Mohon tunggu...
rahmattullah rahma
rahmattullah rahma Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

lahir jakarta 10 Januari 1957, laki-laki, beristeri dengan anak dua puteri dan putera. Pendidikan terakhir semester 6 Makhad dakwah Islam Jl Bangka Keb Baru Blok M Jaksel 1995-1997. Sejak April 1978 sebuah cerpen anak terjemahan dimuat majalah anak-anak Si Kuncung. 1980 cerpen anaknya dimuat di Majalah Anak-anak Sahabat, 1981-1997 banyak tulisan dari cerpen, berita, opini dan senibudaya diterbitkan di koran-koran harian mingguan Jakarta seperti TErbit Mingguk, Media Indonesia dan mingguannya, koran terbit 2 X seminggu Intijaya, Simponi, majalah Islam Kiblat, Panjimasyarakat, Berita Yudha harian dan Mingguan, Pos Film, Mingguan Bintang Indonesia (1983-1984), Majalah Remaja Islam Salam Jakarta, 2004 s/d sekarang aktif menulis di Mingguan Madina Jakarta, HU Suara Tangsel, brosur-brosur partai pemilu 2004, dan tabloid Forkabi News, serta Suara Forkabi etc.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Islam

24 September 2011   01:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Rahmatullah HMHA Rasyid Sejak tahun 1930-1940-an, pemuda Soekarno telah menggembar-gemborkan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang dicangkok dari Barat (Eropah) dan Amerika Serikat (AS) ia hendak fungsikan di Indonesia yang ketika itu masih di bawah penjajahan kolonialis Belanda. Soekarno menentang berdirinya Negara Islam Indonesia yang selalu didengang-dengungkan para pemimpin Islam (ahli agama). Sementara Soekarno bersama intelektual muda Indonesia seperti Mr Moh Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan lainnya tentu saja berlawanan pandangan dengan para ulama yang berorientasi kekhalifahan Utsmani, Khulafaurrosyidin, maupun kekhalifahan Baniy Umayyah atau Abbasiyah dan sebagainya. Bagi Soekarno dan kawan-kawan sehaluan, meski Indonesia mayoritas muslim, tetapi masih banyak sekali yang keislamannya hanya kulit saja. Nama mereka saja Islam tapi jiwanya belum terasuki Islam sampai ke tulang sumsum. Dan masih banyak lagi intelektual Indonesia yang emoh Negara Indonesia berdasarkan Syariat Islam. Ada pun orang-orang yang ingin Indonesia merdeka dan berdasarkan Islam tentu saja adalah barisan HOS (Haji Oemar Said) Cokroaminoto, Daud Bereuh (Aceh), Agus Salim, Prof DR Hamka, Mr Moh Natsir, Mr Moh Roem, Syafruddin Prawiranegara, Mr Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusasmito, Karto Suwiryo, Abdul Kahar Muzakkar, dan lain sebagainya. Kemudian mereka dikenal sebagai orang-orang Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pemahaman Soekarno Cs (Partai Nasional Indonesia) amat bertentangan dengan aliran Masyumi. PNI menghendaki Indonesia Negara Republik nasionalis. Negara RI (Republik Indonesia) berdasarkan UUD, Pancasila, dan nasionalis dan bukan berdasarkan Islam. Kata Soekarno dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi” Jilid 1 kita berdasarkan Negara demokrasi seperti yang dianut Perancis, Inggris, Belanda, Amerika dan lainnya. Yakni mempunyai kepala pemerintahan presiden, perdana menteri, atau raja namun dilengkapi dengan trias politika yakni Pemerintah (Eksekutif), Yudikatif (Para hakim, kejaksaan dan lainnya), serta Parlemen atau DPR/DPRD. Bahwa Negara demokrasi adakah Negara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Bila uma Islam ingin Negara Demokrasi/Republik Indonesia berdasarkan Islam, maka umat Islam bisa atau boleh melakukannya melalui parlemen, atau DPR/DPRD. Maka itu perbanyak anggota parlemen/DPR/DPRD di seluruh Indonesia/setiap Pemilu (Pemilihan Lima Tahun) sekali dari kalangan muslim yang kuat. Karena Indonesia bukan hanya berpenduduk muslim, tapi juga Kristen, Katholik, Budha, Hindu dan lainnya. Bila Negara dijadikan Negara Islam tentu rakyat yang bukan Islam akan menentang. Tentu mereka tak menyetujuinya, tulis Soekarno dalam bukunya. Karena Islam sendiri banyak terbagi berbagai firqoh. Di sini ada orang Islam yang kuat agamanya, ada pula yang sekadar nama (Islam Kejawen). Di Negara Indonesia juga banyak intelektual yang menolak Negara berdasar Syariat Islam. Kita bukan hidup jaman Rasulullah, jaman para Sahabat Beliau (Khulafaur Rosyidun) juga bukan jaman Bani Umayah, Bani Abbas atau Kekhaliflahan Turki Utsmani, kata Soekarno. Maka itu, Kemal Attaturk menghapus kekhalifahan di Turki karena hendak menyelamatkan Turki dari kehancuran. Islam boleh tetap ada, tapi bukan seperti jaman dulu. Kita hidup di jaman modern, demikian kira-kira spirit Soekarno menulis dalam banyak artikelnya di Majalah Panji Islam pimpinan Mr M Natsir yang terbit di Bandung, Koran Pemandangan dan lainnya yang terkumpul dalam “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1”. Maksud Eks Presiden RI-1 Ir HM Soekarno ketika berkuasa (1945-1949) masih bisa ditolerir harini. Bahwa orang Islam boleh mendirikan NKRI berdasar Islam tapi harus melalui konstitusi, yakni pemilu. Kemudian mayoritas anggota Parlemen/DPR/DPRD/DPD harus dari orang Islam yang kuat imannya. Sehingga mereka menang voting di dalam tiap sidang konstituante, bukan sebaliknya kalah dengan anggota parlemen yang menolak Syariat Islam. Sebagai kita tahu, pada Sidang Konstituante Bandung (1955-1958) terjadi kevakuman. Peserta sidang tak mencukupi quorum, sehingga amandemen UUD 1945 ke UUD bernuansa Islam gagal total. Apalagi veto Presiden Ir H Soekarno demi mengamankan Indonesia menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945 dengan semangat Preambule Jakarta Charter (Piagam Jakarta). Sedangkan kita juga tahu dalam Piagam Jakarta tertulis di Sila Pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (menurut penafsiran salah satu buku Tumpal Daniel Sitinjak yang wakil PBB Banten). Menurut pengamatan penulis melalui majalah-majalah dan buku terbitan Partai Masyumi seperti Majalah Panji Masyarakat dan lainnya ketidak kompakan, kekalahan Partai Masyumi dengan PNI, PKI dan NU karena Masyumi ditinggal NU (Penggembosan). Inilah politik. Dalam politik tak ada teman dan lawan. Yang ada adalah target kepentingan. Hal seperti ini terjadi terus sampai sekarang (Pemilu 2009). Kita bisa lihat partai-partai politik Islam berkoalisi dengan partai pemenang Pemilu yang nota bene partai Nasionalis. Rupanya umat Islam sudah berkali-kali mencoba agar bisa memegang kendali pemerintahan Indonesia sejak 1945, tapi belum banyak berhasil dan belum menggembirakan. Contoh soal: RUU Anti Porno-aksi Pornografi godokan DPR RI priode 2004-2009 sampai harini belum deal (belum disahkan Eksekutif?). Sehingga sosialisasinya mandeg, dan RUU itu belum juga jadi UUD. Ini salah satu fenomena betapa rapuh kekuatan anggota DPR muslim sampai harini. Mereka kalah suara dengan anggota DPR yang non muslim maupun oleh anggota DPR muslim itu sendiri. Yang menolak RUU itu jadi UU lebih banyak. Tapi gaung wacana politik Soekarno tahun 1930-1940-an ternyata masih terasa dan berfenomena hingga kini. Sebagai bukti, pergolakan di DPRD-DPRD terjadi/muncul Perda-Perda (Peraturan Daerah = UU Daerah/Propinsi atau Kabupaten/Kota) godokan para anggota dewan yang beragama Islam,. Perda itu UU bermuatan Syarait Islam. Lihat saja Perda anti miras, prostitusi dan perjudian. Perjudian sudah ada UU-nya yakni dalam peraturan daerah tentang keamanan dan sebagainya. Begitu juga Eksekutif di Sumatera Barat bersama anggota DPRD menerbitkan perda yang melarang aliran agama Ahmadiyah di sana. Perda anti miras-prostitusi di Kota Tangerang Banten, sampai Inul dan Dewi Perssik haram masuk Kota Tangerang demikian juga di Bandung. Rupanya memang umat Islam, bila ingin agamanya menjadi KUHP perdata dan Pidana hendaknya makin memenangkan anggota dewan mereka baik tingkat Nasional mau pun daerah/lokal. Sehingga apa yang dikatakan Soekarno menjadi kenyataan, bahwa bila ingin Syariat Islam jadi UU NKRI maka perbanyak anggota parlemen dari kalangan Islam yang kuat. Ubah UU dengan cara yang konstutisional. Rebut gaya pemerintahan Indonesia lewat konstitusi dan bukan cara-cara lain. Merebutnya harus melalui Pemilu dan Pemilu. Kemudian sekarang apakah umat Islam menyadari cita-cita bangsa yang dicetuskan Soekarno 79-69 tahun silam itu? Hendaknya umat jangan merebut hati dan NKRI melalui terorisme, makar, pemberontakan dan lain sebagainya yang bertentangan dengan konstistusi. Bila ada yang mengatakan Indonesia sudah final, itu kata mereka. Tak ada yang final di dalam kehidupan di dunia. Karena semasih nyawa masih di dalam jasad, semuanya menjadi serba belum tuntas. Kecuali memang bila nyawa telah melayang, dan jasmani terpendam termakan tanah di pekuburan, baru semuanya selesai. Bangkit terus wahai anak bangsa. Bangun Indonesia melalui demokrasi Islam. Bahwa anak bangsa Indonesia khususnya yang mengaku beragama Islam, sesungguhnya perjuangan mereka memerdekakan diri belum tuntas, kecuali bila telah mampu memenangkan parlemen, dan sekaligus memilih Islam sebagai way of life bangsa. Tapi sayang, kebanyakan masyarakat Islam terpecah-pecah. Mereka dipecah dengan pemahaman sesat. Mereka berprinsif Islam masalah pribadi dengan Allah SWT, dan tak ada hubungan dengan politik, parlemen, pemilu, Negara dan pemerintahan. Mereka lupa, bahwa kemerdekaan NKRI sejak 17 Agustus 1945 adalah dijiwai semangat Islam. Soekarno mencoba memadukan antara Islam, Nasionalisme dan Komunisme (1950-1965) yang merupakan obsesinya sejak 1930-an. Tapi usahanya gagal total. Karena komunisme tak bisa disatukan dengan Islamisme. Komunis anti Tuhan, sedangkan Islam bertauhid. Islam berdasar wahyu dari Allah SWT (langit), sedangkan Komunisme Ateisme hasil buah fikiran otak manusia yang kebelinger (Mark-Engels). Begitu juga masalah nasionalisme, Islam berbeda pandangan. Islam universal. Islam tak bisa disekat-sekat per Negara, per nation dan sebagainya. Nasionalisme justru melemahkan Islam dan umatnya itu sendiri. Kelemahan kekhalifahan Islam Turki Utsmani terjadi ketika Nasionalisme berkembang di wilayah-wilayah mayoritas muslim di bawah naungan Turki Utsmani. Seperti Saudi Arabia hendak memisahkan diri dari Turki, karena menganggap mereka bangsa Arab dan bukan Turki, dan sebagainya. Sehingga ketika kaum penjajah kolonialis kafir dan para serdadu sekutu (Amerika, Inggris, Perancis dan lainnya) menyerang Turki, Turki dalam keadaan lemah di mana-mana., sehingga Kekhalilfahan Turki Utsmani kalah dan sirna dari dunia termasuk di Turki itu sendiri. Nasionalisme Indonesia dan Islamisme masih dalam tarap bulan madu sementara. Kebersamaan ini baru bersifat kontemporer. Karena Islam belum utuh menguasai parlemen dan pemerintahan melalui pemilu, maka umat Islam dan Islam itu sendiri sangat tolerans berdiri di atas semua golongan. Tentunya ketika Islam landing dalam tiap Pemilu, tentu nasionalisme sudah bujkan masalah. Karena nasionalisme otomatis akan menyatu dalam internasionalisme dan universal Islam. Namun begitu, kaum muslimin Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya harus bersikap realistis, fleksibel, lowes, lentur, dan bisa diterima di mana dan kapan saja di tiap jaman/era. Islam bisa hidup dalam jaman kerajaan-kerajaan, republik, kesultanan, bahkan jaman kita sekarang. Karena selagi umat Islam dizinkan dan tak terganggu menjalankan ibadah agamanya, maka mereka berdosa melawan dan memberontak, melakukan terorisme terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang management dan pemerintahannya sudah teratur, tertib dan aman. Bahwa NKRI berdiri karena hasil referandum seluruh rakyat Indonesia melalui Deklarasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, di tiap sidang parlemen, pelaksanaan Pemilu ke Pemilu dan sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun