Ah, saya jadi tak bisa membayangkan. Umur seusia Mbah Darmi harus bergumul dengan perangkat berat dan bekerja keras demi menyambung hidup. Sempat saya tanyakan apakah Mbah Darmi tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan profesinya sebagai tukang setel pelek. Dengan lirih beliau berkata; bisa karena biasa, dan kebiasaan ini telah menjadikan hidup yang berat menjadi biasa-biasa saja. Seketika terdiam, mencoba meresapi perkataan Mbah Darmi. Saya jadi trenyuh mendengar ucapannya.
Setelah hampir satu jam menunggu, sepeda motor saya kembali normal. Setelan pelek rodanya pun tampak kuat dan kencang. Meskipun dikerjakan oleh seorang perempuan tua, hasilnya cukup memuaskan. Tidak kalah sama garapan tukang pelek muda. Sekarang saya benar-benar percaya pada kehebatan Mbah Darmi.
Mbah Darmi menyebut nominal untuk jasanya. Tanpa berpikir lama saya ambil selembar uang puluhan ribu dari dalam dompet, dan memberikan padanya. Mbah Darmi berterimakasih ala masyarakat jawa pada umumnya.
"Matur Suwun nggeh mas, dongake mbah waras nggeh.."
"Nggeh sami-sami mbah.." jawab saya sambil mesem.
Kunci terpasang, starter saya nyalakan, bergegas melaju meninggalkan lapak Mbah Darmi. Jam di hape berkedip pukul 13.00. Sinar matahari kian mendidih, apalagi di dalam otak saya. Gosong rasanya. Saya melaju ke kampus agar tidak terlambat kuliah. Jam kuliah saat siang hari memang kerap membuat saya aras-arasen. Terlambat menjadi penyakit paling akut bagi saya. Susah rasanya mengobati penyakit yang satu ini.
Semakin jauh saya meninggalkan lapak Mbah Darmi. Sepeda motor melaju kian kencang. Jarak menuju ke kampus sudah tinggal beberapa jengkal lagi. Sosok dan ucapan Mbah Darmi masih terus saja terngiang menyelubungi pikiran saya... ***
Majapura, 18 November 2010
Widyanuari Eko Putra