Mohon tunggu...
Ai Sherry
Ai Sherry Mohon Tunggu... lainnya -

This is my new blog. My new world. My place to replace my imagination.. ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia Lain Delia

27 Mei 2013   21:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:56 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis itu masih duduk di sana seperti hari-hari kemarin. Menatap menerawang ke atas, seperti sedang menelusuri setiap inci langit. Atau sedang melihat dan menghafal nama bintang-bintang yang ada di sana? Tidak ada yang tahu. Gadis itu bernama Delia. Gadis yang sama yang ditemui Dita dua bulan yang lalu saat dia berkunjung di sebuah universitas terkenal di Semarang bersama temannnya. Dita tahu gadis itu bernama Delia karena dia tertarik dengan gadis itu sejak awal mereka bertemu. Tepatnya setahun setelah Dita mendapatkan gelar sarjana psikologi di universitas swasta di kota kelahirannya, Solo. Dua bulan yang dilaluinya dengan penuh perjuangan bersama Delia, gadis berumur 21 tahun itu.

@@@

Dita menutup buku tebal yang sejak tadi dibacanya dengan jengah sambil menatap berkeliling. Arin mana, sih? Katanya cuma bentar. Mana mahasiswa sini gak ada yang aku kenal lagi, batinnya suntuk. Dita memandang berkeliling dan mendapati dirinya berada di tengah kerumunan mahasiswa yang sedang berlalu lalang dan tak satupun dari mereka dikenalnya. Ini memang bukan kampus tempatnya belajar. Dia ke sini dalam rangka iseng dan main-main saja. Kebetulan Arin, temannya semasa SMA, kuliah di sini, jadi Dita bisa sekalian melihat-lihat sekeliling kampus itu.

Saat Dita sedang sibuk memandang berkeliling, pandangannya jatuh pada seorang gadis yang sedang duduk sendirian di bangku taman tak jauh dari tempatnya duduk. Entah apa yang membuat Dita memperhatikan gadis itu. Gadis itu berpenampilan sama dengan gadis-gadis lain pada umumnya. Dia mempunyai rambut hitam lurus yang dibiarkan tergerai dan bajunya pun hampir sama modelnya dengan orang-orang lain. Mungkin yang menyita perhatian Dita adalah gadis itu seperti menyendiri dari orang-orang di sekitarnya. Menyendiri atau menjauh, entahlah. Yang dilakukan Dita setelah itu adalah bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri gadis itu.

“Hai, boleh duduk di sini?” tanya Dita sambil menunjuk bangku kosong di samping gadis itu. Gadis itu mendongak dan menatap Dita dalam diam.

“Boleh,” jawabnya sesaat kemudian. Dita lalu duduk di sampingnya.

“Siapa namamu? Aku Dita,” kata Dita memperkenalkan diri.

“Aku Delia,” jawab gadis itu singkat.

“Mahasiswa angkatan berapa? Jurusan Sastra Inggris, ya?” tanya Dita ramah.

“Ini baru masuk semester 3, mbak. Iya, jurusan Sastra Inggris. Mbaknya bukan anak sini, ya?” Delia balas bertanya.

“Iya, main aja. Kebetulan temenku ada yang kuliah di sini. Koq, sendirian aja, sih, Del?” ujar Dita. Delia mengerutkan dahi dan menatap Dita lama. Lalu matanya yang tadi memandang Dita dengan pandangan cerah perlahan meredup.

“Pada gak suka mungkin temenan ama aku, mbak,” jawab Delia polos.

“Lho, kenapa?” tanya Dita lagi. Delia memandang berkeliling, seperti sedang mencari sesuatu.

“Mereka... mungkin, mereka takut...” jawabnya ragu-ragu.

“Takut kenapa? Kamu gak suka nggigit ‘kan?” tanya Dita mencoba bercanda. Tapi sepertinya tidak berhasil. Ekspresi muka Delia masih biasa-biasa saja dan tidak berubah sedikit pun. Dita angkat bahu.

“Gak tahu, sih, mbak. Mungkin semenjak ada si Fredy itu,” jawab Delia.

“Emangnya Fredy itu kenapa, koq, sampai temen-temenmu jadi gak suka temenan ama kamu? Fredy anak sini juga?” tanya Dita. Delia menggeleng.

“Bukan. Dia bukan anak kuliahan. Tapi dia selalu ngikutin aku. Aku benci, deh, ama dia. Dia yang bikin aku jadi jahat sama temen-temenku,” ujar Delia. Dita mengerutkan kening. Sepertinya ada yang menarik dalam pembicaraan ini.

“Maksudnya, Fredy yang nyuruh kamu menjauhin teman-temanmu?”

“Bukan. Dia itu...” kalimat Delia terputus. Sikapnya yang semula tenang berubah jadi waspada. Dia memandang berkeliling dengan cemas.

“Kenapa, Del?” tanya Dita khawatir.

“Fredy ada di sini, mbak. Tuh ‘kan, dia selalu ngikutin aku. Aku gak boleh cerita macam-macam sama orang lain. Aku harus pergi, mbak,” Delia beranjak dari tempat duduknya. Dan tanpa mengucapkan apa-apa, dia pergi begitu saja meninggalkan Dita dengan langkah cepat. Dita memandang kepergiannya dengan pertanyaan memenuhi benaknya.

@@@

“Rin, kenal anak Sastra yang namanya Delia gak?” tanya Dita selepas mereka meninggalkan kampus Arin siang itu.

“Hah? Delia? Angkatan berapa? Kamu tuh cari cowok, kek, sekali-kali. Gak nyari cewek mulu,” canda Arin. Dita melotot marah.

“Enak aja. Maksud lo?? Aku masih normal, kali. Dia angkatan dua tahun di bawahmu. Makanya cepet lulus, kayak aku. Gak dibilang mahasiswa terus...” ujar Dita.

“’Kan biar awet muda. Hehehe... Gak tahu tuh. Delia yang mana? Kenapa emangnya?” Arin menatap sahabatnya heran.

“Gak. Ada sesuatu yang menarik dari dia...”

“Apaan? Dasar, psikolog tuh kerjaannya ngurusin orang lain, ya?”

“Biarin. Itulah asyiknya jadi psikolog. Btw, aku di sini seminggu lagi, ya? Aku masih penasaran ama tuh cewek,” ujar Dita.

“Hah? Waduh, biaya makanku bertambah, nih. Hehehe, bercanda, jeng...”

“Huuu...!”

@@@

Ternyata tidak sulit untuk menemukan Delia. Gadis itu duduk manis di bangku taman seperti saat Dita melihatnya pertama kali kemarin. Dengan sikap cuek dan diamnya di tengah hingar bingar suasana kampus, Delia duduk di bangku taman tanpa memperdulikan keramaian di sekitarnya. Dita lalu mendekatinya.

“Hai, Delia,” sapa Dita lembut.

Delia mendongak dan menatap Dita dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Ke sini lagi?” tanya Delia dengan nada datar. Dita agak tercengang mendengarnya. Tapi dia tersenyum simpul dan menjawab dengan nada ceria.

“Yah, udah lulus kuliah, sih. Seneng aja main ke sini. Apalagi bertemu dengan orang kayak kamu,” sahut Dita. Delia diam. Dia menunduk menatap buku yang sedang dipegangnya. Saat Dita mengamati gerak-gerik Delia itulah Dita melihat sesuatu yang tidak dilihatnya pada pergelangan tangan Delia kemarin. Di tangan kanan gadis itu ada perban yang membalut pergelangan tangannya.

“Lho, Del... Tanganmu kenapa? Sakit, ya?” tanya Dita ingin tahu. Delia segera menarik tangannya dengan gerakan mendadak.

“Enggak, koq... Ini...” Delia menunduk dan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia tampak sedikit ketakutan.

“Freddy?” tebak Dita. Delia menoleh cepat ke arah Dita.

“Freddy bilang aku gak boleh bilang pada siapa-siapa tentang dia. Dia bilang aku tidak boleh ketemu mbak lagi. Aku harus pergi...” Delia beranjak dari tempat duduknya dan pergi begitu saja seperti kemarin. Dita kembali diliputi oleh perasaan ingin tahu yang dalam tentang gadis ini.

@@@

Dita menatap gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang dengan antusias. Dita tidak menyangka akan bertemu dengan Delia di tempat ini. Di perpustakaan kampus yang hanya orang-orang kutu buku atau mahasiswa yang kepepet atau terpaksa mencari tugas dari buku-buku yang sudah ditentukan dosennya. Dita masalah lain. Dia kutu buku plus sedang gak ada kerjaan. Jadi sambil menunggu Arin yang sedang mengurusi tugas akhirnya, Dita menghabiskan waktunya di perpustakaan saja. Dita lalu mendekati Delia yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depannya dengan hati-hati. Tanpa menimbulkan suara yang mengagetkan, Dita lalu duduk di samping Delia.

“Lagi sibuk ngerjain apa, Del?” sapa Dita hati-hati.

Delia menoleh ke arahnya. Dia menatap Dita dengan pandangan kaget.

“Mbak, koq, ada di sini?” tanyanya.

“Memangnya gak boleh, ya?” sahut Dita.

“Mm, gak gitu... Tapi... Ya, sudahlah...” ujar Delia pelan. Dia lalu menunduk lagi, melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti. Karena sepertinya Delia tidak begitu terganggu dengan kehadiran Dita, maka Dita diam-diam memperhatikannya. Gadis itu sedang mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Dita mengamatinya dengan lebih seksama tanpa melakukan gerakan yang mencolok dan akan disadari Delia. Gadis itu sedang menggambar sesuatu. Seperti sebuah bangunan apartemen. Setelah menggambar di atas kertas kosong, Delia lalu menuliskan sesuatu di atas buku tulis yang terbuka lebar di samping kertas itu. Dita melihatnya menuliskan kata-kata “Rumah Baru Diana”.

“Oya, Del. Rumahmu di mana?” tanya Dita hati-hati.

“Gak jauh kok kalau dari kampus, mbak,” sahut Delia.

“Kapan-kapan aku boleh main ke rumahmu?” tanya Dita lagi. Delia diam. Kelihatan sedang memikirkan sesuatu.

“Mm, boleh, sih, mbak... Tapi...” kata-katanya terhenti. Dita menunggunya mengucapkan sesuatu. Delia balas memandangnya dengan cemas.

“Tapi, kadang-kadang Freddy gak suka sama temen-temen yang main ke rumah,” lanjut Delia. Dita mengerutkan kening. Freddy lagi...

“Kamu lagi gambar apa tuh? Kayaknya kamu bakat jadi pelukis, deh. Atau animator. Gambarmu lumayan unik tuh...” kata Dita mengomentari gambaran Delia.

“Oh, ini... Ini aku gambar berdasar apa aku lihat, mbak. Ini rumahnya Diana yang udah direnovasi ulang,” jelas Diana.

“Diana siapa?”

“Dia itu tetangga yang tinggal di apartemen depan rumahku. Aku belum kenal sama dia, sih. Tapi aku tahu namanya. Dia itu orangnya cantik, lho, mbak. Sayang, aku belum sempat kenalan...” jelas Delia lagi. Dita masih saja mengamati gadis di depannya ini dan entah kenapa dia mendapat kesan aneh dari nada bicara gadis ini. Tapi dia belum berani membuat kesimpulan.

“Trus, kenapa gak kenalan aja?” tanya Dita lagi. Delia tidak menjawab. Dia hanya menatap gambarnya sambil menerawang.

“Takut, mbak...” jawabnya sesaat kemudian. Dita tambah mengernyitkan dahi heran.

“Takut? Kenapa harus takut?” tanyanya lagi. Delia tidak menjawab lagi. Dia kembali kelihatan sedang mencermati gambarannya lagi. Dia menunggu penjelasan dari gadis di sampingnya ini. Tapi setelah lama ditunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari gadis ini. Delia kembali serius dengan pekerjaannya. Dita yang sejak tadi mengamatinya, jadi semakin tertarik saja.

@@@

Entah karena keajaiban yang diberikan Tuhan atau hanya kebetulan yang tidak wajar atau apa, Dita pun tidak tahu. Tapi sekali lagi, Dita bertemu dengan Delia siang ini di sebuah tempat seperti taman bermain dekat kosan Arin. Delia sedang duduk di sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu dan sedang memandang ke atas, seperti sedang menelusuri sesuatu. Dita mendekati gadis itu dengan perlahan. Ada sebuah perasaan membuncah yang entah datang dari mana saat Dita melihat gadis itu. Dita benar-benar tertarik dengan Delia.

“Hai, Del. Ketemu kamu lagi, ya?” sapa Dita ramah. Delia menunduk, berhenti memandangi langit dan ganti menatap Dita.

“Mbak lagi?” tanya Delia dengan nada yang agak kaget. Sepertinya dia juga agak tidak percaya mereka akan bertemu lagi dalam kebetulan yang sepertinya terlalu tidak wajar ini.

“Iya. Lagi ngapain, Del?” tanya Dita seraya duduk di samping Delia. Delia menggeser posisi duduknya agar Dita dapat tempat.

“Enggak. Lagi nggak ngapa-ngapain, koq, mbak. Mbak sendiri mau ngapain?” tanya Delia seraya menatap Dita dengan pandangan penuh selidik.

“Mbak mau pulang ke kosannya temen mbak. Tapi liat kamu di sini, mbak jadi pengen ngobrol-ngobrol,” jawab Dita. Delia tidak menyahut. Dia kembali menekuri langit di atasnya. Dita spontan mengikutinya melihat ke atas. Langit sedang mendung dan mungkin sebentar lagi hujan turun.

“Emangnya di atas sana ada apa?” tanya Dita hati-hati.

“Di sana ada banyak hal, mbak...” sahut Delia singkat tanpa menengok ke arah Dita.

“Seperti apa?” tanya Dita lagi. Delia terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

“Kalo’ aku melihat ke atas sana, aku gak mendengar suara-suara itu lagi. Aku gak bakalan liat Freddy, dan aku gak merasa takut... Diana juga suka liat langit. Katanya kalo’ liat langit, dia bisa ketemu orangtuanya yang sudah meninggal,” jelas Delia. Dita mengernyitkan dahi.

“Mm, Freddy... Seperti apa dia?” tanyanya. Delia kelihatan mengernyit.

“Freddy? Kenapa mbak ingin tahu? Dia bilang aku gak boleh ngasih tahu siapa pun...” jawab Delia tegas.

“Apa yang akan dia lakukan kalau kamu kasih tau orang lain?” tanya Dita hati-hati. Delia kembali terdiam sesaat.

“Dia bilang, kalau aku kasih tau orang lain, dia akan mencelakai keluargaku. Suara-suara itu juga bikin aku takut...” ujar Delia lirih. Dita mencondongkan badannya agak ke depan supaya bisa melihat langsung ke wajah Delia. Delia agak menunduk seperti sedang tampak mengamati sepatunya.

“Kamu mendengar suara-suara kayak apa?” tanya Dita semakin tertarik. Tapi Delia hanya terdiam. Dia tidak menjawab juga setelah Dita menunggunya. Dita melihat raut muka Delia agak mengeras. Dia sepertinya agak tidak nyaman mendengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Dita baru saja.

“Apa yang membuatmu merasa takut, Delia?” tanya Dita lagi, lebih lembut.

“Ya, jelas aku takut, mbak... Suara-suara itu selalu mengikutiku. Ngomong segala sesuatu yang buruk tentang aku. Aku gak betah...” Delia mengentikan ucapannya. Dia memandang berkeliling dengan gelisah. Dita mengikuti pandangannya dan mencari tahu apa yang membuat gadis itu berubah jadi ketakutan seperti itu. Tapi di sekeliling mereka hanya ada lalu lalang orang dan kendaraan yang sepertinya jauh dari sesuatu yang harus ditakuti sampai sejauh ini. Tidak ada yang tidak normal dari aktivitas lalu lalang macam ini. Lalu apa yang sedang ditakuti gadis ini?

“Ada apa, Delia?” tanya Dita hati-hati.

“Mereka di sini, mbak. Tuh, mbak denger ‘kan? Mereka terus mengikutiku. Mereka... dan juga Freddy,” Delia mendesis pada Dita sambil mencengkeram tangan Dita dengan erat. Sangat erat sampai Dita yakin, kalau tangan Delia diangkat pasti akan ada cap lima jari di pergelangan tangannya. Tapi Dita tidak berusaha menjauh dari gadis itu. Tatapan Delia yang menusuk itu membuat udara siang yang dingin ini menjadi tambah dingin. Dita terus memperhatikan tingkah laku Delia yang berubah seketika itu.

“Apa yang kamu dengar, Delia?” tanya Dita hati-hati, sambil terus menatap Delia.

“Mereka meneriaku, menjelek-jelekkanku, dan juga... berbicara segala sesuatu yang buruk tentang aku. Mbak Dita gak denger??” Delia menatap Dita dengan pandangan cemas. Dita menggeleng. Delia lalu melepaskan cengkeramannya dari lengan Dita. Dita menghela napas pelan. Lengannya sudah mulai kebas akibat dicengkeram kuat-kuat oleh Delia.

“Del, kamu gak apa-apa ‘kan? Mau mbak anterin pulang ke rumah?” tanya Dita.

“Gak usah, mbak. Biar Delia pulang sendiri aja. Udah, ya, mbak?” Delia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan Dita yang masih menatapnya dengan pandangan cemas serta ingin tahu.

@@@

Dita sedang membaca novel koleksi Arin sore itu di kamar kos sahabatnya itu, saat tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar kos. Dita mendongak dan mendapati seorang gadis berpenampilan menarik berdiri di depan pintu kamar kos.

“Ya? Nyari Arin, ya? Wah, maaf, mbak, Arin-nya baru keluar tuh. Ditunggu aja bentar,” cerocos Dita panjang lebar.

“Mm, bukan, mbak. Saya gak nyari mbak Arin, koq. Saya Sarah, saya nyari mbak Dita yang temennya mbak Arin itu,” sahut gadis itu ragu-ragu.

“Oh, Dita... Maksudku, iya, saya Dita. Ada apa, ya? Masuk dulu, deh,” ujar Dita. Gadis itu masuk ke dalam kamar Arin dan duduk di samping Dita.

“Ada apa, ya? Kamu angkatan bawahnya Arin, ya? Gak keliatan tua, soalnya. Hehehe...” tebak Dita. Sarah tersenyum simpul.

“Iya, mbak, saya baru semester 3 ini. Saya seangkatan dengan Delia...”

“Oya? Oh... Ada perlu apa, ya, denganku?”

Gadis itu terdiam. Dia kelihatan ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu.

“Mm, ini tentang Delia...”

“Kenapa dengan anak itu? Oya, aku penasaran dengan gadis itu. Aku, sih, gak begitu kenal dengan anak itu. Tapi kayaknya dia gadis yang menyenangkan...” kata Dita.

“Awalnya, sih, begitu...” sahut Sarah. Dita mengernyitkan dahi dan menatap Sarah dengan pandangan penuh tanya.

“Awalnya?”

“Mm, gini... Aku sering liat mbak Dita ngobrol dengan Delia...” ujar Sarah. Dita menunggunya untuk mengucapkan hal lain. Tapi setelah ditunggu, gadis di depannya ini tidak mengucapkan kalimat lain.

“Trus? Awalnya... Kamu dulu pernah dekat sama Delia?” tebak Dita. Sarah menunduk Bingo!

“Ya, dulu aku dekat dengan Delia. Dia orang pertama yang aku kenal di kampus ini. Yang pertama kali menyapaku dulu juga dia. Delia itu gadis yang supel, gampang kenal dengan orang-orang di sekitarnya dan mudah diajak ngobrol. Intinya dia itu gadis yang menarik-lah. Kita berdua dulu pernah menyewa rumah untuk ditinggali bersama dua teman yang lainnya. Aku dan Delia dulu ke mana-mana sering bareng. Tapi semenjak Delia diputus pacarnya yang bertepatan dengan ultahnya yang keduapuluh, dia jadi agak... aneh,” ungkap Sarah. Gadis itu menghela nafas panjang.

“Aneh?” tanya Dita.

“Iya, aneh, mbak. Dia sering ngomong yang aneh-aneh. Dia sering bilang kalo’ dia mendengar suara-suara yang sedang menjelek-jelekannya. Padahal teman-teman yang lain gak mendengar apa-apa. Bukan itu saja, dia hampir selalu mencelakai dirinya sendiri. Dia bilang itu bukan keinginannya, tapi ada orang lain yang menyuruhnya. Dia bilang juga, ada seseorang yang sedang membuntutinya. Itu aneh, aneh sekali. Kami bahkan gak melihat tanda-tanda ada orang yang ingin mencelakainya,” jelas Sarah panjang lebar.

Dita menatap gadis di depannya itu dengan serius.

“Apakah dia punya teman yang bernama Freddy?” tanya Dita.

“Freddy? Ya, dia juga pernah bilang tentang Freddy. Aku pikir itu temannya di luar kampus atau mungkin SMU-nya. Tapi selama itu pula, aku belum pernah bertemu atau bahkan melihat orang yang sering diceritakan Delia itu,” jawab Sarah. Dita mengangguk-angguk.

“Rumah kontrakan kalian ada di depan sebuah apartemen gak?” tanya Dita. Sarah menatapnya dengan bingung, tapi sesaat kemudian dia menjawab.

“Tidak. Memangnya ada apa, mbak?”

“Delia pernah bilang, dia punya tetangga bernama Diana yang tinggal di apartemen yang ada di depan rumah kontrakannya,” jelas Dita.

“Gak mungkin. Depan kontrakan kami tuh cuma ada sekolahan, gak ada apartemen di daerah tempat kami tinggal,” sahut Sarah dengan muka tertekuk. Dita mengangguk-angguk.

“Tuh ‘kan, mbak... Dia selalu mengkhayal yang tidak-tidak. Dia pernah membuat kami ketakutan dengan mengatakan kalau nenek yang tinggal di rumah yang ada di pojok gang baik banget. Sering menyapanya dan mengajaknya ngobrol. Padahal gak ada nenek-nenek yang tinggal di situ. Rumah itu bahkan jarang ditempati pemiliknya. Kami pikir yang dia lihat itu hantu atau apa...” jelas Sarah panjang lebar. Dita tersenyum simpul. Sarah ganti menatapnya dengan cemas.

“Kenapa aku menceritakan ini pada mbak Dita? Karena aku melihat beberapa hari ini mbak Dita selalu mencoba mendekati Delia. Padahal Delia itu kadang-kadang bisa membahayakan orang lain. Teman-teman kami sudah mencoba ngomong baik-baik padanya dan menyuruhnya untuk berhenti bicara yang tidak-tidak, tapi dia sendiri yang menjauh dari kami,” lanjut Sarah. Dita tersenyum mafhum mendengar penjelasan Sarah.

“Iya, aku mengerti. Aku akan coba bicara padanya,” katanya kemudian.

Sarah menatapnya dengan pandangan kaget.

“Aku tahu kekhawatiranmu itu. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan. Ini sepertinya pekerjaanku. Dia sama sekali tidak sejahat dan seaneh yang kau bayangkan. Dia mungkin butuh teman yang selalu ada di sisinya, dan bukan menjauhinya,” ujar Dita bijak. Sarah menatapnya bingung.

@@@

Gadis itu duduk terpuruk di pojokan kamar rumah kontrakannya. Dia melihat sekelilingnya dengan pandangan waspada dan hati-hati.

“Kenapa, Delia? Tidak punya siapa-siapa lagi? Kamu ‘kan memang pantas mendapatkannya...” terdengar sebuah suara di sebelahnya. Delia menoleh cepat. Tapi tidak ada seorang pun di sana.

“Siapa?”

“Kamu harus pergi dari sini, Delia. Pergi untuk selama-lamanya...”

Delia kembali memandang berkeliling dengan takut-takut.

“Tidak. Kumohon, jangan ganggu aku lagi...” pintanya memelas.

“Kamu harus pergi dari dunia ini, Delia... Pergi untuk selama-lamanya...”

Delia menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Dia ingin tidak mendengar suara-suara yang selalu datang mengganggunya itu. Dia ingin suara-suara itu lenyap dari kehidupannya dan tidak terdengar lagi. Tapi suara-suara itu terdengar jelas sekali di telinganya, seolah-olah berasal dari dalam dirinya sendiri.

“Percuma saja kau melakukan itu, Delia...” ujar seseorang yang kini sudah berdiri di hadapannya. Delia melepaskan kedua tangan dari daun telinganya dan mendongak menatap seseorang yang sedang berdiri di hadapannya. Seorang pemuda jangkung yang mengenakan jaket berkerah berwarna hitam dengan potongan rambut pendek menatapnya dengan pandangan tajam yang menusuk.

“Freddy... Kau bisa masuk? Aku sudah menutup rapat semua pintu dan jendela...” ujar Delia takut-takut.

“Kau seperti baru pertama kali bertemu denganku saja. Bukankah aku sudah bilang, pintu serta jendela itu tidak bisa menghalangiku untuk bisa menemuimu,” jawab pemuda itu.

“Apa yang kau inginkan kali ini?” tanya Delia.

“Aku sudah bilang ‘kan, kau tidak bisa menghilangkan suara-suara itu dalam kepalamu. Mereka akan terus mengikutimu seumur hidupmu. Dan kau, harus menuruti kata-kataku,” kata Freddy.

“Tidak, aku tidak mau. Kamu membuatku kehilangan teman-temanku. Aku tidak mau menuruti kata-katamu lagi,” sergah Delia dengan nada suara bergetar. Pemuda di hadapannya itu tersenyum meremehkan.

“Kalau begitu, keluargamu tidak akan selamat,” seringainya.

“Jangan, jangan keluargaku. Aku mohon... Baiklah, baiklah,” kata Delia akhirnya. Pemuda di hadapannya itu kembali menyeringai penuh kemenangan.

“Kalau begitu, kamu harus menuruti kata-kataku,” katanya.

@@@

“Mbak Dita...!” panggil seseorang. Dita yang sedang asyik menekuri novel di kamar kos Arin terlonjak kaget mendengar panggilan yang agak keras itu.

“Sarah? Ada apa? Koq kelihatannya pucat banget?”

“Delia, mbak...”

“Ya? Dia kenapa?” tanya Dita ingin tahu sekaligus khawatir.

“Dia masuk rumah sakit.... Dia... Dia mencoba memotong pergelangan tangannya sendiri, mbak...”

“Hah?!”

@@@

Dita melihat dengan muka tertekuk pada gadis yang sedang terbaring lemah di atas ranjang tempat tidur rumah sakit itu. Tangan kanannya dibalut perban serta ada jarum suntik yang ditusukkan di pergelangan tangan kirinya. Dia kehilangan banyak darah akibat perbuatannya itu. Sedang Sarah duduk di samping tempat tidurnya. Dia jadi merasa bersalah atas sikapnya yang menjauhi Delia dan membuat gadis itu jadi kesepian.

“Kenapa kamu begitu perhatian padanya, Dit? Gak biasanya kamu kayak gini,” kata Arin yang berdiri di samping Dita heran.

“Karena mungkin aku bisa menolong gadis ini,” jawab Dita singkat.

Arin membuka mulut untuk bertanya lagi saat tiba-tiba ada gerakan yang membuat mereka semua terdiam. Tangan Delia mulai bergerak-gerak pelan. Lalu kelopak matanya bergerak-gerak sebelum akhirnya perlahan membuka sedikit demi sedikit.

“Delia, ini aku, Sarah. Kamu sudah bangun?” Sarah mencondongkan tubuhnya agar Delia bisa melihatnya.

“Sarah? Kenapa... Kenapa aku ada di sini? Kenapa kalian ada di sini?” tanya Delia seraya menatap semua orang di ruangan itu dengan pandangan kaget.

“Karenakami perhatian sama kamu, Del...” jawab Dita.

“Del, kenapa kamu ngelakuin ini lagi?” tanya Sarah cemas.

Delia terdiam dan tidak menjawab. Dia memandang berkeliling ruangan, dan tiba-tiba matanya jatuh pada satu titik. Pintu kamar rumah sakit yang kini terbuka lebar. Semua orang mengikuti pandangannya. Banyak orang yang lalu lalang di depan pintu, tapi tak satu pun yang berdiri di depan pintu. Tapi pandangan mata Delia yang penuh ketakutan itu seolah mengindikasikan kalau ada seseorang yang sedang berdiri di situ.

“Freddy...” gumamnya pelan. Dita kembali mengikuti arah pandangan Dita, tapi masih tidak menemukan siapa-siapa di sana.

“Tidak ada siapa-siapa di sana, Del...” kata Sarah.

“Ada. Freddy di sana. Dia... dia sedang mengawasi kita,” bisik Delia takut.

“Tidak ada siapa-siapa...” sergah Sarah. Dita memegang bahunya lembut. Sarah menoleh dan mendapati Dita sedang menatapnya dengan penuh arti. Artinya dia harus diam dan dengarkan saja apa yang dikatakan Delia.

“Freddy di sana. Dia mengawasiku. Dia akan mencelakai kedua orang tuaku kalau aku bilang-bilang pada semua orang tentang keberadaannya. Dia, dia yang menyuruhku melakukan ini... Dan juga...” ujar Delia dengan suara yang pelan sekali. Dan tiba-tiba dia berhenti bicara. Pandangan matanya kini menerawang ke atas, ke sekelilingnya, seperti sedang mencari-cari sesuatu.

“Dan juga suara-suara ini. Mereka yang menyuruhku untuk melakukan ini... Mereka bilang, aku tidak berguna. Ini... Kalian dengar?” Delia menatap ketiga orang itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Arin melongo tak percaya menatap apa yang terjadi di hadapannya ini. Sarah menatap Dita dengan pandangan takut-takut.

“Apakah ini semacam... kerasukan atau apa?” bisik Arin di telinga Dita.

“Bukan. Aku akan menjelaskannya nanti. Sarah, orang tuanya sudah dihubungi?” Dita menoleh ke arah Sarah. Sarah mengangguk.

“Mungkin dia harus dirawat di rumah sakit tertentu...” ujar Dita pelan. Dia menatap wajah Sarah dan Arin yang ganti menatapnya dengan bingung. Tapi Dita hanya mengangguk pelan sambil mengajak kedua orang itu keluar ruangan.

@@@

“Dia mungkin menderita skizofrenia...” ungkap Dita kepada kedua orang di depannya saat mereka bertiga berada di kantin rumah sakit sesaat setelah orang tua Delia datang.

“Hah? Apaan tuh?” tanya Arin bingung.

“Itu semacam gangguang kejiwaan. Skizofrenia itu semacam gangguan di mana seseorang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan. Seseorang akan merasa terus diikuti oleh semacam perasaan takut karena diikuti oleh seseorang dan semacamnya. Suara-suara yang sering didengar Delia itu mungkin gejala halusinasi auditori. Bahkan Freddy dan juga Diana itu, mungkin hanya bayangan yang ada dalm kepalanya. Semacam itulah, aku belum berhak mendiagnosis seseorang menderita skizofrenia atau tidak. Tapi yang pasti, Delia sudah menunjukan gejala-gejala yang mengarah ke sana,” jelas Dita panjang lebar.

“Jadi, suara-suara yang didengar Delia itu hanya khayalannya saja?” tanya Sarah. Dita mengangguk.

“Begitu juga dengan Freddy...” tambahnya.

“Kupikir dia tadi kesurupan atau bagaimana...” kata Arin.

“Memang kelihatannya seperti itu. Penderita skizofrenia selalu tampak ketakutan karena halusinasi yang dilihat atau didengarnya. Oh, iya, Sarah... Apa salah satu keluarga Delia ada yang punya riwayat...mm, memiliki gangguan kejiwaan atau semacamnya?” Dita menoleh ke arah Sarah.

“Tunggu, kalau masalah itu, aku sepertinya pernah mendengar Delia bilang kalau nenek dari ibunya pernah masuk rumah sakit jiwa. Aku tidak tahu apa sebabnya. Tapi aku yakin Delia pernah bilang seperti itu. Apa itu ada hubungannya dengan keadaan Delia sekarang?” Sarah menatap Dita penasaran.

“Tentu saja ada. Faktor genetis sering disebut-sebut sebagai penyebab utama adanya gangguan ini. Kurasa, Delia memang benar-benar membutuhkan pertolongan. Sebelum semuanya terlambat,” tegas Dita.

@@@

Kini gadis bernama Delia itu duduk di sebuah bangku di halaman RSJ terkenal di kota Magelang, dengan pandangan mata menerawang ke atas. Dita menatapnya dengan pandangan sendu. Gadis itu sudah jauh berbeda dengan gadis yang dikenalnya dua bulan yang lalu. Dia sekarang tampak jauh lebih kurus dengan rambut panjang yang agak berantakan.

“Delia, aku pulang dulu, ya?” kata Dita seraya menepuk bahu Delia halus. Delia menatapnya dalam diam. Lalu mengangguk dan kembali menekuri langit di atasnya. Dita mengangguk pada kedua perawat yang semenjak tadi menjaganya. Kedua perawat itu membalas anggukan Dita. Dita melangkah pergi sambil menghela nafas panjang.

Dokter bilang Delia sudah bisa menguasai emosinya, tapi dia masih sering mendengar suara-suara itu. Dan kadang-kadang masih berbicara tentang Freddy. Yah, semoga dia bisa sembuh... batin Dita gundah.

@@@

Delia baru saja akan memejamkan mata setelah kedua perawat yang sering dilihatnya itu memberikan obat padanya malam ini, saat didengar sebuah suara memanggil namanya. Delia kembali terjaga dan sekejap rasa kantuk yang baru saja dirasakannya itu hilang begitu saja. Dia memandang berkeliling ruangan bercat hijau yang mengurungnya dalam beberapa hari terakhir itu dengan waspada. Suara itu lagi...

“Delia sayang, kamu bahagia di sini?” tanya suara itu. Delia menoleh cepat.

Dan di pojokan ruangan, seorang pemuda bersandar pada tembok di belakangnya dengan kedua tangan berada di depan dadanya.

“Freddy? Kau.. Kau mengikutiku juga ke sini?” tanya Delia takut.

“Sudah aku bilang ‘kan? Aku ada di manapun kau berada. Kenapa? Sudah lama tidak melihatku?” tanya pemuda itu.

“Pergi...! Kenapa kamu selalu mengganggu hidupku? Biarkan aku hidup tenang,” kata Delia setengah terisak.

“Bukankah aku sudah bilang, aku akan membuat hidupmu tenang jika kamu mau menuruti kata-kataku,” kata Freddy setengah menyeringai.

“Tapi, aku sudah menuruti semua kata-katamu...” sahut Delia.

“Belum! Kamu berjanji padaku untuk tidak mengatakan keberadaanku pada orang lain. Tapi nyatanya kamu mengatakannya juga pada gadis bernama Dita itu. Akhirnya, kau terkurung di sini. Di tempat yang sama sekali jauh dari orang tuamu. Mereka membuangmu di sini... Mereka tidak mencintaimu lagi...” ujar Freddy sambil menyeringai lebar.

“Tidak! Kau salah! Mereka memasukanku ke sini karena mereka menyayangi aku. Itu yang dikatakan mereka...” sergah Delia. Freddy tertawa lebar.

“Mereka membohongimu. Mereka tidak benar-benar menyayangimu. Kau ini bodoh atau apa, sih? Kamu ini dibohongi. Kamu ingin mereka membawamu pergi dari sini? Aku tahu caranya...” ujar Freddy. Delia menatapnya dalam diam.

“Kamu mau pergi dari sini ‘kan? Dan kembali pada orang tuamu?” tanya Freddy lagi. Delia terdiam. Tapi kemudian dia mengangguk. Freddy kembali tersenyum kemenangan.

“Kamu harus menuruti kata-kataku lagi...” katanya. Delia mengangguk. Dan tiba-tiba suara-suara yang selama ini selalu mengancamnya dan mengatakan hal-hal buruk padanya kembali terdengar. Kali ini lebih seru dari biasanya. Dan Delia tidak tahan lagi untuk tidak memperdulikannya. Dia sudah bosan terus menerus dipojokkan oleh suara-suara ini. Aku ingin bebas....! serunya dalam hati.

@@@

Aku tersenyum lega saat mendapati pesan yang masuk ke ponselku pagi ini. Pesan yang datang dari Sarah yang mengatakan kalau orang tua Delia setuju untuk membawa Delia berobat ke rumah sakit yang lebih baik. Di rumah sakit sebelumnya tidak ada peningkatan yang berarti. Delia masih sering menyebut-nyebut “Freddy” dan suara-suara yang mengikutinya. Aku rasa memang Delia butuh penanganan khusus yang lebih baik agar penyakitnya itu sedikit demi sedikit sembuh. Yahh, bukan hak kita untuk menjauhi seseorang yang sebenarnya sangat membutuhkan kehadiran dan dukungan dari orang-orang sekitarnya. Jadi memang seharusnya kita lebih terbuka dalam menyikapi segala sesuatu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun