Rumah Hati? Awalnya tidak faham dengan istilah apakah rumah hati itu? saya kira sebuah rumah yang penuh dengan kasih sayang dan ketentraman ketika didalamnya, tetapi setelah terjun kesana langsung kami (sekelompok PKL) sempat syok dengan melihat kondisi rumah yang seperti itu dan segera kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjuangan ini, tetapi rasanya ada dorongan yang membuat kami tertarik untuk melanjutkan, apalagi dengan dukungan penuh oleh sang DPL kami bapak Fathul Lubabin Nuqul.Â
Akhirnya dengan hati yang berat kami melanjutkan PKL ini, awal pertemuan disana kami sempat bingung karena tempat berukuran standar rumah minimalis yang didalamnya ada 4 kamar, ruang tamu dapur dan satu kamar mandi. Memiliki atmosfer khas tempat berkumpulnya laki-laki dalam satu tempat yang menyebarkan kemalasan itu sepi oleh penghuni. Kami tidak memiliki anak untuk dibina, karena pada bulan itu kebetulan anak-anak sudah dikembalikan kepada orang tua karena tepat enam bulan mereka tinggal. Iya memang jatah mereka disana adalah enam bulan dan hanya enam bulan tidak lebih atau kurang, kecuali mereka kabur dan melanggar peraturan.Â
Akhirnya kami membentuk program plan B untuk merombak segalanya yang berbeda dari awal kami survey. Program kami pun tertuju kepada pendamping dan alumni, sehingga kami mengikuti kegiatan pendamping yaitu homevisit dan monitoring. Untuk homevisit kami berkunjung ke lapas, bapas dan kerumah-rumah ABH untuk memberikan mereka motivasi agar mau masuk dirumah hati. Untuk monitoring kami berkunjung ke rumah-rumah alumni ABH mantan rumah hati, sehingga kami mengetahui bagaimana perkembangan mereka setelah kembali kerumah. Lambat laun kami menikmati kegiatan kami, berkutat dengan masalah mereka yang kebanyakan masih berusia baru remaja menginjak umur berkisar belasan tahun. Dan rata-rata ketika mendapatkan kasus berkisar umur itu. lalu kami menyimpulkan bahwasannya masa awal remaja seperti itu memang rentan untuk kejahatan, karena kondisi peralihan dari anak-anak menuju dewasa dan juga masa mencari identitas diri.Â
Selain itu faktor keluarga, lingkungan, dan juga pergaulan yang menyebabkan mereka terjerumus pada hal yang dilarang oleh Negara. Kebanyakan dari mereka mengalami broken home dan mereka kekurangan atau malah tidak memiliki figure sama sekali untuk di tiru atau di ikuti. Sehingga mereka melakukan sesuatu dengan seenaknya sendiri. Disamping itu sikap anak-anak mereka masih terlihat meski mereka cenderung terlihat dewasa sebelum waktunya. Ada sisi yang membuat kami merasakan simpati terhadap mereka dan mulai merasa enjoy untuk merasakan tugas ini. saya fikir ini sebuah tantangan yang sangat menarik, karena yang kami hadapi adalah ABH (Anak berhubungan Hukum).
Di Shelter Rumah Hati mereka di bimbing dan diajari banyak hal, tentang kedisiplinan, berbagi, kebersihan, sampai kerajinan untuk mengolah emosi dan kepribadian mereka. Mereka disekolahkan lagi di sekolah Paket sesuai dengan ijazah terakhir mereka. Dan juga diberi kesempatan kursus apapun yang menjadi bakat mereka diluar Shelter Rumah Hati tetapi tetap dalam batas pengawasan. Inilah yang paling mereka tunggu, karena mereka sangat senang ketika kursus dan sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Tetapi di Shelter Rumah Hati juga wajib untuk mengikuti bimbingan komputer, yang di pandu sendiri oleh pembimbingan agar mereka para ABH memiliki kemampuan di bidang komputer.
Pada hari itu kami satu kelompok PKL diberi kesempatan oleh Shelter Rumah Hati untuk ikut berkunjung ke lapas Jombang, dan kami diberikan kesempatan lagi untuk memberikan sedikit motivasi dan intervensi kepada para tahanan anak. Disana kami mendapati sekitar 12 anak yang berbeda-beda kasus, kami dikumpulkan bersama-sama disuatu ruangan yang tidak begitu luas lalu melakukan banyak kegiatan untuk mereka. Pertama kali masuk ke lapas adalah sebuah pengalaman yang sangat menegangkan dan so adorable.Kami ber 6 bersama 1 pendamping dipersilahkan masuk dan ketika lewat semua mata para tahanan menatap kami dengan heran.Â
So tentu saja kami merasa sangat senang sekalipun hati berdegup kencang. Lalu kami masuk dalam sebuah ruangan dan datanglah anak-anak tahanan lapas berkisar umur 13-19 tahun yang ada disitu. Kami mulai membangun sebuah hello effectdan trust kepada mereka agar dalam satu hari ini kami bisa bermain bersama mereka dengan nyaman. Kami mulai melakukan kegiatan dengan perkenalan tetapi dengan permainan yang membuat suasana menjadi cair. Sehingga kami memiliki kesempatan untuk mengetahu satu persatu apa saja kasus mereka.Â
Setelah semua berkenalan dan mengetahui kasus mereka masing-masing saya pribadi merasa sangat prihatin dengan pergaulan anak-anak zaman sekarang. Dan kebanyakan dari mereka kasusnya adalah pengeroyokan dan tawuran sehingga menyebabkan nyawa menghilang. Jika saya fikir dulu ketika saya seumur segitu saya masih tidak berani untuk keluar rumah sendirian dan bahkan untuk mengetahui hal-hal yang jahat pun masih sangat tabu. Tetapi di zaman sekarang semua yang dilakukan oleh orang dewasa zaman dulu bisa dilakukan anak kecil zaman sekarang. Kami lalu mendiskusikannya bersama setelah pulang dari lapas, bahwasannya apa sebenarnya yang salah dari mereka? Apa perkembangangannya kah? Lingkungan, atau bahkan pola asuh? Kami tidak memahami itu secara mendetail ketika dilapas karena keterbatasan relawan dan juga waktu.
So far pengalaman ini sangat sangat berharga sekali buat kami. Dulu jauh sebelum saya mengetahui tentang mereka, banyak judgment yang saya lontarkan dari hati ini kepada mereka yang memiliki masalah seperti itu, tetapi setelah saya terjun langsung dengan masalah ini semua argument dari dalam hati ini runtuh begitu saja. Saya merasa simpati terhadap mereka, dimasa-masa perkembangannya yang penting sekali untuk masa depannya mereka tidak mendapatkan pola asuh yang memadai dari keluarganya tidak memiliki figure yang tepat dari keluarganya sehingga terjadilah kasus kriminal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H