Mohon tunggu...
Brilliant Alwavy
Brilliant Alwavy Mohon Tunggu... -

I am nothing when i've done nothing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Hati Harus Memilih

3 April 2014   16:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tak selamanya ornamen realita selaras dengan keinginan. Bukan soal suatu hal kongkrit, namun kali ini tentang sesuatu yang labil, selalu berubah sesuai alur layaknya sungai merindukan muaranya, kapal yang berlabuh, dan cinta yang merindukan sejatinya. Ini masalah hati. Takkan tereka ataupun terasumsikan bagi yang bukan miliknya.

Sudah bukan rahasia lagi kalau hidup adalah pilihan. Dan pilihanlah yang akan menentukan dan melukiskan dengan sendirinya gradasi-gradasi sepanjang tinta kehidupan ini berpendar.

***

Larut dalam sunyi, malam ini mendekati sepertiga jatahnya. Aura yang terasa karna gejolak ini semakin dalam, menusuk, mencari celah dan menyeruak dalam tekanan diri ini. ku rasakan rapuh, gontaikan asaku dalam kebahagiaan yang menurutku hanya kan jadi puing dalam hatiku. Dalam cinta yang tak sempat mencapai titik gerbang lembaran baru. Demi pengabdian pada ayah bundaku yang selalu mengharapkan kesempurnaan hidup buah hatinya. Keinginannya dalam menempuh kehidupan dewasaku bersama seorang dokter muda yang telah menyelesaikan studinya pada salah satu universitas negeri ternama di jantung Semarang. Sekaligus teman dalam indahnya masa kecil di naungan Sekolah Dasar swasta terdahulu.

Dan kenyataannya, dulu pun Ia hanya seorang bocah lelaki bertopeng yang mencurahkan sayangnya dengan sesuatu yang berbanding jauh dari harapan kepada seseorang yang diharapkannya. Mungkin gengsi atau malu. Namun begitulah yang kuterima dulu. Hanya cemooh dan kegilaannya yang tak berujung dan tak jarang selalu membutku mengoleh-olehkan mata sembab untuk dibawa ke rumah. Meski aku tahu, Ia hanya menutupi hati nuraninya. Karena siapa lagi yang selalu pertama hadir jika datang ritme negatif kehidupanku kalau bukan Dia?

Aku memang menyayanginya, namun rasa persaudaraanku kepadanya kurasa sudah lebih dari cukup. Belum dapat kubayangkan apa yang akan terjadi di episode berikutnya jika ada suatu hal yang berubah diantara kami. Bagiku, tak selamanya pernikahan adalah akhir yang membahagiakan untuk segalanya. Suatu saat rasa juga bisa berkasta.

***

Tahun demi tahun mengantarkanku pada kedewasaan. Hingga pada akhirnya masa putih abu-abu telah kujejaki dan kusaksikan. Fase hidupku bernuansa lebih kelabu dari biasanya. Kelabu akan kerinduan di setiap detiknya. Kelabu akan rasa takut akan kehilangannya. Kelabu dalam pandanganku pada yang lain. Hanya dia yang bersinar, seorang malaikat putih nan tampan yang selalu menghangatkan. Selalu duduk tepat disampingku, lelaki berparas indo yang nampak jelas berseri yang ku kenal sejak statusku menjadi pelajar SMA. Kini aku sadar dan mengerti, kepada siapa hati ini akan berlabuh. Tak lain hanya karena alasan bahwa kami saling cinta.

Adolensi pun datang. Saatnya bergegas meraih mimpi yang lebih realistis. Pada akhirnya, kujadikan kampus ini sebagai pinang dalam menggapai impianku.Di sini kumantapkan kaki. Universitas Telkom.

***

Kehidupannya yang jauh di sana. Kehidupan yang tak terdapati oleh mata ini, harus memikul perjuangan lebih dan menurutkukurang wajar untuk ditempuh dalam usia ini. dia memang berbeda, aransemen liku hidupnya lumayan menikam. Ayahnya telah tiada sehingga harus menanggung beban hidupnya sendiri sebelum melanjutkan studi di Lembaga pendidikan impiannya. Semua harus memakan pengorbanan lebih untuk mimpinya. Demi rupiah ia harus singgah di suatu bengkel yang tak jauh dari tepi kota. Hingga tahun berganti ke depan. Namun aku tahu Ia tegar, Ia kuat. Malaikatku pasti bisa J

Di sisi yang berbeda, seorang jejaka yang tengah berdiam di Semarang dalam meneruskan studinya selalu tampak tenang dengan segala kemapanan yang memberkahinya. Rasanya tak ada yang perlu di khawatirkan. Tanpa beban, kecuali belajar dan belajar. Mau apa lagi, mau tak mau, itulah obligasi seorang calon dokter.

Hingga saat ini, hakikatnya jawabanku selamanya hanya satu. Takkan goyah dan terganti. Cinta ini mengarah dengan sendirinya. Kini hanya masalah waktuku tuk bicara dengan kedua orang tuaku.. Dan hatiku telah memilihmu.__Malaikatku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun