran cadangan minyak di AS sudah mulai menipis, kebutuhan bahan bakar dalam negeri meningkat maka alternative nya yakni menyerang Irak yang punya cadangan minyak melimpah. Intervensi AS atas nama HAM untuk rakyat Irak yang dibawah pemerintahan tirani Saddam, sebagai alasan untuk invasi adalah suatu hal yang sangat munafik dan mengada-ada, karena urusan tersebut sebenarya lebih bersifat dalam negeri irak sendiri bukan urusan AS. Apalagi Saddam Husain dinyatakan sebagai orang yang mengganggu stabilitas keamanan nasional AS, ini sungguh lucu dan tidak masuk akal.

Sementara Simon Dukemendefinisikannya sebagai suatu bentuk penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara (atau sekelompok negara) untuk melindungi warga negara dari negara yang dituju dari pelanggaran HAM berat yang terjadi disana.Ian Brownliemengartikannya sebagai ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata (use of force) oleh suatu negara (atau sekelompok negara) atau sebuah organisasi internasional ke negara lain dengan tujuan perlindungan terhadap HAM.beberapa pendapaat tadi secara garis besar kita bisa melihat bahwa konsepsi mengenai human intervention ini menjadi suatu hal yang akan menjadi benar untuk dilakukan atas nama kemanuasiaan, dari penjelasan Ianbrownlie misal, bahwa intervensi tersebut akan menjadi syahdan benar yang didasarkan atas nama kemanuasiaan.

B.Hak Asasi Manusia

Istilah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Hak ini wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. John Lockeadalah peletak dasar hak asasi manusia. Menurutnya, semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.51 Melalui suatu „kontrak sosial‟ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Dengan demikian, Negara harus mengutamakan

kepentingan rakyat.

Andrew Heywood, berpendapat bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat universal, fundamental, dan absolut. Universal dalam arti bahwa hak asasi manusia adalah milik seluruh umat manusia di dunia tanpa memandang kebangsaan, asal-usul etnik atau ras, latar belakang sosial dan lainnya. Fundamental dalam arti hak-hak asasi itu tidak dapat dicabut: hak-hak asasi manusia dapat dipungkiri ataupun dilanggar namun tidak dapat dihilangkan dari diri manusia. Absolut dalam arti, sebagai landasan dasar kehidupan manusia yang murni, hak-hak asasi itu tidak dapat disyaratkan, atau secara sederhana berarti hak asasi manusia pasti akan ada dan terus melekat dalam diri manusia dalam kondisi apapun.

Persoalan HAM menjadi isu utama dalam pelaksanaan Humanitarian Intervention, banyak alasan berupa pertolongan maupun perlindungan HAM yang menjadi factor utama suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan. Memang kita tidak bisa membiarkan sebuah rezim politik disebuah negara melakukan penghabisan suku (genosida) maupun penindasan kemanusiaanterhadap rakyatnya sendiri. Prilaku negara maju yang sering melakukan Humanitarian Intervention action semisal AS dan beberapa negara Uni eropa memang dalam beberapa perspektif bisa dianggap benar apabila betul-betul atas dasar kemanusiaan. Yang menjadi persoalan apabila tindakan intervensi tersebut hanya bermotif ekonomi dan membuat keadaan semakin tidak kondusif, maka apa yang disebut sebagai Humanitarian Intervention action patut dipertanyakan dan harus dikoreksi ulang. Kasus invasi AS ke Irak menjadi contoh kongrit bagaimana kepentingan ekonomi (minyak mentah) lebih kentara daripada kepentingan untuk misi kemanuasiaan.

C.Negara dan Kedaulatan

Negara merupakan subyek hukum internasional yang paling tua karena negaralah yang pertama-tama muncul sebagai subyek hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh subyek-subyek hukum internasional lainnya. Negara sebagai pribadi dalam hukum internasional harus memiliki kualifikasi: penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah, dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara negara lain. Keempat kriteria tersebut telah dianggap mencerminkan hukum kebiasaan internasional.

Jean Bodin, seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis, merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah kedaulatan sebagai istilah kenegaraan. Menurut Bodin, yang dikenal sebagai bapak teori kedaulatan, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang bersifat mutlak dan abadi. Kedaulatan bersifat mutlak yaitu tidak dapat dibatasi oleh hukum. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah atau kepala negara dapat berganti-ganti, tetapi negara dengankekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus.

Mochtar Kusumaatmadjamengemukakan kedaulatan negara akan berakhir bilamana kedaulatan negara lain dimulai. Dewasa ini selain dibatasi oleh batas negara, kedaulatan negara juga dibatasi oleh hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara lainnya.tentunya negara berdaulat bukan diartikan sebagai negara yang bebas dari segala hukum dan norma yang berlaku dalam norma pergaulan atau hukum internasional. Maka berdaulat itu sendiri juga berarti menghargai kedaulatan negara lain, dengan seperti itu maka kedaulatan akan benar-benar mendapat rohnya, karena ini dari kedaulatan sendiri adalah mengahargai hak asasi dan menghargai kepentingan pribadi.

Bagaiman persoalan humanitarian intervention yang terkadang melanggar kedaulatan sebuah negara. Piagam PBB dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tentang hal ini semakin dipertegas dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1970. Memang PBB sangat menekankan untuk tidak melakukan suatu intervensi kepada suatu negara, karena hal tersebut tentunya melanggar kedaulatan negara dan terirorialnya. Namun para pendukung humanitarian intervention punya pendapat lain dengan acuan piagam PBB pula. Sepertihasil penelitian D'Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan, pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk melakukan penegakan hak asasi manusia. Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah secara hukum internasional apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 2(4) Piagam PBB di atas. Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1(3) Piagam PBB

Alasan mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai tanggung jawab bersama sering menjadi latar belakang yang digunakan oleh negara yang berkepentingan untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Batasan wilayah ataupun terirori negara menjadi kabur adanya, mengingat urusan hak asasi ini menjadi perkara yang serius dan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat internasional. Dalam piagam PBB juga disebutkan bahwa diperbolehkan bagi warga negara suatu negara yang mengalami penindasan yang berkaitan dengan HAM untuk meminta bantuan negara lain guna menyelesaikan persoalam tersebut. Maka intervensi kemanusiaan sendiri menjadi suatu hal yang masih diperdebatkan oleh banyak akademisi maupun praktisi terkait dengan kedaulatan sebuah negara, maupun persoalan HAM yang menjadi tanggung jawab masyarakat internasional.

D.Humanitarian Intervention Dalam Kasus Libya

Libya adalah sebuah negara yang bisa dikatakan makmur walaupun mash dalam kategori negara berkembang. Libya sendiri memang terkenal dengan negara berpenghasilan besar dengan ekpor minyak bumi sebagai salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Namun pada tahun 2011 negara ini mengalami krisis politik yang disebabkan oleh kemauan rakyatnya sendiri untuk melakukan pergantian presiden melalui pemilihan langsung. Hal ini menjadi sebab, karena di Libya selama masa kemerdekaan sampai 2011 belum mengalami pergantian pemimpin.

Negara penghasil minyak ini dipimpin oleh seorang yang bisa dikatakan revolusioner yakni Colonel Moammar Khadafi, dia mempimpin Libya selama kurang lebih 41 tahun, lebih lama 9 tahun daripada presiden Indonesia Soeharto. Setelah Tunisia dan Mesir dilanda krisis politik yang besar, yang disebut juga sebagai arab spring, akhirnya Libya pun menjadi sasaran empuk dari gelombang demokrasi tersebut. Rakyat Libya menuntut pemerintahan khadafi untuk melakukan pemilihan umum sebagai salah satu syarat demokratisasi, setahu penulis dari beberapa literature termasuk media massa, kondidi ekonomi dan jaminan social pendidikan di Libya termasuk yang paling baik ketimbang negara lain di utara afrika, subsidi pendidikan dan jaminan social menjadi cara yang ampuh untuk memanjakan rakyat Libya dengan hasil minyak bumi yang melimpah. Namun kesejahterahan ekonomi yang tidak dibarengi dengan akses politik maupun keterwakilan politik menyebabkan rakyat Libya seolah ditipu oleh khadafi. Mengingat selama puluhan tahun berkuasa, akses politik maupun kekuasaan politik hanya dimiliki terbatas oleh loyalis Khadafi, kerabat dan tentunya keluarga besar Khadafi sendiri.

Hal ini menyebabkan terjadinya demontrasi yang menuntut pemerintahan khadafi untuk melakukan pemilihan umum dan tentunya melakukan pergantian kepemimpinan. Hal ini membuat khdafi geram, mengingat sudah banyaj yang dilakukan oleh khadafi untuk rakyat. Maka khadafi dengan kuasnya melakukan berbagai macam tindakan untuk meredam aksi tersebut dengan menggunakan pendekata militer. Militer digunakan khadafi untuk menyerbu demonstran yang menolak atau tidak pro dengan khadafi. Pada tanggal 17 Februari, terjadi protes besar-besaran dan dalam kurun waktu sekitar seminggu, protes merebak hampir ke seantero negeri.  Meningkatnya jumlah warga yang turun ke jalan untuk melakukan protes ini tentu saja membuat Khadafi khawatir. Oleh sebab itu, Khadafi memerintahkan pasukannya untuk menghalau massa yang protes. Protes yang pada awalnya berlangsung damai pun berbuah kerusuhan. banyak korban jiwa dalam kerusuhan yang terjadi di Libya, sehingga demontrasi semakin besar, dan tentunya hal ini sangat positif bagi kelompok pemberontak yang tentunya tidak pro dengan khadafi.

Masalah yang terjadi di Libya menyebabkan keaman di wilayah kawasan terganggu yang kemudian hal ini direspon cepat oleh masyarakat dunia. Eropa sebagai kontingen yang paling dekat dengan Libya mencoba untuk melakukan intervensi atas nama kemanusiaan pada kasus Libya ini. Atas nama kepentingan kemanusiaan, maka Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata, membekukan asset khadafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan melarang mereka melakukan perjalanan, serta himbauan untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi Libya. Resolusi tersebut juga menyerukan kepada khadafi untuk diperiksa di ICC, namun ia bergeming. DK PBB berdasarkan Piagam PBB bab VII pasal 42, kembali mengeluarkan sebuah resolusi setelah mendapat desakan Liga Arab.  Resolusi yang dikenal sebagai Resolusi 1973 itu berisi tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona larangan terbang) di wilayah Libya, dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam Resolusi 1970. No-fly zone ditujukan untuk mencegah pesawat tempur pasukan Gaddafi melakukan misi pembunuhan dari udara.

PBB mencoba memainkan perananya untuk mengelola konflik di Libya agar tidak semakin membesar, hal ini cerminkan dengan berbagai tindakan soft politik berupa berbagai macam embargo yang dijelaskan diatas. Namun NATO, Amerika dan sekutu khsusnya Eropa mengambil tindakan yang cepat dengan melancarkan operasi Odyssey Dawn pada 19 Maret dini hari. Mereka mulai memasuki dan menyerbu target-target pemerintahan di Libya dengan alasan untuk menegakkan Resolusi 1973. Setelah sekitar lima hari, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO melalui Operation Unified Protection. Pada tanggal 24 Maret, NATO mengambil alih komando operasi laut dan sehari sesudahnya mengambil alih komando operasi udara.

D.1 Intervensi NATO Pada Kasus Libya

Keterlibatan NATO dalam konflik Libya menurut penulis bukan malah meredam konflik tapi malah semakin memperkeruh keadaan. Pasalnya Khadafi yang pada saat itu syah sebagai presiden Libya sangat terganggu dengan datangya NATO. Sebagai pemimpin Libya (yang punya rumah) tentunya Khadafi melakukan perlawanan terhadap NATO yang merasa urusan dalam negerinya menjadi santapan makan siang bagi para orang asing. Harga diri sebagai seorang pemimpin pun menjadi taruhan utama. Pasukan NATO yang digawai oleh AS, Inggris dan Prancis ini tentunya punya kapasitas dan kapabiltas militer yang kuat untuk melawan serangan dari Khadafi. Sebesar apapunkekuatan militer khadafi bagi penulis akan sangat tidak seimbang dengan kekuatan militer dari NATO, maka dengan hitung-hitungan singkat akan sangat mungkin bahwa NATO akan memenangin pertarungan kecil ini.

Ada beberapa justifikasi yang digunakan NATO khususnya Prancis dalam melancarkan serangan ke Libya. Pertama, pertama upaya pemusnahan senjata kimia yang digunakan olehLibya.Dugaan kepemilikan senjata kimia oleh Amerika Serikat dan sekutunya termasuk Prancis telah diungkapkan sebelum invasi ini berlangsung. Menurut The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons, mereka telah menemukan senjata kimia rahasia milik mantan rezim Khadafi berupa gas mustard yang mampu merusak kulit dan organ dalam manusia. Alasan yang hampir serupa dengan yang dituduhkan AS terhadap Irak (Saddam Husain) pada saat invasi pada tahun 2003. Penulis menganggap terkdang alasan yang dipakai oleh negara maju (khususnya) yang akan melakukan invasi atas nama kemanusiaan terkadang mengaada-ada.

Alasan kedua yakni penghilangan penggunaan kekuatan udara terhadap warga sipil. Seperti yang kita ketahui bahwa Libya menggunakan serangan udara yang dimiliki oleh militernya tanpa pandang bulu,darimenghentikan serangan pemberontak hingga demonstrasi besar-besaran oleh kaum oposisi. Kemudian alasan ketiga adalah untuk menjamin rakyat Libya mendapatkan hak-haknya seperti hak hidup, kebebasan, berserikat dan bekerja.Jaminan terhadap HAM seluruh warga negara seharusnya menjadi tanggung jawab negara itu sendiri. Namun apabila pelanggaran justru dilakukan oleh suatu rezim pemerintahan yang otoriter maka negara lain mampu melakukan intervensi atas dasar humanitarian.

Keterlibatan NATO atas nama kemanusiaan ini memang cukup riskan untuk difahami, alih-alih menyelamatkan rakyat Libya dari kediktaktoran Khadafi semua urusan menjadi serba wajar dan diamini oleh sebagian negara eropa bahkan AS sendiri. Tentunya dalam hal ini persoalan kedaulatan negara (Libya) menjadi kabur adanya. Mengingat kalo sudah persoalan kemanusiaan yang menjadi motif maka semua batas maupun makna dari negara berdaulat itupun akan hilang sebagai kosenkuensi dari intervensi tersebut. Hak Asasi Manusia rakyat Libya sebagai bagian dari masyarakat Internasional (cosmopolitanism) menjadi suatu perkara serius bagi negara-negara besar yang berkepentingan atas kemanusiaan. Namun bagi penulis “there is no free lunch”, maksutnya bahwa mereka (NATO dkk) tidak akan mau mengeluarkan biaya besar dengan menerjunkan pasukan militernya hanya untuk persoalan rakyat Libya yang menginginkan demokrasi. Setalah berbagai macam serangan militer yang dilakukan oleh kelompok pemberontak dan NATO akhirnya Khadafi harus tumbang dan harus meregang nyawa oleh rakyatnya sendiri pada tanggal 20 Oktober 2011.

D.2Motif Ekonomi dalam Humanitarian Intervention

Persoalan ekonomi politik menjadi latar belakang yang palingmasuk akal atas tindakan NATO kepada Libya. Cadangan minyak mentah Libya yang cukup besar, tentunya menjadi magnet tersendiri bagi NATO untuk melancarkan serangan-serangan tersebut. Karena apabila dilihat dari persoalan lain yang bersifat kemanuasiaan seperti di Rwanda, Somalia, Myanmar , kamboja dan israel-palestina misalkan yang lebih membutuhkan intervesi asing untuk menyelesaikan persoalan dalam negerinya, para negara adidaya serupa Amerik Serikat seolah bungkam dan menutup mata atas kasus-kasus tersebut. Bukan memberikan bantuan kemanusian adalah hal yang wajib bagi negara maju?, dengan kapasitas dan kapabilitas militer yang mumpuni tentunya negara-negara besar tersebut diharapkan mampu membantu menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di negara yang disebutkan diatas.

Nyatanya mereka (AS dan sekutu) seolah hanya akan ikut andil dalam suatu penyelesaian konflik tertentu yang bagi mereka ada suatu timbal balik yang pantas mereka dapatkan setelah mereka melakukan humanitarian intervention pada kasus tersebut( sebut Irak, mesir,Tunisia dan Libya). Will of economi bagi penulis menjadi factor penting dalam keterlibatan negara-negara besar untuk ikut campur dalam persamalahan dalam negeri orang yang katanya bersifat kemanusiaan. Kemanusiaan dalam model apa yang menjadi tolak ukur negara besar merasa harus ikut campur. Kemanusiaan yang bagaimana yang harus diatasi? Apakah persoalan pembataian muslim palestina oleh israel bukan persoalan kemanusiaan, apakah pembantaian muslim rohingnya oleh pemerintah Myanmar bukan persoalan kemanusiaan?, aksi tebang pilih yang dilakukan negara besar khsusnya Amerika Serikat menunjukkan bahwa mereka tidak serius dalam menegakkan HAM dan menciptakan perdamaian.

PBB sebagai organisasi yang mereprentasikan penduduk dunia malah seolah main mata dengan kejadian-kejadian tersebut. Walaupun dalam piagam PBB termuat bait-bait yang sungguh humanis dan meaning peace,nyata PBB tidak berani menindak tegas negara besar yang melakukan intervensi kemanusiaan yang malah tindakan mereka tidak mencerminkan kemanusiaan itu sendiri. Maka bagi penulis dengan kasus Libya ini intervensi kemanusiaan disalah gunakan oleh negara besar yang berkepentingan didalamnya sebagai kedok untuk melancarkan misi misi politik ekonomi untuk negara mereka sendiri. PBB pun seolah diam tidak berdaya atas kasus Libya, tentunya hal ini sudah pernah terjadi ketika AS menginvasi Irak. Yang dalam beberapa sudut pandang invasi AS ke Irak bukan malah semakin menjernihkan keadaan namun malah semakin memperkeruh kedaan dan mempercah belah rakyat Irak.

Adam Roberts, Humanitarian War : Military Intervention and Human Rights,

International Affair, Vol.69, no3, 1993, hlm.445

Simon Duke, The State and Human Rights : Sovereignty versus Humanitarian

Intervention, International Relation, Vol XII, No2, 1994, hlm.27

Simon Duke, The State and Human Rights : Sovereignty versus Humanitarian

Intervention, International Relation, Vol XII, No2, 1994, hlm.27

Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999, Menimbang

Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999, pasal 1

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,

Bandung, 2011, hlm.139

Andrew Heywood, Key Concepts in Politics, Palgrave Newyork, 2000, hlm. 131

The Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933, pasal 1

J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, PT.

Pembangunan, Jakarta, 1962, hal. 140-143

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : PT. Alumni,

edisi kedua, 2003, hlm.18

jurnal Fakultas Hukum UI. responsibility to protect :

Suatu tanggung jawab dalam kedaulatan negara. Santa Marelda Saragih. Volume 2, mei – agustus 2011

ibid

http://www.voaindonesia.com/content/milisi-tuntut-otonomi-ancaman-konflik-meningkat-di-libya/1826964.html pada 17/01/2015

United Nations Security Council Resolution 1970 (2011) dalam https://jerryindrawan.wordpress.com/2013/04/23/legalitas-dan-motivasi-nato-dalam-melakukan-intervensi-kemanusiaan-di-libya/ diakses pada 17/01/2015

Security Council of United Nations,‘Security Council Approves ‘No-Fly Zone’ over Libya, Authorizing ‘All

Necessary Measures’ to Protect Civilians, by Vote of 10 in Favour with 5 Abstentions

JPNN, ‘Temukan Senjata Kimia Eks Rezim Khadafi’, JPNN

,diakses pada 14/01/2015

rachmat.staff.ugm.ac.id/kuliah/POLINT/Kelompok4.pdf diakses pada 18/01/2015

Ibid

http://www.antaranews.com/berita/453794/libya-hampir-masuk-ke-konflik-berkepanjangan diakses pada 18/01/2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun