Warung kopi tempat paling favorit untuk sejenak melepas lelah, sembari mencicipi hitamnya kopi panas. Bersama dengan pelanggan lainnya menikmati racikan kopi yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Dan disitulah ada hal yang menarik, ketika masyarakat warung kopian berubah menjadi komentator dadakan. Setiap ada berita dari koran ataupun di televisi yang menarik selalu ada argumen-argumen yang terlontar.
Seperti halnya dengan dunia jurnalistik yang selalu menyajikan berita hangat untuk mencerahkan masyarakat, kali ini diadopsi oleh pemilik warung yang menyajikan koran dan televisi untuk instrumen informasi yang hangat sambil pelanggannya menikmati sajian yang sudah di sediakan. Satu hal yang membuat saya teringat ucapan spontan dari salah satu pelanggan "semua capres dan cawapresnya kok kompak menggunakan kemeja putih." Ya, ketika itu sedang ditayangkannya deklarasi dari pasangan Prabowo-Hatta. Tidak hanya pasangan itu saja yang menggunakan kemeja putih, Jokowi-JK saat deklarasi juga turut menggunakan kemeja yang terlihat "suci" itu. Sambil menikmati kopi, saya merenungkan perkataan spontan tadi. Para calon penguasa negeri ini menggunakan kemeja yang seragam. Putih berarti suci, memperlihatkan tiap pasangan itu suci dan sakral untuk di manfaatkan oleh rakyat dalam memilih memimpin bangsa ini.
Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi,vox die) maka rakyatlah yang menentukan pilihannya. Sebagai bentuk kepanjangan tangan dari konsep demokrasi, setiap penentuan pantas atau tidaknya tergantung dari suara rakyat yang memilih. Kemeja putih merupakan bagian dari tebar pesonanya para calon pemimpin agar memantulkan effect cahaya untuk rakyat. Mengingat Indonesia merupakan negara tropis jadi dirasa sangat pas dan pantas dipergunakan di musim pilpres yang tensi suhu persaingannya tinggi.
Disatu sisi noda-noda kotor juga kerap timbul di warna putih sangat sukar sekali di jaga kebersihannya. Rakyat pastinya tidak menginginkan putihnya pakaian itu hanya di perlihatkan di depan saja. Para pemimpin negeri belum pernah tuntas menyelesaikan persoalan yang menghimpit sendi-sendi kehidupan rakyat. Janji-janji pemimpin sudah kerap sekali di kumandangkan. Dimata kita sudah ada 2 calon presiden dan calon wakil presiden yang sama-sama mempunyai kesamaan warna berpakaian dalam menuntaskan persoalan bangsa.
Lalu apa jadinya ketika mereka hanya memanfaatkan putihnya kemeja hanya untuk menarik perhatian rakyat, tetapi tidak mempunyai ketegasan dalam memulihkan bangsa ini.? Rakyat sudah melek dan kritis dalam melihat kebobrokan negeri dan ditambah adanya keterbukaan informasi publik. Maka, jangan hanya membuat orisinalitas dalam kampanye dengan menggunakan kemeja putih saja. Bisa saja rakyat menginterpretasikan kebiasaan memakai baju putih sebagai sinyalemen adanya kejahatan kera putih (white collar crime). Kejahatan seperti itu melanda bangsa yang sedang sakit ini. Pelakunya tidak lain, petinggi bangsa yang berkuasa. Sangat disayangkan ketika 5 tahun mendatang epedimi korupsi tidak bisa diberantas. Bangsa ini sangat mengagungkan demokrasi sebagai menopang hukum tetapi produk hukumnya lemah, sehingga hak-hak rakyat terabaikan dan ternistai.
Hitamnya noda dalam kemeja putih sulit untuk kita bersihkan. jika kedaulatan rakyat tidak pernah ditegakkan. Harapan bukan ada pada trand mark kemeja putih yang lantang berteriak suci, tetapi lewat pilpres 2014 dapat menemukan pemerintahan yang mampu dengan tegas menutaskan terpuruknya negeri tercinta ini. Putihnya kemeja banyak yang mengetahui, putihnya hati tidak ada yang mengetahui. Hanya Tuhan yang mendeteksi "keputihan" para calon pemimpin bangsa 5 tahunan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H