[caption id="attachment_150021" align="aligncenter" width="600" caption="Pers Monster"][/caption]
Pers adalah monster sekaligus senjata untuk melawan monster. Pernyataan tersebut menggambarkan betapa besarnya kekuatan yang dimiliki media dalam mempengaruhi opini masyarakat. Lewat wacana dan berita yang disodorkan, pers merupakan media komunikasi paling efektif untuk mengadakan perubahan atau mempertahankan institusi dalam system social.
Sebagai contoh tentang kekuatan pers, bisa dilihat di Amerika serikat dalam kasus terkenal “Skandal Watergate”. Presiden Nixon, terpaksa harus meletakkan jabatannya karena pemberitaan harian ‘The Washington Post’ , tentang ketelibatannya dalam penyadapan kampanye lawan politiknya. Atau kasus dua media di daerah konflik Ambon, yang “sukses” memanaskan suasana dua kelompok yang sedang bertikai.
Dari apa yang dipaparkan di atas salah satu ruang yang menonjol dikuasai pers adalah propaganda. Istilah propaganda dipahami orang sebagai usaha untuk menyakinkan berbagai pihak akan sebuah kebenaran melalui informasi yang sampai kepada mereka. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak menjadi skeptis lagi. Mereka akan percaya begitu saja akan informasi yang sampai kepada mereka.
Sepintas lalu, pengertian propaganda di atas mirip dengan persuasi. Sebab, seperti ditulis John Downing, dkk yang dikutip oleh Ana Nadya Abrar, persuasi adalah usaha untuk mempengaruhi masyarakat agar mempercayai satu fenomena melalui kata-kata, suara dan gambar (1990:368). Tetapi, ada perbedaan yang mendasar antara propaganda dan persuasi. Pertama, cara-cara yang dilakukan propaganda sering tidak mempertimbangkan etika, sedangkan persuasi mempertimbangkan etika. Kedua, kondisi yang dialami masyarakat yang termakan propaganda, biasanya, terdorong untuk berbuat sesuai dengan pesan propaganda. Sedangkan masyarakat yang termakan persuasi, hanya akan berhenti pada sikap. Mereka berpikir dengan matang sebelum berbuat.
Hampir dipastikan dalam mewartakan atau mewacanakan sebuah fakta, setiap media pasti didasarkan atas kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk itu perebutan ruang control terhadap pers menjadi penting ketika ingin memenangkan perebutan kepentingan. Ketika rezim orba berkuasa, mengontrol dan menguasai pers adalah salah satu prioritas kebijakan pemerintah agar dapat melanggengkan kekuasaan. Maka tidak mengherankan ketika kondisi pers menjadi terkungkung, pola pemberitaan yang seragam, sedangkan isinya harus berdasarkan selera penguasa.
Mengidealkan Peran Pers
Ketika berbicara mengenai peran pers dalam mewujudkan demokratisasi, sesungguhnya kita tidak bisa mengabaikan berbagai kedudukan pers Indonesia yang menyertainya. Menurut Ana Nadya Abrar (1999), peran pers meliputi :
a.Sebagai media komunikasi
b.Sebagai lembaga social
c.Sebagai produk informasi
d.Sebagai lembaga ekonomi
Keempat kedudukan ini ikut mempengaruhi status pers Indonesia. Tetapi, yang sering menjadi perhatian orang adalah dua kedudukan, yaitu sebagai lembaga social dan produk informasi.
Sebagai lembaga social, pers dituntut seperti dalam Undang-Undang No 40 tahun 1999 bisa menjadi cermin masyarakat (pasal 5 ayat 1 mengatakan, bahwa pers Indonesia berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah) dan ikut mempengaruhi masyarakat (pasal 6 butir c menyebutkan bahwa pers Indonesia melaksanakan peranan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar serta pasal 6 butir d bahwa pers Indonesia melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum).
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan keadaan pada masa Orde baru. Ketika itu, pers tidak mampu menjadi cermin masyarakat dan hanya dipengaruhi oleh pemerintah. Pers dipaksa menyuarakan kepentingan pemerintah dan dihambat untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Untuk bisa menjadi cermin bagi masyarakat, pers dituntut menyiarkan agenda masyarakat dan memberikan kepada masyarakat untuk menjadi sumber informasi. Agar bisa mempengaruhi masyarakat, pers Indonesia dituntut untuk menciptkan arena public yang bias didiskusikan sebagai persoalan social-politik yang berpengaruh luas dalam masyarakat secara terbuka. Arena public ini harus terbuka dan otonom. Semua masyarakat boleh berpartisipasi dalam arena tersebut dan arenanya sendiri kebal terhadap campur tangan pihak eksternal. Tuntutan seperti ini bisa terpenuhi bila pers mengurangi berita sensasional, infotainment, dan iklan berseberangan dengan pemerintah yang berlebihan. Sebaliknya, pers menggantikannya dengan model pemberitaan obyektif tanpa terlibat jadi “Preman” dan melayani masyarakat dengan kesadaran bias menjadi katalisator untuk perubahan. Kedua pilihan ini, menurut beberapa pengamat, masih berada dalam koridor demokrasi.
Sebagai produk informasi, UU No.40 tahun 1999 mengisyaratkan tidak biasa(pasal 6 butir c). berita harus diangankansebagai pedoman masyarakat dalam berinteraksi social dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana pun masyarakat memiliki pengetahuan dan pengalaman yang bisa mereka pakai dalam mem-framing berita.
Ukuran berita yang tidak bias dari sisi jurnalisme, antara lain :
a.Benar
b.Relevan
c.Netral
d.Seimbang
Setiap dimensi ini mempunyai indicator , seperti indicator benar adalah akurat, indicator relevan adalah focus berita berkaitan dengan fakta lainnya. Pers Indonesia tinggal memenuhi dari setiap dimensi berita yang bias tersebut. Memang tidak mudah bagi pers Indonesia untuk memenuhi setiap indicator berita yang tidak bias.
Bila semua peran yang tertuang dalam UU No. 40 tahun 1999 tersebut bisa terpenuhi, maka sesungguhnya pers Indonesia sudah menjadi pilar demokrasi. Sebab, proses demokratisasi membutuhkan pers yang semacam itu. Pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa status pers Indonesia adalah sebagai pilar demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H