Mohon tunggu...
Berlian Ayu Tri Wahyuningsih
Berlian Ayu Tri Wahyuningsih Mohon Tunggu... -

my life with dream

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Aku Sang Pujaan Alam

26 Juni 2015   21:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   21:01 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Aku adalah aku bertama tak bulat dan tak sipit. Tapi kata orang mataku mata yuyu, yang terlalu banyak mengeluarkan air mata. Kufikir aku terkena penyakit mata silinder, ternyata hanya jika ada penghibur dan aku tertawa saja mataku sembuh. Karena ia malu sang pipit telah tersemat dibalik lesung. Aduhai inilah aku, sang pemilik senyuman manis, sekali aku tersenyum dua tiga pohon gemerisik bak diterpa angina. Sayangnya aku jarang tersenyum, dan lebih banyak bermain dimata daripada di bibir. Aku…. Iya ini aku. Yang suka sekali melihat matahari turun perlahan menuju belahan bumi yang lain. Hanya dialah yang bisa memberikan kehangatan dari bekunya air di sela-sela. Hanya dialah yang memberiku ketenangan kala pohon-pohon berisik dengan sendirinya. Iyaaa….. ini aku bukan siapapun. Aku yang suka sekali melihat senja, warna campuran kesukaanku, merah dan kuning serta perlahan menjadi hitam kelam. Sambil membisikkan sebuah doa serta mengucap syukur kepada yang kuasa telah mengirimkan keindahan ini untukku.

            Inilah aku sang pemimpi, bermimpi menjadi banyak hal dan bisa melakukan segala hal. Aku menulis segala mimpiku full menjadi tiga lembar kertas buku. Ini aku…. Yang sedang bermimpi ketika aku memejamkan mata didepan sang senja. Aku merasakan terpaan hangat itu dengan kelembutannya, aku merasa terpaan angn lembut disela-sela pipi dan lesung pipiku. Iya aku sedang tersenyum, aku selalu tersenyumketika melihatn sang matahari terbenam. Aku selalu tersenyum melihatny pergi. Dan aku, terbang merasakan segala hal ringan dipermukaan. Melayang dan semua melayang aku ringan. Melihat matahari dibalik awan hangat nan lembut serasa menyenangkan dan aku rongan, ringan seringan kapas. Berguling kesana kemari dengan bayangan . tak penting semua itu, yang paling khusus adala aku tersenyum, membiarkan pohon ramai berisik melihat senyumku, membiarkan matahari menyengat lesungku.

            Aku tersenyum, dan ini aku yang menikmati sebuah mimpi bisa tersenyum hanya ketika melihat senja dan menangis sepanjang malam. Tak peduli gelapnya mencekat semakin garang, tak peduli bulan mencerca dan langit bergemuruh untuk membela. Dan sekarang aku menangis, jauh setelah mimpi diatas awan itu, aku jatuh tersungkur disujud panjangku. Tak pernah berharap malam segera berlalu. Hey bahkan entah aku lebih suka menangis ataupun tersenyum. Semua terlalu rumit dengan segala konsep menagis dan tersenyum. Tapi aku merasa nyaman ketika keduanya balance. Hey ini masih aku sang pemain music, yang memetik gitar dan bersenandung. Meski tak bisa bernyanyi, aku hanya bisa bersajak dua tiga baris. Dan hal terburuk dalam hidupku adalah aku tak bisa bernyanyi. Tapi untungnya tuhan memberiku keahlian memetik gitar. Aku tak tersenyum ataupun menangis saat memetik gitar. Hanya menutup lembutkedua mata, lalu merasakan getaran suara itu berpadu dengan suara sajakku. Bergetarlah seluruh bumi ini. Aku fikir aku sedang bermimpi, hey berlarilah….. sedang ada pengeboran disebelah ramah. Haduuuuuh gagal untuk bermimpi menjadi seorang musisi hebat. Tapi aku masih tetap aku, suka sekali takut dengan serangga. Eitz…. Aku menghilangkan kan kata “suka sekali” yang seharusnya “Hey iya ini masih aku yang takut dengan serangga berwarna coklat dan mempunyai antenna panjang menjulang. Aku bisa menangis sambil tersenyum ketika dia datan. Tapi anehnya aku tak sanggup membunuhnya, kembali lagi ke aku yang suka bermimpi, iya melihatnya berterbangan kesana kemari bingung mencari sebuah jalan keluar. Dalam keadaan menagis terisak pun aku bermimpi, bahwa iapun sedang menangis dan cemas untuk segera kemballi menemui keluarganya. Entah mereka sedang menunggunya pulang untuk makan siang ataupun menunggunya pulang setelah lelah bekerja seperti aku aku menunggu papa pulang membawa sebuah oleh-oleh. Dan saat itu kita berada didalam satu ruangan tak begitu sempit tapi begitu besar menurutnya. Aku lelah dan diam memepis dipojok ruangan. Diapun nampaknya juga lelah dan aku tak tau apa dia sedang menagis atau membuat sebuah konsep untuk menyerangku.

            Ah . . . . ini masih aku bersenandung riang dengan isak pelan menunggu serangga itu menyerang. Dan aku, iya ini aku yang punya mata tak bulat juga tak sipit. Punya senyum mempesona dan juga suka sekali bermimpi. Aku adalah aku dan marilah kita pergi kecerita selanjutnya yang lebih menyenangkan. Aku melihatnya tersenm, ada yang menandingi senyumanku. Aku merasa senang melihatnya tersenyum dengan sedikit melebarkan mulutnya dan aku bersembunyi dibelakang tembok-tembok penghalang. Akku mengintip senyumnya, sungguh tidak lebih, hanya ingin melihatnya tersenyum sambil sesekali rambut bergoyang diterpa angin, dia nampak mempesonakan. Aku malu… hey aku seorang pemalu, iyaa… malu ada yang menandingi senyumanku. Bahkan bukan hanya pohon yang berisik karena melihat senyumannya tetapi serasa tembok dan gedung-gedung pun juga ikut memancarkan sebuah sinar untuk memberi efek yang keren ketika dia tersenyum.

            Aduhai ….. berhentilah memancarkan senyuman itu, atau aku akan pingsan. Ini masih aku yang pemalu, aku malu melihat ataupun dilihatnya. Maka tembok adalah penghalang disaat aku gundah ingin melihatnya tersenyum. Sudahlah, berhenti membahasnya. Minggu lalu aku berjalan menyusuri sore, melihat segerombol atau bahkann individu memandang pujanggaku, ah aku cemburu. Bahkan mereka memotretnya. Aku marah dengan nya, lalu cemberut berpalinng membelakanginya. Iyaa…. Aku cemburu, banyak sekali yang melihat senja hari ini. Padahal hamper setiap hari aku yang setia menemaninya turun. Tapi dia lagaknya tak menghiraukanku, malah memberi sinarnya untuk difoto orang lain. Hah inilah aku sang pecemburu. Iyaa aku pecemburu yang akut, berhati-hatilah denganku. Hey tapi kalian tau dia mengirimkan sebuah angina menelisik kerudungk dan membelai pipiku. Aku tau itu dari sang pujanggaku, ia sengaja memberikan sinar merah marun itu pas menghadap di sebelahku dan mengirimkan burung-burung mengitari langit atasku. Aku terpesona, dia sang senja memberi kehangatan hari itu. Ketika aku sibuk cemburu, ia sibuk merayuku dan aku tersenyum, pohon mulai berisik pelan dengan angina lagaknya membelai pipiku. Aku bersyukur kala itu. Begitu indah hidupku dengan segala sahabat alam disekitarku yang memberi kehangatan kala dingin melanda, memberi kesejukan kala jiwa terasa hampa, dia sahabat penerang jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun