Mohon tunggu...
Widyanuari Eko Putra
Widyanuari Eko Putra Mohon Tunggu... -

Lajang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mbah Darmi, Perempuan Tua si Tukang Setel Pelek

22 Januari 2011   07:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 1577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu di seputaran Jalan Mataram tampak ramai. Seperti biasanya kendaraan roda dua, roda tiga maupun roda empat, berebut mendahului. Hanya gerobak lumpia di sisi kiri jalan yang cuek tak ingin menyalip.

[caption id="attachment_85099" align="alignright" width="320" caption="Mbah Darmi sedang nyetel pelek"][/caption] Kira-kira pukul 11.30 wib, saya melintas Jalan Mataram menuju kompleks Stadion Diponegoro. Sinar matahari kian mendidih dibumbui ramainya jalanan, mau tak mau harus berpartisipasi juga; berkubang di panasnya terik siang. Benar-benar menjengkelkan. Ya, saya harus melintasi jalan tersebut karena sebuah kepentingan; mencari tukang setel pelek roda untuk memperbaiki setelan ruji-ruji sepeda motor yang kendor. Beberapa hari terakhir saya memang kerap keluar kota menggunakan sepeda motor demi melaksanakan tugas organisasi. Jadi wajar saja jika sepeda motor saya sedikit bermasalah. Sama halnya manusia, motor pun jatuh sakit jika terlalu capek.

Setibanya di pertelon, saya mengarahkan sepeda motor belok kiri. Berdasarkan info yang saya peroleh, di seputar Stadion Diponegoro banyak lapak tukang setel pelek roda. Setelah berkeliling dan mencari lapak yang agak sepi, pilihan saya jatuh pada sebuah lapak kecil di depan bank swasta, persis di pertigaan jalan stadion selatan.

Mulanya saya sedikit ragu untuk memercayakan sepeda motor pada lapak tersebut. Bukan lelaki paruh baya ataupun pemuda tanggung yang biasanya berprofesi sebagai tukang setel pelek, melainkan seorang perempuan tua yang tampak clingukan menunggu "pasien". Saya pikir-pikir sejenak, kemudian memberanikan bertanya. Saya membatin, apa mungkin nenek tua ini tukang setel pelek ?

Tebakan saya tepat! Perempuan tua dengan jarik lusuh dan pakaian usang itu bernama Mbah Darmi. Beliau adalah tukang setel pelek sepeda motor pemilik lapak yang sedang saya singgahi. Perasaan saya semakin gelisah. Saya khawatir sepeda motor semakin rusak jika dipasrahkan pada perempuan tua ini. Dalam benak saya berkata, apa beliau masih sanggup membongkar roda motor dan memasangnya kembali dengan benar dan kuat? Pertanyaan saya beralasan, tubuhnya yang kurus kerontang ditambah usia uzur akan membuat tenaganya kian langka.

Mbah Darmi mempersilakan saya duduk. Kemudian beliau masuk ke dalam lapak mengambil sekotak peralatan bongkar. Mulailah beliau putar sana putar sini. Membuka mur dari baud-baudnya. Jari-jemari yang rapuh serta tatapan sayu Mbah Darmi tak membuat pekerjaannya berantakan. Saya perhatikan beliau tidak mengalami kesulitan sedikitpun. Dengan telaten beliau memeriksa ruji yang kendor kemudian mengencangkannya. Sembari melihat beliau memperbaiki setelan pelek, saya memulai pembicaraan. Perlahan keringat merembes dari celah leher Mbah Darmi yang kisut.

Jari jemari Mbah Darmi nampak lincah bersilat di celah roda. Sudah bertahun-tahun beliau menekuni pekerjaan yang umumnya disandang oleh laki-laki tersebut. Selama 47 tahun Mbah Darmi bekerja sebagai tukang setel pelek. Beliau mulai buka praktek di Semarang sejak tahun 1963. Dahulu beliau hanya membantu suaminya saja, akan tetapi sejak suaminya wafat Mbah Darmi mulai mengerjakan sendiri. Sejak saat itu penghasilannya pun menurun drastis. Sesekali anaknya ikut membantu. Untungnya Mbah Darmi jarang diusik "pahlawan ketertiban" yang suka bongkar muat lapak-lapak orang miskin. Bagi Mbah Darmi lapak itu tak sekedar tempat mengais rizki, tapi juga rumah.

Mbah Darmi punya lima orang anak. Ke empat anaknya bekerja di Semarang dan seorang lagi tinggal di Solo kota kelahiran Mbah Darmi. Meski pekerjaan yang ditanganinya begitu berat bagi seorang perempuan tua, beliau tidak mengeluh. Baginya yang penting halal dan cukup untuk makan sehari. Empat anaknya kini sudah memikirkan hidupnya masing-masing. Mau tak mau Mbah Darmi harus berusaha sendiri. Pantang bagi Mbah Darmi bergantung pada orang lain, apalagi jika harus mengemis.

Apa yang dikerjakan Mbah Darmi semata-mata ikhtiar menjalani hidup tanpa mengenal putus asa. Meski terasa ganjil dan berat, Mbah Darmi tetap teguh dengan profesinya sekarang. Karena kegigihannya menjalani profesi ini, seorang pelukis tertarik untuk menjadikan Mbah Darmi sebagai objek lukisan. Dan sebagai wujud terima kasih dari si pelukis, Mbah Darmi diberi uang 2 juta rupiah. Uang itu kemudian beliau bagikan kepada anak-anaknya.

Seringkali pula datang orang tak dikenal memberikan makanan dan pakaian. Mungkin orang-orang tersebut tidak tega melihat keadaan Mbah Darmi yang renta namun masih harus berkutik denan roda pelek. Mbah Darmi mensyukuri semua itu dengan tawakal. Beliau berkeyakinan bahwa selama kita masih mau berusaha, tuhan pasti memberi jalan.

Ah, saya jadi tak bisa membayangkan. Umur seusia Mbah Darmi harus bergumul dengan perangkat berat dan bekerja keras demi menyambung hidup. Sempat saya tanyakan apakah Mbah Darmi tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan profesinya sebagai tukang setel pelek. Dengan lirih beliau berkata; bisa karena biasa, dan kebiasaan ini telah menjadikan hidup yang berat menjadi biasa-biasa saja. Seketika terdiam, mencoba meresapi perkataan Mbah Darmi. Saya jadi trenyuh mendengar ucapannya.

Setelah hampir satu jam menunggu, sepeda motor saya kembali normal. Setelan pelek rodanya pun tampak kuat dan kencang. Meskipun dikerjakan oleh seorang perempuan tua, hasilnya cukup memuaskan. Tidak kalah sama garapan tukang pelek muda. Sekarang saya benar-benar percaya pada kehebatan Mbah Darmi.

Mbah Darmi menyebut nominal untuk jasanya. Tanpa berpikir lama saya ambil selembar uang puluhan ribu dari dalam dompet, dan memberikan padanya. Mbah Darmi berterimakasih ala masyarakat jawa pada umumnya.

"Matur Suwun nggeh mas, dongake mbah waras nggeh.."

"Nggeh sami-sami mbah.." jawab saya sambil mesem.

Kunci terpasang, starter saya nyalakan, bergegas melaju meninggalkan lapak Mbah Darmi. Jam di hape berkedip pukul 13.00. Sinar matahari kian mendidih, apalagi di dalam otak saya. Gosong rasanya. Saya melaju ke kampus agar tidak terlambat kuliah. Jam kuliah saat siang hari memang kerap membuat saya aras-arasen. Terlambat menjadi penyakit paling akut bagi saya. Susah rasanya mengobati penyakit yang satu ini.

Semakin jauh saya meninggalkan lapak Mbah Darmi. Sepeda motor melaju kian kencang. Jarak menuju ke kampus sudah tinggal beberapa jengkal lagi. Sosok dan ucapan Mbah Darmi masih terus saja terngiang menyelubungi pikiran saya... ***

Majapura, 18 November 2010

Widyanuari Eko Putra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun