Deru mesin bis kota di terminal Bungurasih tampak begitu memecah gendang telinga dan di tambah suara teriakan kernet bis yang membawa nuansa malam itu seakan tidak sakral lagi bagi kebanyakan masyarakat kota besar, seperti Surabaya. Kota yang hampir bisa dikatakan tak pernah mati dari aktivitas, dari mulai lapisan bawah sampai atas, tidak terlihat sekat untuk meramaikan kondisi kota ini di malam hari. Jam ditangan saya sudah menunjukan pukul 23:30 WIB.
Dari 3 bis kota yang sedang berjajar, saya memandang anak kecil atau kurang lebih setingkt SD (krng lbh usia 11 tahun) berdiri tepat di depan bis. Perwakan yang mungil sambil membawa kentrung (gitar kecil) lalu di petiknya pelan-pelan untuk mengatur nada kentrung tersebut. “Balikin..ooh..ohh..balikin kebebasan kayak dulu lagi”, ternyata itu bocah sedang asyik “check sound” lagu balikin dari Slank yang akan dibawakan untuk menghibur sekaligus mencari rupiah di atas bis. Itulah Pengamen malam yang masih tersisa di tengah hiruk-pikuk penumpang bis kota.
Inilah jantung masyarakat perkotaan yang terdapat celah kehidupan yang sangat memprihatinkan dengan munculnya kehidupan anak jalanan yang berkeliaran di terminal mengamen hingga larut malam yang tidak memperhatikan keselamatan dirinya.
Saya pun bergegas untuk menaiki bis kota dan di iringi oleh bocah pengamen itu. Perlahan-lahan bis pun berjalan meninggalkan terminal dan kalimat pembuka di dengungkan oleh si bocah lugu. 1-4 lagu dibawakan dengan tuntas dan bersemangat. Hingga dia pun meminta imbalan atas jerih payahnya menghibur dengan 4 tembang lagu. Dari cuma sekedar senyum hingga 10.000 rupiah dia terima dari penumpang.
Ketika anak seumuran mereka malam hari sudah tidur, maka berlainan dengan pengamen kecil itu yang rela mencari rupiah guna menyambung hidup. Di lingkungan masyarakat ekonomi ke bawah pada umumnya melibatkan anak-anaknya untuk hidup di jalanan kondisi ini sangat memprihatinkan bila tidak diperhatikan nantinya banyak menimbuilkan permasalahan baru, karena anak jalanan seharusnya menjadi beban negara khususnya pemerintah. Pandangan hidup dikemudian hari bagi anak jalanan tidak jelas keberadaannya baik dalam segi status sosial anak itu sendiri.
Anak jalanan adalah bagian dari warga bangsa untuk itu perlu perlindungan, karena keberadaan anak-anak tersebut bukan dari kemauannya akan tetapi disebabkan oleh kondisi yang disebabkan kehidupan ekonomi orang tuanya yang tidak cukup untuk kehidupan keluarganya, sebagai jaminan kelangsungan hidupnya. Ingat bocah itu jadi ingat bunyi kalimat “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara “ di Pasal 34 UUD 1945. Dan negara harus membantu mengentaskan kemiskinan. Tetapi Mampukah Bangsa kita tercinta Indonesia memelihara ribuan bocah yang senasib untuk mentas dari dunia jalanan.?
Sebagai alat pemicu pertumbuhan ekonomi di Indonesia, kesatuan visi dan misi suatu bangsa dimasa kini dan masa yang akan datang, perlu diciptakan, untuk itu diperlukan adanya strategi kebijakan dalam pembangunan perekonomian secara nasional jangka pendek hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian jangka panjang.
Saya pun menyudahi pandangan saya ke bocah itu, dan langsung turun karena sudah mendapat abah-abah dari kondektur untuk tempat yang saya tuju. Dari bis kota saya berpindah transportasi jenis angkot untuk menuju wilayah Surabaya bagian barat. Rasanya saya kembali melamunkan kehidupan bocah pengamen bis kota dari gedung-gedung yang megah itu di jalanan. kesimpulan yang saya dapat pembangunan secara fisik tidak diimbangi dengan pembangunan moral bangsa akan berakibat rusaknya fundamental tatanan kehidupan di dalam masyarakat itu sendiri.
Pendidikan di lintas sektoral perlu ditingkatkan guna mengangkat citra bangsa di dunia internasional, bahwa kebangkitan suatu bangsa ditandai dengan pedulinya masyarakat terhadap kehidupan anak jalanan yang kian hari makin bertambah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H