Mohon tunggu...
Bang Bams
Bang Bams Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak semua Tulisan itu Benar & Tidak semua Kebenaran itu harus Dituliskan, tapi Kejujuran lebih baik daripada Keguguran. (Ngaco)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Sekolah Sekarang Telah Lumpuh Sekedar Menjadi Lembaga Pengajaran Otak Belaka? Benarkah?

7 Juni 2012   04:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:18 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_186382" align="aligncenter" width="400" caption="Image/bangborneo/hafefun.files.wordpress.com"][/caption]

Menyiapkan anak laki-laki yang mengerti perspektif perempuan dan sebaliknya, sehingga kelak mereka bisa tumbuh komplementary, saling isi mengisi, saling melengkapi demi tercapainya keseimbangan hidup sejak dari dalam keluarga.

Selama ini, dan sampai sekarang belum ada negara yang berani mengambil jalan ini, yakni menjadikan “Pendidikan Keluarga” sebagai proyek utama pendidikan bangsa. Padahal sudah lama sekolah mengaku tak sanggup memberikan asupan pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Sistem sekolah sekarang telah lumpuh sekedar menjadi lembaga pengajaran otak belaka.

Mendidik anak manusia, praktis sebenarnya mirip seperti cara kerja tetesan air yang (biar pun) kecil hanya berbentuk tetesan tapi mampu melubangi batu di pelimbahan karena dua hal, (1) kesabaran dan (2) keajegan. Yang dibutuhkan adalah intensitas, ketekunan, dari detik ke detik bukan dengan jargon para perempuan karir yang suka berapologi, “Yang penting kualitas pertemuan bukan kuantitas,”. Dalam kenyataannya perubahan anak-anak berlangsung dari detik ke detik. Saat perjalanan detik-detikini mendatangkan persoalan pada diri anak-anak, pembantunyalah yang menghandle, dengan kemampuan yang ala kadarnya.

Memilih keluarga sebagai unit sasaran perubahan merupakan satu-satunya jalan. Ia membentuk tanpa merusak. Itulah kekuatan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, yang bisa menyumbangkan peluang perubahan sosial. Tapi kita tak pernah mau dengan rendah hati mengakui hal itu. Bermunculannya “home schooling” sekarang ini, dengan prestasi-prestasi yang tak kalah hebat dari sistem sekolah boleh jadi kelak yang akan menyadarkan pemerintah bahwa mengandalkan sistem sekolah saja terbukti sangat tak cukup.

Ke depan “home schooling” ini berpeluang melibatkan para ibu rumah tangga dalam peran utama sedemikian rupa. Sekolah pindah ke rumah. Para ibu domestik –bukan ibu pemburu karir—memiliki banyak kesempatan mendidik karakter anak-anaknya yang terintegratif dengan program-program pendidikan “formal” anaknya yang mungkin kelak akan disusun oleh sebuah jasa pendidikan keluarga, dengan program-program terobosannya yaitu mendidik anak di rumah tapi tanpa harus menyebabkan anak-anak kehilangan kesempatan “melembaga” bersama kawan sebaya dengan semacam program “temu darat” antar peserta pendidikan home schooling.

Dulu hp, teve, fax dan telpon rumah merupakan sebuah fasilitas yang terpisah-pisah. Sekarang teve, hp, internet terkumpul dalam satu genggaman handset.

Mungkin kelak akan muncul sebuah integrasi sejenis, gabungan dari home schooling, sekolah alam, dan do schooling dimana setiap akhir pekan mereka melakukan temu integrasi, dimana anak-anak melakukan integrasi sosiokultural secara terprogram dan pelan-pelan meninggalkan bentuk sekolah formal yang (notabene) tanpa sadar telah tumbuh dan berkembang menjadi “penjajahan kognitip” dan menjadi pelumpuh kasar proses kreatif anak-anak.

Sekolah formal mungkin akan ditinggal, terlebih bila nanti “tiket” untuk masuk ke dunia kerja semakin ditentukan oleh ukuran “kompetensi nyata” yang diberikan oleh model “sekolah baru” yang terintegratif tadi dan bukan oleh ijasah depdiknas yang hanya mengerti bahasa NEM yang sempit dan tidak bisa menjadi pengukur nyata kemampuan anak.

Hati harus dididik dengan hati.

Jiwa harus dididik dengan jiwa.

Sementara sistem sekolah kita –kecuali TK sampai kelas 2 SD—saat ini semuanya sudah “lumpuh” jika tujuannya adalah pendidikan manusia seutuhnya, di sana sistem telah terlanjur tak punya hati, tak punya jiwa, kecuali ladang perburuan kognitip yang mengejar gengsi birokrasi yang haus NEM, ambisi pejabat dan para perancang kurikulum yang kenes dan ambigu, serta myopis terhadap jiwa manusia.

Di tengah situasi yang demikian, sekarang terlihat semakin banyak kaum ibu yang bergerak silent-ik ini, mereka diam-diam tanpa banyak beriklan di koran yang menggembor-gemborkan iklan pendidikan gratis yang menyesatkan.

Di luar perlunya menyusun kurikulum “home schooling” yang realistik dengan kebutuhan jaman, ada beberapa hal yang harus diluruskan jika kita hendak memindah pusat pendidikan karakter anak dari sekolah ke dalam keluarga.

1.Menyiapkan pola dan program pendidikan komplementary yang memungkinkan parapihak (pria dan wanita) memiliki wawasan dan ketrampilan mental untuk saling berkomplementary (isi mengisi) di dalam banyak hal strategis. Hal yang dapat dilakukan di sini adalah mengembangkan pola kebudayaan androgini sejak dari dalam keluarga sebagaimana akan kita bahas nanti.

2.Menyiapkan sepasang “model” keluarga androgini sebagai percontohan, sekali pun itu masih dalam bentuk drama/film, sambil mengembangkan laboratorium keluarga androgini.

3.Menyusunkan semacam “kontrak baru”yang lebih berkeadilan serta memiliki efektifitas yang tinggi dalam mencapai keunggulan peradaban manusia berbasis karakter komplementari laki perempuan sebagaimana diajarkan oleh agama.Maka dalam kaitan ini, usaha mengeksplorasi “pesan sejati” agama yang selama ini telah dibiaskan oleh berbagai kepentingan harus dipergencar. Titik utama yang kita kejar di sini (sebagaimana Allah mengajarkan) adalah sebuah “jalan tengah” dimana tidak ada feminisme atau pun maskulin-isme hadir dengan sudut pandang egonya masing-masing.

4.Membuatkan standar baru di seputar ukuran sukses pendidikan keluarga dengan memperhatikan dimensi-dimensi androgini, untuk mengimbangi ukuran sukses pendidikan keluarga saat ini yang masih dibangun oleh ukuran materialisme, ambtenarisme (pegawaisme), dan paling parah adalah masih dipakainya ukuran kantoran-ism (sektor publik) yang notabene telah membuat kaum perempuan tercerabut dari tugas strategis keluarga, hanya untuk mendapatkan pelecehan dan diskriminasi dan sekaligus “beban ganda”setelah kelelahan (dengan upah pelecehan) di kantor, di rumah masih harus mengurusi pekerjaan rumah tangganya yang terbengkalai, serta anak-anak yang tak terurus perkembangan jiwanya.

5.Selama sistem persekolahan konvensional sekarang belum bisa sepenuhnya ditinggalkan, kiranya perlu ada semacam scaning program dalam keluarga agar hasil dari pendidikan di point 1 di atas tidak terkontaminasi dengan virus sekolah formal yang cenderung mengabaikan dan bahkan merusak dasar-dasar androgini. Perhatikan kecenderungan kurikulum all size yang menyamaratakan kebutuhan antara pria dan wanita di sekolah.

Kelima masalah mendasar ini, sebagai problema, memang muncul, dan mewarnai hampir pada semua persoalan yang dihadapi para istri yang kebetulan menjadi korban keterlanjuran yang dibuat oleh para suami mereka sebagai produk konstruksi sosio kultural yang bias maskulin.

Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun