Mohon tunggu...
Bang Bams
Bang Bams Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak semua Tulisan itu Benar & Tidak semua Kebenaran itu harus Dituliskan, tapi Kejujuran lebih baik daripada Keguguran. (Ngaco)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dari Kisah Musa dan Fir'aun

12 Januari 2012   05:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_155473" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi/anaktebidah.blogspot.com"][/caption]

Masih ingat drama Nabi Musa semasa kecil di depan raja Fir’aun yang menganggap dirinya Tuhan? Raja Fir’aun yang begitu ketakutan mendengar ramalan bahwa kematian dirinya akan segera tiba melalui pembunuhan, sontak secara membuta menyuruh kepada bala tentaranya untuk membunuhi setiap bayi laki-laki siapa saja yang baru lahir, dengan tujuan agar ramalan pembunuhan itu tidak terujud.

Nun, tersebutlah seorang ibu, demi menyelamatkan bayinya yang baru lahir agar selamat dari program keji Fir’aun segera memutuskan untuk menghanyutkan bayinya ke sungai agar terkirim ke negara tetangga. Dasar Allah sudah mendisain takdir kehancuran Fir’aun sedemikian rupa, bayi tadi bukannya mati atau terkirim ke negeri lain, tapi malah dipungut oleh istri Fir’aun sendiri dan kemudian dibawanya masuk bayi mungil yang dalam perlindungan rencana besar Allah tadi ke dalam kerajaan.

Fir’aun pun bingung.

“Percayalah suamiku yang hebat,” demikian kira-kira istri Fir’aun membujuk kepongahan suaminya agar memberikan dispensasi,”Di tangan kita sendiri, dan dalam pendidikanku langsung tidak mungkin dia akan tumbuh menjadi pembunuh tuanku!”

Mendengar argumentasi istrinya yang logis, Fir’aun akhirnya memberikan dispensasi, “Oke, kupenuhi keinginanmu istriku, tapi berjanjilah kamu akan merawatnya dengan baik supaya tidak menjadi bumerang bagiku!”

He…he…he…Tuhan kok takut dengan masa ketakpastian masa depan, ya?

Dengan berkat sifat PengasihNya juga, Allah akhirnya mengirimkan seorang ibu persusuan yang tak lain adalah ibu kandung Musa sendiri.

Alkisah, pada suatu ketika, saat bermain-main bersama, si bayi Musa tiba-tiba menarik dengan kasar jenggot Fir’aun. Fir’aun yang merasa dirinya sebagai Tuhan barang tentu sangat terhina dengan sebrakan janggut itu, dan marah besarlah ia sambil melempar Musa ke istrinya.

“Sabar, sabar tuanku, ia hanya seorang bocah kecil yang masih suci…”

“Masih suci apa?” bentak Fir’aun meradang, “Lihat caranya dia menjabut janggut kehormatanku dengan sangat kasar!”

“Tidak, tuanku. Tidak. Hamba bisa membuktikan betapa dia bukan merupakan ancaman seperti diduga tuanku!” kata istrinya lembut.

”Coba buktikan!” hardik Fir’aun masih marah.

Maka ditebarlah beberapa potong bara api arang yang merah menyala di lantai, tempat Musa kecil dan ayahnya Fir’aun bermain tadi.

“Bayi umumnya tertarik dengan apa saja yang dilihatnya aneh, meski pun itu sebuah bahaya!” kata istri Fir’aun.

Benarlah rupanya, ketika melihat bara api menyala di lantai, Musa langsung merangkak cepat, mengambilnya dan kemudian menelannya.

Musa pun menggelepar kepanasan terbakar lidahnya

“Tidaaak….tidak….!” istrinya memekik histeris.

Tapi takdir telah bergerak.

Lidah Musa terbakar, sehingga kelak ia menjadi cedal, dan dalam bersyiar dibantu oleh adiknya yang menjadi penterjemahnya.

Demikianlah Allah telah membuka sebuah drama besar.

Peristiwa itu menyebabkan Fir’aun mengurungkan niatnya untuk membunuh bayi Musa. Maka berlanjutlah terus proses “penyusupan” calon pembunuh Fir’aun ke dalam istana, bukan oleh sebab operasi intelejen musuh, tetapi secara tak disengaja oleh istrinya sendiri –yang oleh uluran kehendak Tuhan— bayi Musa sebagai ‘bom waktu’ itu dapat diselinapkan ke dalam istana.

Sesungguhnyalah, kalau dipikir Allah sedang mengejek Fir’aun, karena jika benar kamu merasa sebagai Tuhan, kenapa kamu tidak tahu terhadap apa yang akan terjadi pada masa depanmu sendiri?Bahkan kamu akan terbunuh oleh bayi dalam selimut yang kamu besarkan sendiri pun kamu berlindung pada pengawasan istrimu?

xxx

Pelajaran apa yang ingin kita ambil daripadanya?

Bahwa “ketidaktahuan” akan adanya bahaya besar yang sering melekat pada orang yang tak berilmu pengetahuan (sebagaimana diperagakan oleh bayi Musa saat dia tertarik bara api, dan kemudian menelannya) sering menyebabkan manusia terdorong menempuh lorong-lorong resiko tanpa menyadari resikonya. Alih-alih merasa was-was dengan “duri resiko” yang diperolehnya, malah dengan suka cita, ia merasa seperti mendapatkan durian gratis.

Demikian juga halnya ketika konstruksi dunia laki-laki yang diwakili oleh dunia industri “menyeret” habis para ibu rumah tangga ke pabrik (sektor kantoran) untuk dikalungi sihir baru bernama “peran ganda” wanita, karena tidak mengerti resikonya maka kita malah merayakannya sebagai sebuah pencapaian modernitas bangsa.

Apa yang baru kita bahas di bab sebelumnya membuktikan dengan statistik keras, betapa proses pencerabutan “tanpa pareto” yang jelas wanita atas keluarganya, dapat menghasilkan dampak negatif yang sangat mengerikan bagi keselamatan kehidupan?

Apa itu pareto?

Pareto adalah kesadaran akan adanya “skala prioritas” dalam mengambil penanganan-penanganan masalah strategis. Jika sebuah perusahaan memiliki 100 orang sales, dan kemudian muncul statistik seperti ini:

1.10% orang mampu menyumbang 90% dari total laba

2.90% sisanya hanya menyumbang 10% laba

manakah yang akan anda pilih untuk terus dibina dan dipertahankan keberadaannya? Tentu yang pertama bukan? Penanganan harus diarahkan pada tindakan mempertahankan dan menangani yang “sedikit” tapi penting ini, antara lain karena kemampuannya memberikan laba pada perusahaan.

Dengan memprioritaskan yang “sedikit tapi penting,” ini dapat memberikan banyak keuntungan kepada kita, yaitu

1.Masalah strategis tertangani dengan baik,

2.Pembiayaan murah, karena jumlah manusia yang harus dibayar sedikit, efektif dan produktif dengan ketajaman strategis yang tinggi.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah prinsip pareto ini mewarnai dinamika bangsa ini dalam mengelola institusi keluarganya? Adakah kesadaran dan langkah nyata pemerintah dalam mengelola efektifitas keluarga-keluarga ini?

Fakta menunjukkan belum.

Androgoni memerlukan uluran sepasang tangan, pria dan wanita di tengah medan sosial, di tengah medan keluarga, androgini memerlukan uluran sepasang tangan suami istri, dan implementasi penanamannya kepada anak-anak mereka.

Pendidikan androgini membutuhkan satu loncatan generasi, seperti halnya program Keluarga Berencana di Indonesia yang pernah sangat berhasil. Untuk mengubah mindset penduduk yang memandang “anak banyak” sebagai berkah, menjadi anak banyak sebagai petaka bangsa, waktu itu pemerintah melibatkan hampir semua lembaga yang memiliki power di mata masyarakat. Untukmengundang rapat pelatihan saja koramil dilibatkan. Semua serius bekerja sama mengerahkan semua sumber dana dan daya untuk mencapai keberhasilan pengetatan kelahiran dan kita berhasil menjadi percontohan dunia.

Program pendidikan androgini, membutuhkan dukungan yang luar biasa sejenis dari seluruh kekuatan masyarakat dan negara. Efek dari kegagalan pendidikan androgini sebenarnya tak kalah dahsyat dari kegalalan KB, beberapa yang paling strategis adalah

1.peluang lembaga keluarga dapat menjadi pusat penyebab pertumbuhan bagi seluruh anggota keluarga (suami-istri-anak) mengalami hambatan

2.Kecenderungan pertumbuhan condong lebih menguntungkan para pria, sebuah keuntungan sepihak yang pada waktunya nanti akan meruntuhkan kualitas bagi semua, pria dan wanita

3.Point 1 dan 2 menjadi lingkaran setan yang meredusir kemanfaatan keluarga sebagai fondasi pendidikan multi dimensional. Lelaki terpuja, perempuan teraniaya, konstruksi yang demikian sebenarnya bukan merugikan siapa-siapa, pria astau wanita, tetapi pria dan wanita sebagai kesatuan, yaitu: kehidupan.

Semoga bermanfaat.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun