Mohon tunggu...
Henth Ajo Leda
Henth Ajo Leda Mohon Tunggu... -

APA YANG AKU TULIS INI ADALAH SEBUAH INSPIRASI. SEBUAH REFLEKSI, SEBUAH KONTENPLASI. IA TIDAK DATANG DARI DALAM IDE TAPI IA DATANG DARI LUAR IDE YAKNI DARI REALITAS KEHIDUPAN. Hen’Che_AjL

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terpinggirkan Dalam Lapangan Perjuangan

14 Juli 2014   05:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:24 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana seputar politik dan perempuan telah menjadi isu sentaral menghiasi ruang-ruang publik. Konsep-konsep tentang kesetaraan perempuan dalam bidang politik menjadi tema dalam diskursus di ruang publik. Tujuanya untuk mencari titik temu antara perempuan dan laki-laki agar sejajar dalam dunia perpolitikan. Namun apa mau dikata kiprah perpolitikan kaum perempuan mendulang hasil yang sangant nihil.

Keredo tentang politik itu kotor, menjadi bayang-bayang yang sangat menakutkan bagi kalangan kaum hawa. Aktivitas perempuan dipanggung politik masih merupakan sesuatu yang dianggap tabu. Hal ini berarti berkecimpung dalam dunia politik adalah dianggap tidak baik. Dengan anggapan ini kemudian muncul pandangan bahwa, berpolitik terutama bagi perempuan adalah tidak pantas. Politik hanya pantas untuk laki-laki. Stigma dan streotipe negatif inilah yang telah menyurutkan kaum perempuan untuk masuk ke gelanggang politik.

Dominasi kaum laki-laki dalam panggung politik, mencampakan kaum perempuan ke dalam tabung egoisme budaya patriarki. Menguat dan bertahannya paham adat lama (budaya patriarki) senantiasa memposisikan perempuan sebagai kelompok kelas dua (inferior). Resistensi terhadap budaya ini telah memperkokoh kedudukan laki-laki sebagai figur sentral dalam seluruh aspek kehidupan, hal inilah yang membuat perempuan terbuang dalam kubang ketidakberdayaan. Membuat kaum perempuan terpinggirkan dari hak-hak politiknya.

Berbagai wacana yang berkembang menyatakan wilayah perempuan adalah melahirkan dan mengasuh anak, dan lebih ekstrim lagi wilayah perempuan adalah dapur. Fenomena sosial yang timpang itu telah mengundang berbagai persoalan dalam masalah peran dan posisi gender antara laki-laki dan perempuan. Keduanya bukan lagi dipandang sama, setara dan sejajar. Walaupun secara mendasar, wanita memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kiprah perpolitikan.

Bila kita berbicara tentang politik, yang dibicarakan tidak lebih dari arti berkuasa dan menguasai. Soekanto Soerjono (1993) mendefinisikan politik merupakan perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan demikian politik merupakan barang langka yang berharga sehingga di perebutkan oleh manusia. Lebih lanjut menurut Karl W. Deutsch (Budiarjo, 2006) ada sejumlah barang dan jasa yang dianggap sangat bernilai, yang selalu dipertukarkan, dicari, dipertahankan, dan diperebutkan dalam politik, yaitu: kekuasaan, kekayaan, kesehatan, kehormatan, jaminan sosial, pensiunan, pendidikan , keamanan, dll. Sejumlah barang langka tersebut sarat dengan perebutan, persaingan, domonasi, hegemoni dan bahkan represi. Atas dasar nilai-nilai inilah yang mendorong seseorang untuk tetap berjuang merebut kekuasaan.

Sejumlah konsep-konsep politik seperti kompetisi, partisipasi politik serta kebebasan selama ini pada umumnya masih dikuasai oleh kaum kuat (laki-laki). Jadi sangat jelas bahwa konsekuensi logis dari persaingan untuk berkuasa dan menguasai barang-barang langka tersebut adalah menang dan kalah. Siapa yang kuat dialah yang menang, siapa yang lemah dialah yang kalah.

Dunia politikyang demikian seolah-olah menjadi wilayah sakral yang hanya pantas dihuni oleh kaum kuat (laki-laki) saja. Dunia politik maskulin telah menutup pintu bagi kaum hawa untuk berpolitik secara adil didalamnya. Fenomena politik yang demikian buram ini dapat kita amati dalam konstelasi politik lokal maupun nasional. Dimana masih bertahannya wajah-wajah lama dalam panggung politik (legislatif) yang umumnya didominasi wajah kaum maskulin.

Terbukanya pintu politik melaui kuota 30%, yang merupakan legitimasi dari undang-undang pemilu, memberikan ruang bagi keterwakilan perempuan sebagai caleg dari partai politik maupun di parlemen.Namun kenyataannya tidaklah demikian, pencantuman kuota 30 % bagi perempuan ternyata tidak cukup untuk mewujudkan partisipasi politik perempuan, karena hal ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keterwakilan perempuan di parlemen,pencantuman kuota 30% hanyalah sebuah rumusan politik semata. Pencantumankuota 30% hanya sekedar sarat yang terkesan ’’basa-basi’’ untuk menyenangkan kaum perempuan karena pada akhirnya wajah laki-laki (maskulin) lebih banyak yang masuk ke parlemen.

Keterbatasan akses terhadap bidang politik membuat perempuan mengalami kesulitan dalam mempejuangkan kepentingannya. Hal ini terjadi bukan karena tanpa alasan, selain kuatnya paham dan budaya patriarki yang menghegemoni kehidupan, perempuan juga mengalami berbagai persoalan seperti kemampuan intelektual yang sangat terbatas. Rendahnya kemampuan intelektual memungkinkan perempuan untuk sulit menerobos dominasi laki-laki dalam panggung politik. Dengan demikian membincangankan kesetaraan perempuan dalam panggung politik tanpa ditunjang dengan sumberdaya atau kapasitas intelektual yang memadai itu dibaratkan seperti mencari jajak dalam air.

Diskriminasi ataupeminggiran politik terhadap perempuan menjadi PR yang tidak mudah diselesaikan. Kondisi yang demikian itu bukan berarti bahwa peluang untuk sejajar dengan laki-laki dalam kiprah perpolitikan adalah tidak mungkin. Perjuangan harus ada yang paling penting perempuan harus berani maju dan tampil menunjukan eksistensinya, tanpa mengharapkan pamrih dari kaum laki-laki.

Belajar Dari Sejarah

Sejarah Bangsa Indonesia mencatat, bahwa perempuan pernah memegang peranan penting dalam merebut kemerdekaan. Perempuan, tidak hanya menjadi bunga revolusi, namun pelaku dari revolusi itu sendiri, subyek dari perubahan. Tokoh perjuangan nasional laki-laki yang demikian serius membicarakan soal perempuan, adalah Bung Karno. Dialah tokoh laki-laki yang amat sensitif dan visioner melihat kekuatan perempuan dalam perjuangan nasional. Dia pula tokoh laki-laki yang yakin bahwa perempuan Indonesia sanggup berdiri dan duduk sejajar dengan laki-laki dalam alam kebebasan Indonesia dari kolonisasi asing.

Selain itu ada pula tokoh wanita yang tidak kalah pentingnya memperjuangkan kepentingan kaum perempuan yakni R. A Kartini, yang berani membuat gerakan dalam bidang pendidikan. Salah satu strateginya adalah dengan membentuk kursus wanita. Hal ini merupakan terobosan besar untuk mendidik kalangan perempuan dengan membekali pengetahuan, keterampilan, dan sikap pergerakan mereka secara mendalam. Ini suatu misi besar perjuangan. Program seperti itu sungguh patut ditiru dan diteruskan saat ini agar kesetaraan dapat tercapai.

Perempuan masa kini patut belajar dari sejarah. Sejarah perjuangan perempuan yang pernah maju dan progresif. Perempuan masa kini patut mengadopsi strategi perjuangan dan menerapkannya dalam praktek kehidupan saat ini. Setiap perubahan pasti akan terjadi, dan hanya kekuatan perempuan yang mampu mendobraknya. Mendobrak sebuah tatanan social yang terlanjur mengakar kuat tidaklah mudah. Ia membutuhkan kesabaran revolusioner, ketelitian, kesanggupan dan militansi tiada batas. Itulah yang dibutuhkan bagi gerakan perempuan saat ini dalam menyuguhkan perubahan.

Di ruang demokrasi yang kini terbuka, sebenarnya tidak ada lagi hambatan untuk terus berani membangun organisasi-organisasi perempuan yang dinamis, berani mengisi imunisi-imunisi (kapasitas intelektual) atau terlibat dalam aktifitas-aktifitas yang bermanfaat lainnya. Perempuan harus berani membebaskan diri dari egoisme kekuasaan patriarki yang lalim, keluar dari hegemoni budaya yang hanya menjadikan perempuan sebagai hiasan di dalam rumahnya yang sempit, sesekali ia keluar dari ranah publik hanya sebagai pendukung suami, bersaing menjadi juru masak terbaik di setiap lomba memasak di momentum hari Kartini. Berani memperjuangkan kesetaraan yang terkubur oleh kuasa patriarki berabad-abad lamanya.

Diakhir tulisan ini penulis menyuguhkan pandangan Bung Karno tentang hubungan saling melengkapi antara perempuan dan laki-laki: “Cara kitamenggambarkan sila perikemanusiaan adalah di atas perisai yang dikalungkan kepada lehernya Garuda Indonesia, adalah rantai yang bergelang-gelang tiada putus-putusnya, persegi bundar-persegi bundar. Sebagai lambang tiada putus-putusnya perhubungan antara perempuan dan laki-laki. Persegi lambang perempuan, bundar lambang laki-laki. Demikian juga bendera kita merah putih, bukan sekadar merah lambang keberanian, putih lambang kesucian. Merah-Putih juga adalah lambang terjadinya manusia, sebagaimana surya dan candra, di mana matahari dilambngkan dengan warna merah dan bulan warna putih, demikian juga merah adalah lambang perempuan dan putih adalah lambang laki-laki.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun