Mohon tunggu...
Widyanuari Eko Putra
Widyanuari Eko Putra Mohon Tunggu... -

Lajang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tradisi Remidi

25 Januari 2011   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:12 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Seusai penerimaan kartu hasil studi [KHS], mahasiswa akan mengahadapi dua kemungkinan; tersenyum puas karena dapat IP tinggi, dan selebihnya ngalor-ngidul mencari dosen untuk mencairkan nilai, ataupun sibuk mendaftar remidiasi demi memperbaiki nilai yang kurang bagus; mendapat D atau C misalnya. Aktifitas remedial sudah biasa dan seolah-olah menjadi senjata bagi mahasiswa yang mendapat nilai kurang baik.

Remidial pada hakikatnya adalah kegiatan perkuliahan yang dilaksanakan bagi mahasiswa secara sukarela pada setiap akhir semester untuk memperbaiki nilai C atau D pada mata kuliah tertentu, tentunya setelah mendaftar dan membayar biaya sesuai sks dari mata kuliah yang akan diremidi. Melalui jalur ini banyak mahasiswa yang nilainya tertolong, karena dengan remedial waktu yang ditempuh untuk memperbaiki nilai bisa lebih singkat daripada harus mengulang pada semester berikutnya. Semester pendek [SP] juga bisa menjadi solusi selain remedial.

Kebijakan remedial tentunya sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang merasa kurang beruntung, kurang pandai, ataupun kurang disiplin. Kenapa kurang beruntung? Mahasiswa tetap saja kalah dengan factor luck [baca; keberuntungan], karena dalam prosesnya terkadang mahasiswa yang notabene cerdas, aktif dan terampil bisa terjebak permasalahan sistem kuliah yang mengakibatkan ia mendapat nilai jelek. Misalnya saja karena presensi kurang lengkap dan kebetulan dosen tidak memberi toleransi. Bisa saja. Beruntunglah mahasiswa yang sebenarnya kurang pandai akan tetapi rajin berangkat serta tidak pernah lupa mengisi attendance list. Kenyataan pemberian nilai dari dosen tidaklah hanya berdasar kecerdasan semata, akan tetapi juga menyertakan penilaian kehadiran serta ketepatan mengerjakan tugas. Sehingga tidak mustahil mahasiswa yang njlimet, anteng, plonga-plongo pun bisa mendapat nilai A. Dan celakalah mereka yang cerdas akan tetapi kurang lengkap dalam presensi ataupun ketepatan mengerjakan tugas. Mayoritas kasus ini terjadi pada aktivis kampus yang luar biasa sibuk karena selain memikirkan tugas kuliah juga memikirkan kegiatan organisasi dengan segudang tetek-bengeknya.

Kembali pada masalah remedial yang semakin laris di kampus. Kebijakan remedial pada umumnya diterapkan oleh kampus/institut/universitas berdasar kebijakan masing-masing. Tidak semua perguruan tinggi menerapkan system remidi. Jika ada mahasiswa yang memperoleh nilai buruk, maka dipersilakan mengulang perkuliahan pada semester berikutnya. Meski dampak dari sistem tanpa remedial akan membuat waktu menempuh perkuliahan bertambah.

Pro-kontra pelaksanaan remidial nampaknya akan terus berkelanjutan jika orientasi pendidikan kita hanya bertumpu pada nilai, bukan proses. Meminjam istilah seorang guru dan sejarawan Perancis Pierre De Coubertin, The most important thing in life is not the triumph but the struggle. Intinya adalahhal yang terpenting dalam hidup ini bukanlah terletak pada kemenangan tetapi pada usaha meraihnya. Kemenangan memang penting, tapi usaha untuk meraih kemenangan jauh lebih penting. Coubertin sebagai seorang pemikir pendidikan kuno sudah memprediksi hal ini, menurutnya orientasi nilai hanya akan menumbuhkan etos pencapaian hasil saja--meskipun harus ditempuh secara instan. Dan realita remidial adalah implementasi dari orientasi pada hasil. Maksud diadakannya remidial adalah supaya mendapat nilai sesuai keinginan.

Lalu bagaimana relevansi remidi dengan pendidikan kampus? Relevankah sistem remidi mampu menciptakan pribadi mahasiswa yang melaju pada mutu? Remidi akan menjadi bermanfaat jika dilaksanakan sebagaimana prosedur dan fungsi yang tepat.

Keputusan untuk mengadakan remidi harus disesuaikan proses yang telah ditempuh mahasiswa. Semisal pengajuan remidi harus menimbang beberapa aspek sesuai kemampuan mahasiswa. Apakah mahasiswa tersebut sudah mampu, kurang mampu, atau bahkan sama sekali belum paham terhadap mata kuliah tertentu. Sebab-musabab yang menjadikan mahasiswa tersebut menempuh remidi. Hal ini berkaitan dengan pemberian materi pra-remidi. Dengan begitu remidi harus benar-benar diawali minimal tiga kali pertemuan dengan pematerian yang cukup. Karena kenyataan remidi hanya menjadi sebuah ajang pengganti nilai. Setelah mendaftar, kemudian mahasiswa diberi tugas. Jika tugas sudah mencukupi maka nilai akan diganti. Sistem seperti inilah yang sebenarnya mengubah esensi dari remidi. Mahasiswa hanya akan dijejali pemikiran bahwasanya nilai bisa diganti dengan membayar remidi. Seolah-olah yang bayar adalah kelak dapat nilai bagus.

Remidi harus memberi pengetahuan lebih agar tidak dicap sebagai ajang disorientasi pada proses. Karena remidi pun harus memberi materi yang lebih, mengutamakan pemahaman pada mahasiswa. Bukan pada apa yang diraih dari remidi, melainkan bagaimana mahasiswa berusaha dan mendapat materi yang cukup agar proses remidi bisa mengembalikan mindset berorientasi pada proses. Sehingga impact remidi tak sekedar perubahan nilai, akan tetapi sanggup memberi pengertian dan pemahaman materi yang ditempuh.

Pada dasarnya pelaksanaan remidi memang akan membantu mahasiswa dalam mencapai kelulusan. Namun akan menjadi semacam pembodohan dan penciptaan budaya instan sebagai hasil orientasi pada hasil jika tidak dilaksanakan sebagaimana prosedur dan fungsi yang ada. Bak kacang goreng, laris manis di pasaran. Tidak heran jika pembentukan karakteristik dan sikap mahasiswa menjadi yang penting lulus, yang penting nilai bagus, yang penting dan yang penting, begitulah seterusnya. Benar-benar pragmatis. Padahal yang benar-benar penting malah tidak dipentingkan; berpikir “bagaimana saya mendapatkan”, bukan “apa yang saya dapatkan”.

Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina. Dan mungkin akan lebih tepat jika diubah menjadi ‘carilah pekerjaan sampai negeri cina’. Karena tidak bisa dipungkiri, mindset kuliah dewasa ini adalah demi pekerjaan bukan sebuah tuntutan untuk meraih ilmu. Dan pekerjaan butuh IP tinggi, remidi demi nilai yang tinggi pula. Lalu mengapa banyak mahasiswa nganggur meski IP-nya tinggi? Bisakah nganggur diremidi agar jadi tak nganggur?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun