Mohon tunggu...
Ai Sherry
Ai Sherry Mohon Tunggu... lainnya -

This is my new blog. My new world. My place to replace my imagination.. ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Eden

26 Februari 2014   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku melihatnya...” ujar Aya saat itu.

“Apa?” tanyaku bingung.

“Masa’ kamu gak liat? Itu.. Yang lagi duduk di pojokan. Kamu gak liat?” tanya Aya lagi seraya menunjuk ke pojokan ruangan dengan raut wajah yang biasa saja. Aku yang sedang duduk di sampingnya, dan sama sekali gak liat ada sesuatu atau seorangpun di tempat yang ditunjuk Aya, jelas aja merasa merinding sendiri.

“Apaan?” tanyaku heran plus sedikit takut.

Aya cuma tersenyum, ke arah pojok ruangan yang kosong itu.

“Namanya Eden...” katanya kemudian.

“Hah?” aku mengernyitkan dahi menatapnya.

“Iya. Namanya Eden.. Rumahnya jauuuh sekali di dalam tanah..” jawab Aya kemudian.

“Hah?” sekali lagi aku melongo menatap ke arahnya.

Aya lalu menatapku sejenak.

“Eden bilang, suatu saat.. bangsanya dari dunia Bawah bakal keluar ke Atas dan menguasai dunia Atas ini..” Aya memegang tanganku dan menatapku khawatir. Lalu sekali lagi pandangannya beralih ke pojokan ruangan yang di mataku masih berupa ruang kosong itu.

“Aya.. Kamu baik-baik aja ‘kan?” tanyaku mulai khawatir.

Aya mengangguk mantap.

“Apa kamu gak denger yang dibilang Eden tadi?” tanyanya padaku.

Aku berpikir sebentar sambil mengerutkan dahi.

“Eden.. siapa?” tanyaku bingung setengah mati.

@@@

Aku menghela napas panjang. Mengakhiri memori masa laluku beberapa tahun yang lalu dengan meneguk secangkir kopi yang sejak tadi terseduh di atas meja kerjaku. Untukku meja kerja.. Mungkin untuk beberapa orang yang hanya melihatnya sekilas, mereka beranggapan ini hanyalah meja dengan setumpuk sampah kertas di atasnya. Ini bukan kertas-kertas sampah tidak berguna. Tapi lembaran ulangan semester milik murid-muridku yang harus segera aku koreksi dan selesaikan malam ini. Awalnya tadi aku memang sedang mengoreksi lembar jawaban itu sebelum aku menemukan nama yang mengusik pikiranku di salah satu lembar jawaban itu. Nama yang sangat unik dan tidak dimiliki banyak orang. Araya.

Saat membaca nama itu, pikiranku langsung melayang pada satu orang dari masa laluku yang kini entah berada di mana. Namanya Araya. Aku tidak tahu apa arti kata itu. Sepertinya nama yang diambil dari bahasa asing dan aku juga tidak pernah bertanya padanya tentang arti nama itu. Yang aku tahu, panggilannya Aya.

Perkenalanku dengan Aya bisa dibilang sangat biasa. Dia anak baru di sekolah kami yang menyita banyak perhatian karena wajahnya yang sedikit kebaratan. Setelah ditelusuri, neneknya adalah campuran Indonesia-Uzbekistan. Jadi saat itu aku mengambil kesimpulan kalau mungkin nama Araya adalah salah satu kata yang berasal dari bahasa Uzbekistan. Sedikit ngawur, sih.. Hehe.

Tapi yang pasti, Aya memang menyita perhatianku dari awal aku melihatnya. Pertama, karena penampilannya yang memang agak berbeda dengan kami. Lalu yang kedua, adalah karena kepribadiannya yang agak terutup. Aku juga tidak tahu sejak kapan kami jadi sedekat itu, setahuku justru Aya-lah yang pertama mengawali perkenalan kami saat itu.

@@@
“Siapa namamu?” cewek berambut hitam kecoklatan yang diikat ke belakang dengan seadanya itu mengulurkan tangannya ke arahku yang lagi sibuk-sibuknya mengecek PR-ku sudah aku selesaikan semua atau belum. Aku segera menerima uluran tangannya.

“Hana’. Panggil Hana..” jawabku seraya tersenyum ke arahnya.

“Aku Araya. Panggil Aya..” katanya kemudian, juga sembari tersenyum ke arahku.

Aku melepaskan tanganku dan kembali mengecek buku-buku tugasku. Aku orang paling payah dalam memulai pembicaraan dengan orang lain, apalagi orang yang baru dikenal. Jadi aku diam saja saat tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan.

“Sekarang sedang banyak PR, ya?” tanya Aya lagi. Dan itu membuat suasana di antara kami berdua tidak kaku lagi.

“Iya..” jawabku singkat.

Lalu baik aku maupun Aya diam. Tidak ada yang bicara di antara kami beberapa saat. Aya sekarang mulai sibuk mengeluarkan buku-bukunya karena sebentar lagi guru yangmengajar untuk pelajaran selanjutnya akan datang. Aku sudah selesai mengecek buku-buku tugasku dan sibuk memperhatikan sekitarku. Anak-anak di kelasku biasanya akan berjalan keluar masuk kelas saat pergantian jam seperti ini, terutama para cowok. Dan sejak kedatangan Aya ke kelas ini, sepertinya mejaku yang biasanya tidak dilirik siapa-siapa, hari ini menjadi pusat perhatian hampir dari seluruh kelas. Yah, siapa yang tidak tertarik dan ingin tahu tentang Aya. Cewek itu menarik, dari segi penampilan. Dan dia juga mudah beradaptasi dengan keadaan kelasku.

@@@

Aku kembali meneruskan mengerjakan beberapa lembar jawaban yang belum selesai aku koreksi itu. Tapi ingatanku yang tiba-tiba tentang Aya tadi, tidak bisa semudah itu dibuang begitu saja. Aku mengerjakan lembaran-lembaran itu dengan pikiranku yang masih mengingat-ingat kejadian-kejadian tak terlupakan tentang cewek itu. Dan itu tentu saja membuatku harus berkali-kali mengecek koreksianku berulang-ulang agar aku tidak salah mengoreksinya.

Ahh.. Sepertinya aku harus bikin sesuatu biar tidak mengantuk.

Aku beranjak dari meja kerjaku dan berjalan menuju dapur. Rupanya tinggal aku satu-satunya orang yang masih melek di rumah ini. Orang tuaku, tentu saja sudah tidur dari tadi. Adik-adiku juga sudah tidur pastinya.

Aku mengambil toples isi kopi kesukaanku dan menyeduhnya ke dalam secangkir mug yang sudah aku tuang air panas sebelumnya. Aku menambahkan gula dan mengaduknya agar tercampur rata. Saat aku mengaduk dan melihat ke dalam cangkir itu, ingatanku yang sedari tadi masih terpatri pada Aya, mau tidak mau kembali teringat pada kejadian tentang cewek itu beberapa tahun yang lalu.

@@@

(Flashback..)

“Kamu percaya sama alien?” tanya Aya tibat-tiba saat aku sedang mengunyah bakso uratku dengan susah payah. Tapi Aya hanya memandang ke dalam gelas es tehnya sambil mengaduknya berkali-kali tanpa ada minat untuk segera meminumnya.

“Kenapa tiba-tiba nanyain itu?” tanyaku heran kala itu.

“Cuma pengen tahu aja pendapatmu gimana..” jawab Aya.

“Percaya..” jawabku sekenanya.

Dan aku tidak menyangka kalau reaksi Aya akan di luar dugaanku. Dia menepukkan kedua tangannya dengan keras dan menatapku dengan antusias.

“Nah! Aku tahu kalau ada orang lain yang bakal percaya kalau alien itu ada..” katanya girang.

Aku mengerutkan dahi menatapnya.

“Emangnya kenapa, sih?” tanyaku ingin tahu.

“Aku pernah liat alien..” ujar Aya tiba-tiba.

Aku menghela napas masgul dan memutar bola mataku bosan saat mendengar perkataan Aya tadi. Mulai lagi..

“Kamu liat alien di mana? Bahkan sampe sekarang belum ada bukti kalau alien benar-benar ada..” kataku.

“Tapi kamu tadi bilang kalau kamu percaya alien ada..” kata Aya, setengah protes.

“Iya, di jagat raya seluas ini.. Mana mungkin cuma manusia yang hidup ‘kan? Di luar sana mungkin ada sesuatu, tapi ‘kan manusia belum bisa ngebuktiin secara jelas..” kataku, mencoba berargumen. Tapi sepertinya Aya tidak bisa menerima pendapatku begitu saja. Wajahnya tampak tertekuk dan sepertinya dia mulai merajut.

“Tapi aku benar-benar pernah liat alien, Hana..” katanya.

Aku tidak segera menjawab. Sudah tiga bulan ini Aya sekolah di sini dan selama itu pula hanya aku satu-satunya teman yang dekat dengannya. Alasan pertama adalah karena tempat duduk kami yang sebangku. Dan yang kedua adalah karena Aya mungkin merasa aku satu-satunya teman yang membuatnya nyaman diajak bicara. Mungkin alasan lain adalah, karena aku tidak pernah memandangnya aneh ketika dia mulai menceritakan hal-hal yang mungkin menurut sebagian orang tidak normal. Salah satunya, pembicaraan tentang alien ini.

Awalnya aku pikir itu adalah gaya lelucon Aya. Jadi aku maklum. Bahkan ketika dia mulai bilang padaku kalau dia melihat sesuatu yang enggak aku lihat. Aku kira dia cuma mau niat nakut-nakutin aku. Atau mungkin dia memang punya kelebihan untuk melihat hal-hal tak kasat mata yang tidak bisa dilihat orang lain. Entahlah. Saat itu aku cuma berpikir kalau Aya adalah gadis menarik dengan mengenyampingkan segala keanehannya.

Sampai suatu ketika, saat dia benar-benar menunjukkan sisi anehnya yang membuatku baru tersadar kalau ada sesuatu yang salah pada gadis itu.

***

Aku melihat Aya sedang mencoret-coret sesuatu di atas buku tulisnya saat aku baru memasuki kelas pagi ini. Beberapa siswa sudah duduk di bangku mereka karena beberapa menit lagi bel masuk sekolah berbunyi.

“Hei, Ya.. Lagi ngapain? Udah dateng dari tadi?” tanyaku seraya meletakkan tas ranselku di atas meja.

“Iya. Udah dari tadi pagi. ‘Kan aku ada piket hari ini..” jawab Aya, tanpa menoleh ke arahku dan masih sibuk mencoret-coret sesuatu di atas bukunya.

“Kamu lagi ngapain, sih? Emang ada PR, ya, hari ini?” tanyaku ingin tahu.

Aya tidak segera menjawab dan tetap asik dengan coretannya. Aku melirik dengan penuh ingin tahu ke arah buku tulis yang sedang dipegang gadis itu. Aya sedang menggambar sesuatu yang tampaknya seperti Leprechaun yang ada di legenda orang-orang Irlandia dengan mahkota di atas kepalanya dan wajah yang mengekspresikan kelicikan. Aku mengernyitkan dahi melihat gambar itu.

“Itu apa?” tanyaku ingin tahu.

“Ini salah satu prajurit Eden..” jawab Aya tanpa melihat ke arahku.

Aku membuka mulutku untuk menjawab tapi tidak ada satupun kata yang keluar, jadi aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Eden lagi?

“Lalu Eden-nya mana?” tanyaku lagi. Aku berpikir.. baiklah, aku akan ikuti permainanmu.

Aya sekarang baru beralih meanatpku dan tersenyum maklum.

“Hana.. Aku ‘kan udah bilang, Eden gak bisa dilukiskan dengan gambaran manusia. Dia itu seperti.. cahaya yang terang banget. Tapi kalau udah marah, dia bakal jadi merah menyala. Dan cuma orang-orang yang percaya yang bisa liat dia..” jelas Aya.

Aku kembali mengangguk-angguk mengiyakan. Bel masuk sekolah sudah berbunyi, dan beberapa murid mulai menyerbu masuk ke kelas, jadi aku tidak sempat bertanya-tanya lagi pada Aya.

***

Sudah lima hari ini Aya tidak masuk sekolah sejak pembicaraan kami tentang Eden terakhir kali di kantin seminggu yang lalu. Tanpa alasan yang jelas. Kata orang tuanya dia sakit. Tapi tidak dijelaskan sakit apa. Dan hanya surat keterangan dari dokter yang dibawa guru kelas yang menyatakan dia sakit tanpa dijelaskan secara spesifik apa penyakitnya. Jujur saja, aku merasa khawatir. Kalau saja dia bilang apa penyakitnya, aku tidak akan memikirkannya sampai sejauh ini.

Dan kekhawatiranku semakin menjadi-jadi saat ada salah seorang teman yang rumahnya satu komplek dengan Aya bilang kalau Aya kini sedang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di kota Magelang. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati dengan kecemasan yang makin menjadi. Separah apa penyakitnya sampai dia harus pergi berobat ke luar kota?

Lalu dengan rasa penasaran yang tidak bisa aku bendung lagi, akhirnya aku berniat untuk pergi membesuknya setelah pulang sekolah ini. Aku belum pernah pergi ke rumah Aya sebelumnya. Jadi aku meminta temanku yang rumahnya berada satu komplek dengan Aya untuk mengantarkanku ke sana. Tapi anehnya, setiba di sana yang ada hanya pembantu rumah tangga yang bekerja di sana. Dan mbak-mbak yang usianya sekitar dua tahunan di atasku itu cuma bilang kalau Aya mungkin baru bisa pulang ke rumah minggu depan. Jadi akhirnya aku pulang dengan tangan kosong, masih dengan rasa penasaran yang belum terjawab.

***

Pagi ini aku melihat Aya sedang duduk di bangku kami dengan kepala setengah menduduk. Aku yang tidak menyangka kalau Aya akan masuk sekolah hari ini tentu saja girang bukan main. Apalagi sudah seminggu ini dia tidak masuk sekolah dengan alasan yang jelas. Aku segera menghampiri tempat duduk kami dan menyapanya. Aya kelihatan agak pucat hari ini. Aku maklum karena dia habis sakit. Jadi walau dia kelihatan sedikit tidak fokus pada orang yang sedang bicara dengannya, aku tidak masalah.

“Kamu sakit apa, sih, Ya?” tanyaku penasaran. Tapi Aya hanya menjawabnya dengan sebuah senyum samar. Dia tidak melihat ke arahku dan kembali menunduk ke bawah.

Aku mengerutkan dahi menatapnya. Dan mulai berpikir ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku mengabaikannya.

“Ya? Kalau masih sakit, mending kamu gak usah masuk sekolah dulu aja..” kataku dengan suara yang lebih lembut.

“Aku gak bisa pergi ke manapun, Na..” sahut Aya lirih.

“Maksudnya?” aku menatap Aya bingung.

Tapi Aya tidak segera menjawab dan kembali terdiam. Aku angkat bahu dan mencoba maklum kalau badannya pasti belum begitu fit. Jadi aku tidak bertanya-tanya lagi dan fokus pada pekerjaan rumah yang belum selesai aku kerjakan.

Tanpa menyadari kalau puncak segala keanehan Aya akan terjadi hari ini.

***

Aku baru kembali dari mengembalikan buku di perpus saat aku melihat beberapa orang berkerumun di depan kelasku dengan wajah ingin tahu sambil berbisik-bisik. Aku mengernyitkan dahi heran menatap mereka. Beberapa orang berbicara dengan suara heran bercampur ngeri di dekatku.

“Kasian, ya.. Cantik-cantik tapi gak waras..” ujar salah seorang cewek.

“Lho, katanya kesurupan..” ujar cewek yang satu.

“Enggak. InsyaAllah di sini aman dari hal-hal begituan..” seorang cowok di dekat mereka mengimbuhi. Dan itu semakin membuatku penasaran.

“Apaan, sih?” tanyaku tanpa bisa membendung rasa penasaranku.

“Anak baru yang anak campuran itu tadi pas istirahat teriak-teriak sendiri di kelas..” jawab cewek yang rambutnya panjang. Aku langsung terbelalak kaget.

“Aya maksudmu?” tanyaku.

“Gak tahu namanya. Tapi katanya dia teriak-teriak sambil nglemparin barang-barang. Kayak orang kesurupan gitu.. Katanya, sih, ada yang mau nyerang dia karena dia gak nurutin kata-katanya. Gak tahu maksudnya apa..” jawab cewek itu.

Aku merasakan seolah ada air es yang disiramkan ke dalam perutku saat mendengar hal itu. Aku lalu ikut berdesak-desakan di antara kerumunan orang yang sudah berdiri di depan pintu kelasku itu dan mencoba melihat ke dalam ruangan, tapi aku terhalang oleh orang-orang yang sudah lebih dulu berdiri di sana.

Lalu tiba-tiba kerumunan di depan pintu kelas mundur ke belakang dengan cepat, aku juga ikut terdorong mundur. Beberapa guru perempuan dan wali kelasku muncul di depan kelas dengan memeluk Aya yang kelihatan menggigil ketakutan di pelukan mereka. Aya tidak bicara dan hanya menunduk dengan rambut panjang menutupi wajahnya. Jantungku berdesir cepat sekali saat aku melihat keadaan Aya seperti itu. Tapi aku hanya bisa diam membatu di tempatku berdiri saat ini tanpa bisa melakukan apa-apa. Hati kecilku ingin sekali berlari mengikuti para guru itu dan ikut menenangkan Aya. Tapi rasa gengsiku jauh lebih besar. Aku tidak mau ikut dicap tidak waras oleh beberapa anak di sini. Jadi aku tetap bertahan di tempatku. Hanya bisa melihat Aya dibawa menjauh tanpa aku tahu apa yang terjadi setelah itu.

@@@

(Flashback ends..)

Aku menyelesaikan koreksian terakhirku dengan helaan napas panjang. Sejak hari itu aku tidak pernah melihat Aya lagi. Setidaknya secara langsung. Aya mengundurkan diri dari sekolah dan tidak pernah menampakkan diri lagi di sekolah. Dia bahkan tidak menampakkan diri di depanku untuk sekedar mengucapkan kalimat perpisahan. Aya bagai menghilang begitu saja dan tidak pernah ada anak yang membahas kalau dia pernah berada di sini. Hanya buku tulis miliknya yang tertinggal di laci meja yang jadi kenang-kenangan darinya. Buku tulis yang berisi coret-coretan tentang apa yang dilihatnya saat itu. Apa saja yang dia rasakan saat itu dia curahkan di situ. Dan barulah beberapa tahun kemudian saat aku kuliah dan mengambil jurusan psikologi, aku baru tahu apa yang terjadi pada Aya saat itu. Aku bahkan memperlihatkan buku coretan milik Aya pada salah satu dosenku, dan beliau langsung bisa menganalisanya hanya dengan mendengar ceritaku dan melihat coretan-coretan itu.

Gejala skizophrenia. Itu yang beliau katakan. Aya mungkin mengalami gejala seperti itu. Melihat halusinasi dan mendengar suara-suara dalam kepalanya, yang membuatnya ketakutan setengah mati. Semua yang diceritakan Aya padaku, semua yang dia dengar, dan semua yang dia lihat adalah refleksi dari pikirannya. Yang memang tidak pernah dilihat orang lain. Semua itu hanya ada dalam kepalanya.

Saat aku mengetahui tentang itu, aku merasa menyesal karena selama aku menjadi teman dekatnya, aku mengabaikan semua ceritanya. Semua ketakutan yang dia ceritakan padaku tentang makhluk-makhluk aneh yang dia temui, aku pikir itu hanya leluconnya saja. Aku tidak pernah menyangka kalau semua imajinasinya itu akan membuatnya menderita, seperti saat terakhir kali aku melihatnya di sekolah. Kalau saja saat itu aku sudah tahu itu adalah gejala dari gangguan ini, aku pasti akan menjaganya dan tidak mengabaikannya bahkan ikut memandangnya aneh seperti murid yang lainnya.

Aku kembali menghela napas panjang. Di manapun Aya saat ini.. aku harap dia sudah menjadi orang yang lebih baik sekarang. Aku harap dia mau memaafkanku karena aku sudah pernah mengabaikannya di saat terakhir kami bertemu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun