A.Latar Belakang
A.1 Sengketa Perbatasan Indonesia – Timor Leste
Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil keputusan untuk memberikan referendum atas nasib timor leste, dan akhirnya dari hasil referendum tersebut rakyat timor-timur berkendak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Timor-leste dulunya adalah wilayah jajahan dari portugis, namun pada tahun sekitar 1975an Indonesia menginvasi timor leste dan akhirnya menjadi wilayah negara Indonesia.Berbagai macam gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi ABRI (TNI Kalo sekarang) terhadap timor leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang luar biasa pada tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi.
Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta dukungan internasional guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 agustus 1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden Habibie mengadakan referendum untuk timor leste dan akhirnya timor leste ingin memisahkan diri Indonesia. Namun timor-timur resmi merdeka dari Indonesia 20 mei 2002 dan berganti nama menjadi republic rakyat demokratik timor leste setelah bergabung menjadi anggota PBB.
Persoalan kemerdekaan Timor leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan malah memilih opsi untuk memerdekaan timor leste. Persoalan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia tidak selesai sampai disitu saja, masalah pelik yang sering muncul yakni masalah perbatasan. Ada beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia – timor leste yang masih belum disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara tersebut. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare dan Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga perbatasan yang banyak memakan korban jiwa, memang pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan timor leste bertemu di Bali untuk membahas masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang isu politik dan ekonomiantar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih menyisakan persoalan. Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013.
Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang terkumpul dari media massa, warga masih berjaga-jaga di perbatasan. Sengketa perbatasan tersebut harus mendapat tindakan dengan melakukan komunikasi politik berupa pertemuan maupun negosiasi ulang, sehingga konflik tersebut tidak berkembang dan malah menjadi konflik yang besar dan terbuka.
Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste.Menurut Kepala Desa Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam titik yang berpotensi konflik itu yakni Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa Nainaban dan Desa Sunkaen, Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa Tubu, Nefonunpo dan Faotben di Desa Haumeni Ana.
Walaupun jika kita melihat konflik perbatasan memang kejadian yang muncul agaknya lebih bersifat komunal antar warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste dan desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Namun dua warga desa yang berbeda negara ini menyebabkan isu konflik maupun eskalasinya menjadi urusan dua negara yakni Indonesia dan Timor Leste. Bagi penulis untuk mencegah konlfik tersebut agar tidak berkembang, tidak perlu adanya intervensi dari pihak luar karena apabila ada intervensi dari pihak luar khususnya Australia bisa jadi konflik tersebut malah akan semakin rumit dan mudah sekali dipolitisasi, mengingat ada kepentingan yang kuat pihak Australia di Timor Leste.
B.Kajian Pustaka
Sengketa perbatasan antara wilayah India-Pakista muncul sejak kemerdekaan kedua negara, wilayah yang menjadi sengekta yakni jammu – khasmir. Wilayah tersebut menjadi sengketa karena masing-masing negara mengklaim bahwa wilayah tersebut adalah daerah territorial mereka. Buku yang berjudul Kashmir : Roots of Conflict , Path of Peace karangan Sumantra Bose 2003 ini menjelaskan bahwa konflik antara India – Pakistan sangat sulit untuk diselesaikan. Perbuatan wilayah Kashmir-jammu menjadi polemic konflik yang tidak berkesudahan.
India – Pakistan juga pernah terlibat perang terbukan untuk memperbutkan wilayah kashmir. Walaupun beberapa kali PBB menfasilitasi mereka untuk melakukan perundingan damai namun konflik tersebut tidak berhenti dan terkadang terjadi eskalasi yang tinggi antar kedua negara. Akhirnya PBB seolah menyerah untuk meng-intervensi persoalan konflik tersebut dan menyerahkan sepenuhnya urusan konflik tersebut pada kedua negara. Selain persoalan perbatasan yang bersifat Tangible ada persoalan idelogis yang tidak ketemu antara India-Pakistan yakni persoalan Hindu- dan Islam.
Sengketa konflik perbatasan India- Pakistan, bisa menjadi suatu refrensi tersendiri untuk menganalisa kasus sengketa perbatasan Indonesia-timor leste. Dengan eskalasi konflik yang tinggi antara India-Paskitan yang sampai memunculkan perang terbuka, diharapakan konflik yang terjadi antara Indonesia – Timor Leste tidak sampai sebesar konflik India-Pakistan.Yang berbeda dari konflik India-Pakistan dan Indonesia-Timor leste yakni tidak ada persoalan ideologis yang menjadi penyebab sengketa perbatasan antara Indonesia-Timor leste.
Konflik territory sering menjadi suatu masalah domestic bahkan bisa berkembang menjadi persoalan dua negara ataupun lebih bahkan menjadi suatu masalah internasional. Eskalasi konflik dan dampak dari konflik tersebut menjadi suatu ukuran dalam memetakan konfik tersebut masuk pada wilayah. Konflik perbatasan secara level analisa dibedakan menjadi beberapa level, pertama yakni sengketa perbatasan domestic yang terjadi didalam suatu negara itu sendiri, biasa sengketa antar batas kota/kabupaten maupun provinsi. Kedua yakni sengketa perbatasan antara dua negara, misalkan terjadi antara Indonesia-Timor leste, India-Pakistan, Kamboja –Thailand dan beberapacontoh lainya. Ketiga yakni persoalan sengketa perbatasan yang melibatkan dua negara atau lebih, misalkan sengekta klaim wilayah Laut Cina Selatan yangmelibatkan banyak negara Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia bahkan Indonesia bisa saja terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan.
Dalam buku Land, Conflict, and Justice : a Political Theory Territory dengan penulis Avery Kolers pada 2009 menjelaskan mengenai konflik perbatasan dengan menggunakan beberapa pendekatan, misalkan yang disebutkan diatas mengenai level analisa konflik perbatasan dengan menggunakan tiga pendekatan. Konsep cosmopolitanism ditawarkan dalam buku ini, bagaimana bahwa sudah tidak umum lagi untuk hari mengatakan mengenai suatu perbatasan wilayah negara (bourderless), cosmopolitanism yang berarti suau konsep mengenai tatanan masyarakat internasional tanpa batas wilayah negara, yang mengasumsikan bahwa tidak ada penduduk negara tapi yang ada hanya penduduk dunia.
Persoala konflik perbatasan yang tidak kunjung usai menjadi salah satu factor atas tawaran konsep cosmopolitanism tersebut. Namun konsep tersebut seolah masih bersifat utopis, karena permasalahan kedaulatan negara menjadi persoalan yang belum bisa dijwab juga ole kolers. Bagi penulis cosmopolitanism bukan menjadi suatu solusi interaktif dalam mengelola konflik perbatasan, Negara tetapa menjadi actor yang penting untuk memenuhi hak warga negaranya. Yang menjadi entry point dalam buku ini yakni bagaimana persoalan konflik perbatasan sudah seharusnya ditinggal dan beralih pada konsepsi masyarakat internasional.
Persoalan politik ekonomi sumber daya juga dibahas dalam buku, bagaiman adanya suatu konflik perbatasan yang disebabkan oleh ketersediaan sumber daya alam. Perkara kesejahterahan juga menjadi suatu pemicu dalam suatu konflik, yang kontrakdiktif yakni bagaimana menyelesaikan persoalan konflik tersebut dengn tawaran konsep cosmopolitanism. Namun yang menjadi suatu prefrensi dalam buku ini yakni bagaimana mengukur level konflik. Dimana hal ini bisa menjadi rujukan dalam mengerjakan tulisan. Sehingga bisa digunakan pada level kedua dalam analisa konflik pada sengketa perbatasan Indonesia-Timor Leste.
C.Pembahasan
C.1 Masalah Sengketa Perbatasan Indonesia – Timor Leste
Persetujuan Penegasan dan Penetapan Batas RI-RDTL tertuang dalam komunike bersama yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirajuda dan Ketua UNTAET Sergio Viera de Mello di Denpasar pada tanggal 2 Februari 2002. Selanjutnya pemerintah RI dan UNTAET sepakat untuk segera melakukan peninjauan lapangan sebagai langkah awal menuju penegasan dan penetapan batas wilayah RI-RDTL.
C.1.1 Masalah di 3 (tiga) Unresolved dan 1 (satu) Unsurveyed area.
a.Noel Besi / Citrana
Daerah sengketa terletak di Kabupaten Kupang, dengan luas + 1.069 Ha, berawal dari sengketa lahan. Pada waktu Timor Timur masih bergabung dengan NKRI, daerah Noel Besi/Citrana merupakan daerah perbatasan Kabupaten Kupang (NTT) dengan kabupaten Ambeno (wilayah Timor Timur). Daerah ini dialiri Sungai Noel Besi yang bermuara di selat Ombai dimana sejak jaman Portugis aliran sungai mengalir di sebelah kiri daerah sengketa.
Dari aspek yuridis, batas Negara menurut Treaty/Traktat 1904 Belanda-Portugis disebutkan muara Sungai Noel Besi mempunyai Azimuth kompas 300 47’ NW kearah pulau Batek dan dari aspek Teknis (menurut Toponimi) nama Sungai Noel Besi terdapat di sebelah timur Sungai Nono Noemna. Mengingat adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam tentang batas darat kedua Negara, masing-masing merasa perlu adanya data/analisis yang lebih lengkap dan akurat
b.Bijael Sunan/Manusasi
Daerah sengketa meliputi daerah seluas ± 142,7 Ha, dikarenakan adanya perbedaan persepsi traktat/Treaty juga di sebabkan karena masalah adat. Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai oleh masyarakat Timor Barat, namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai masyarakat Timor Timur (Portugis). Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang Sungai Noel Miomafo digeser ke utara mengikuti puncak pegunungan/bukit (watershed) mulai dari puncak Bijael Sunan sampai dengan barat laut Oben yang ditandai dengan pilar Ampu Panalak.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemindahan batas wilayah yang dilakukan secara adat dengan melintasi batas antar Negara/batas Internasional, disaksikan oleh Gubenur Portugis dan NTT pada saat itu. Pada kasus manusasi terdapat 2 hal yang cukup menarik, pertama menurut Treaty 1904 garis batas mengikuti Thalweg (walaupun prinsip median line termasuk disepakati), kedua menurut adat, garis batas mengikuti punggung bukit (Bukit Oelnasi). Prinsip delineasi berdasarkan watershed/punggung bukit juga dianut dalam Treaty 1904.
c.Dilumil/Memo
Daerah bermasalah di Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup daerah seluas ± 41,9 Ha, berawal dari sengketa lahan yang berada di delta S. Malibaka sebagai hasil proses pengendapan. Dalam hal ini, pihak RI pada awalnya menghendaki batas wilayah RI-RDTL berada disebelah timur Delta, sedangkan RDTL menghendaki di sebelah barat Delta. Namun pada perkembangan terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL tahun 2004), pihak RI menghendaki penarikan batas sesuai median line yang membagi dua river island/delta.
d.Subina-Oben.
Penyelesaian permasalahan unsurveyed hingga sekarang belum ada kemajuan (titik temu). Oleh karena itu perlu adanya upaya penyelesaian dengan merujuk pasal 6 Provisional Agreement RI-RDTL (2005) yang melibatkan Pemda dan masyarakat setempat. Penegasan dan penetapan batas antar kedua Negara dilakukan lewat forum kerjasama Technical Sub Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR),  yang dibuat berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan oleh Belanda dengan Portugis yaitu Colonial Boundary Treaty 1859, Convention 1893 dan Convention 1904, Masalah batas timbul karena adanya perbedaan fisik lapangan dan penafsiran serta RDTL pernah menjadi salah satu propinsi NKRI
Wilayah yang menjadi sengketa tersebut sering menimbulkan konflik kekerasan antar warga desa dua negara. Kemiskinan didaerah tersebut menjadi salah satu penyebab konflik, mengingat daerag free zone (yang masih diklaim pihak Indonesia – Timor Leste) adalah lahan persawahan yang cukup subur untuk pertanian. Sehingga terkadang warga dari timor leste melakukan penanaman bibit pertanian dilahan tersebut yang mana kegiatan tersebut tentunya sangat tidak disukai oleh warga NTT diperbatasan. Seringnya pihak dari timor leste melakukan pembangunan gedung maupun jalan yangmelewati batas yang ditetapkan membuat pihak Indonesia geram. Bentrok yang sering terjadi di beberapa desa yang telah disebutkan diatas, perlu ada tindakan tegas dan negosiasi damai antara dua pihak (Indonesia dan Timor Leste) untuk menyelsaikan konflik tersebut, sebelum konflik ini berkembang menjadi besar sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.
C.2 Analisa Konflik Perbatasan Indonesia – Timor Leste
Konflik sendiri secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana dua atau lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam waktu yang sama,atau setidaknya aktor-aktor tersebut mempunyai posisi yang dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang sama.Secara lebih khusus, untuk sengketa dan konflik perbatasan, Paul K. Huth menjelaskan ada tiga faktor mengapa wilayah perbatasan sering disengketakan dan menjadi pemicu konflik, yaitu kandungan sumber daya alamnya, Komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya yang strategis secara militer.
Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan timor leste memang lebih disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam) antara kedua warga negara yakni warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Permasalahan mengenai penetepan sengketa batas wilayah antar kedua negara juga menjadi pemicu, namun pendekatan pembangunan ekonomi berupa kesejahterhaan dan tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam konflik tersebut.
Resolusi konflik secara umum dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dengan cara mencari kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam konflik.Menurut Vestergaard, resolusi konflik mencakup dua hal utama, yaitu isu dan relasi (hubungan antar-aktor). Johan Galtung memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi konflik. Pertama, pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya untuk mengurangi atau menghentikan kekerasan melalui intervensi yang dilakukan oleh pihak penengah, umumnya dilakukan oleh militer. Kedua, penciptaan perdamaian (peacemaking), yaitu upaya untuk menciptakan kesepakatan politik antarpihak yang bertikai, baik melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi, maupun konsolidasi. Ketiga, pembangunan perdamaian (peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan sosial ekonomi pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara damai. Dengan tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan sampai ke akar masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut tidak pecah kembali.
Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harus duduk bareng demi menciptakan perdamaian di perbatasan, jangan sampai ketika konflik tersebut mengalami eskalasi baru dua negara muali bertindak. Pendekatan semacam ini harus ditinggal, lebih baik mencegah daripada mengobati. Persoalan kemapanan secara ekonomi maupun yang disebut sebagai kesejahterahan adalah entry point yang harus segara mendapat tindakan dari kedua negara. Intervensi militer memang dibutuhkan dalam ranah pendekatan keamanan secara tradisional namun pendekatan human security harus lebih diutamakan, karena ini menyangkut persoalan hak warga negara dan menyangkut nama baik negara serta keamanan negara tentunya.
C.3 Penyelesaian konflik
Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan resmi dan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait sengketa batas. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7 km.
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati, hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEA menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan memperhatikan dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ikut dipertimbangkan.
Upaya diplomasi yang dilakukan kedua memang perlu dilakukan, hal ini setidaknya penggunaan kekuata structural mampu mengatasi konflik di perbatasan tersebut. Namun perbedaan pendapat antara kedua negara tentang refrensi pembagian batas wilayah juga harus diselesaikan. Apabila sengketa perbatasan ini belum final bisa jadi konflik tersebut akan terulang kembali. Menurut penulis tidak perlu ada campur tangan asing dalam kasus ini, lebih baik Indonesia melakukan kebijakan domestic seperti pengembangan perbatasan diwilayah tersebut begitu juga dengan pihak Timor-Leste.
D.Kesimpulan
Pertemuan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste memang perlu dilakukan guna membahas konflik yang terjadi agar tidak meluas. Pertemuan antara Xanana Goesmau dan SBY pada tahun 2012 yang lalu mengenai kesepakatan perbatasan masih belum selesai dan final. Harus ada pertemuan lanjutan untuk membahas masalah tersebut, mengingat sengketa perbatasan ini apaila tidak ditangaani secara serius maka akibatnya akan besar dan menggangu hubungan antar kedua negara. Namun langkah berupa pertemuan tersebut harus dibarengi dengan penyelesaian konflik di akar rumput.
Baik pihak Indonesia dan Timor Leste harus bisa memberikan pemahaman mengenai batas-batas wilayah negara masing-masing. Sehingga masyarakat di wilayah perbatasan faham betul mengenai tapal batas. Yang tidak kalah penting khususnya bagi pemerintahan Indonesia yakni pendekatan Democratic Peace, berupa pembangunan sumber daya manusia, ekonomi kesejahterahan dan tentunya pendidikan. Selama urusan ekonomi (kesejahterahan) masih menjadi motif utama dalam isu sengketa perbatasan maka akan cukup sulit apabila konflik tersebut mampu diatasi. Pendekatan militer juga masih perlu digunakan, untuk mengamankan wilayah perbatasan, setidaknya pemerintah Indonesia telah membangun penambahan pos pantau perbatasan di beberapa titik perbatasan yang bersebarangan di timor leste.
Pelibatan pemuka adat antar masing-masing warga desa beda negara ini juga harus dilakukan dengan difasilitasi oleh pemerintah kedua negara. Pemuka adata maupun tokoh adat masih merupakan orang-orang yang punya pengaruh dalam masyarakat pedesaan. Dengan dilakukanya pertemuan pemuka adat tersebut diharapkan ada suatu kesepakatan antar kedua warga desa untuk menyelesaikan konflik
http://palingseru.com/10059/20-may-2002-timor-leste-merdeka-dari-indonesia diakses pada 20/01/2015
http://www.tempo.co/read/news/2014/06/25/078587955/RI-Timor-Leste-Saling-Klaim-Lahan-di-Perbatasan diakses pada 20/01/2015
http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/899-konflik-komunal-di-perbatasan-indonesia-timor-leste-dan-upaya-penyelesaiannya.html diakses pada 20/01/2015
Ibid
Tempo, 18 Oktober 2013 dalamhttp://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/899-konflik-komunal-di-perbatasan-indonesia-timor-leste-dan-upaya-penyelesaiannya.html diakses pada 20/01/2015
Sindo , 31 juli 2012 ; Tempo, 2 agustus 2012; dan Kompas, 6 agustus 2012 dalam dalamhttp://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/899-konflik-komunal-di-perbatasan-indonesia-timor-leste-dan-upaya-penyelesaiannya.html diakses pada 20/01/2015
http://regional.kompas.com/read/2014/09/17/08143221/6.Titik.di.Perbatasan.RI-Timor.Leste.Rawan.Konflik diakses pada 20/01/2015
Sumantra Bose, Kashmir : Roots of Conflict , Path of Peace .Harvad University Press. USA. 2003hal 15-20
Avery Kolers, Land, Conflict, and Justice : a Political Theory Territory .Cambridge University Press. New York. 2009. Hal 40-42