Mohon tunggu...
Nanung Widiyanto
Nanung Widiyanto Mohon Tunggu... -

penggiat olahraga alam bebas, penyuka traveling ke tempat-tempat baru untuk belajar hal baru, budaya baru dari orang baru. saat ini tercatat sebagai mahasiswa s2 antropologi universitas gajah mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironi Tanah Dewata, Bagian 1

4 November 2013   11:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:37 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Batukandik, Ironi di Tanah Dewata

Sebelumnya, bagi saya Nusa Penida hanya seperti bayang-bayang samar selama bertahun-tahun. Gugusan kepulauan kecil di sebelah tenggara Bali ini kerap terlihat saat bepergian melalui udara dari Bali menuju Kupang, Sumbawa, Flores, Lombok atau sebaliknya.Keinginan untuk mengunjungi seringkali muncul, namun tidak pernah tahu kapan, dan untuk apa. Lalu, kenapa Nusa Penida ? Ada beberapa alasan tempat ini begitu special selain karena telah beberapa kali melihatnya dari udara.

Pertama, beberapa teman pernah mengatakan bahwa Nusa Penida seperti “sesuatu yang lain” dari Bali, ada berbagai paradok yang mungkin akan ditemukan di sana. Kedua, saya pernah melihat tayangan dokumenter dari BBC terkait Lautan Hindia, dan kebetulan mengupas secara singkat petani rumput laut di sebuah desa nelayan di Nusa Penida. Di sini, seorang nelayan bernama Wayan dianggap berhasil mengembangkan “pertanian di air”, yang tidak memerlukan lahan darat. Intinya, menurut Simon Reeve, host acara tersebut, masa depan kebutuhan pangan dunia bisa jadi dapat dipenuhi dari laut.Ya, dunia membutuhkan alternative, jadi tidak perlu lagi berebut tanah, sesuatu yang kerap mendorong terjadinya perang dan kekerasan di berbagai belahan dunia. Tentu saja, pendapat tersebut belum memperhitungkan kemungkinan bahwa laut pun memiliki potensi yang sama untuk menjadi ajang kompetisi berbagai pihak. Ketiga, sebelumnya saya memang beberapa kali berkesempatan mengunjungi pulau-pulau kecil saat di Indonesia bagian timur. Tinggal dan menjalani hidup yang jauh dari kata mudah bersama para penduduknya, membuat saya selalu memiliki keinginan kuat untuk mengunjungi pulau kecil lainnya. Itulah yang mendasari kenapa saya langsung menyatakan bergabung  saat ada sebuah lembaga yang memerlukan relawan untuk mengembangkan perpustakaan sekaligus mengajar anak-anak di salah satu dusun terpencil.

Tentunya saya juga ingin memiliki kesempatan lebih jauh untuk belajar lebih mendalam melalui hidup bersama orang-orang Nusa Penida. Dan benar, sesampainya di Batukandik, sebuah desa kering dan berbatu di perbukitan Nusa Penida, berbagai paradok serta ironi di Bali, tanah dewata yang mahsyur pun bermunculan. Ironi tersebut tak hanya tentang apa yang ditemukan di Nusa Penida, namun juga tentang orang-orang yang berdatangan ke sana, dengan kepentingannya masing-masing. Barangkali “orang-orang luar” yang berdatangan tersebut juga termasuk saya dan teman-teman satu rombongan.

Batukandik

Selain menyiapkan materi ajar untuk anak-anak SDN 4 Batukandik, saya mengumpulkan berbagai informasi tentang desa yang akan kami kunjungi, Dusun Dungkap I, Desa Batukandik. Cukup mencengangkan saat men-search Batukandik , berita yang muncul mayoritas terkait dengan kondisi wilayah yang kerap kekurangan air, bahkan bahan pangan terutama di musim kemarau. Hal ini segera mendorong saya untuk mempersiapkan berbagai perlengkapan lapangan sebagai bentuk antisipasi, termasuk Trangia, kompor lapangan yang biasa digunakan mendaki gunung. Kebetulan, informasi hasil survai awal sepertinya kurang detail untuk menjadi guideline penyusunan strategi perjalanan maupun kegiatan di sana. Namun, bagi saya itu juga mengasyikkan karena unsur spekulasinya relative lebih besar, seperti halnya berjalan-jalan ke tempat baru tanpa membawa peta atau Lonely Planet.Hal ini terbukti saat kami semua harus menunggu Kapal Roro Nusa Jaya (13.30 WITA berangkat ) di Pelabuhan Padang Bai, Karangasem selama lebih dari 5 jam, sementara apabila kami memilih untuk berangkat melalui Pelabuhan Sanur, boat berangkat sekitar jam 07.30.

Sampai saat Kapal Nusa Jaya yang kami berdelapan tumpangi selama sekitar satu jam hampir berlabuh di Pelabuhan Nusa Penida, tak banyak yang saya ketahui tentang wilayah tersebut. Kalaupun ada sebatas Kecamatan Nusa Penida adalah bagian dari Kabupaten Klungkung serta terdiri dari tiga pulau utama; Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Cukup ironis. Nusa Penida yang terdiri dari 16 desa dan dijuluki sebagai disebut Nyama Nusa serta telur emasnya Bali, hingga kini masih memiliki persoalan mendasar dengan kemiskinan. Data tahun 2011 menunjukkan jumlah warga miskin di Nusa Penida mencapai 5.857 KK dari 12.711 KK atau mencapai angka 46,08 persen (Bali Post, Agustus 2013). Angka ini sekaligus menjadi penyumbang terbesar jumlah keluarga miskin di Kabupaten Klungkung yang mencapai 11.445 dari 43.665 keseluruhan jumlah KK. Desa Batukandik yang akan kami datangi dianggap sebagai desa yang paling memprihatinkan; sebanyak 781 KK dari 1.091 KK atau sekitar 71 % penduduk masih di bawah garis kemiskinan.

Angka mencengangkan di atas akhirnya betul-betul terkonfirmasi saat kami tiba di Dusun Dungkap, Batukandik setelah menumpang mobil bak terbuka selama sekitar 45 menit melewati jalanan berkelok, naik turun dan tidak mulus. Di setiap banjar yang dilewati berderet sanggah dalam berbagai ukuran. Ada juga beberapa pure, termasuk Pure Puncak Mundi di Batukandik. Seperti halnya wilayah lain di Bali, hampir seluruh penduduk Nusa Penida beragama Hindu serta masih cukup kuat memegang adat-keyakinanya. Hanya ada satu desa yang penduduknya sebagian besar beragama Islam, yaitu Toyapakoh di pantai bagian barat pulau. Data lain menunjukkan bahwa angka kemiskinan di tiga desa pantai yang penduduknya menjadi nelayan, pedagang dan terbantu oleh industry wisata laut;Toyapakoh 4,7 %, Jungut Batu3,3 % dan Lembongan hanya 2,9 dari jumlah penduduk. Angka ini sangat timpang apabila dibandingan dengankemiskinan sebesar 71 % di Batukandik atau 63 % di Desa Sekartaji. Keduanya adalah dua desa di ujung selatan daerah pegunungan Nusa Penida yang kering, jauh dari pusat ekonomi, susah air serta dalam konsepsi orang lokal dianggap terisolir karena buruknya infrastruktur jalan penghubung.

Bentang alam tempat Batukandik berada bisa dikatakan dataran tandus, bak batu karang yang mencuat menjadi daratan. Selain pohon kelapa, tak banyak pepohonan besar yang bisa dijumpai di sepanjang jalan berbukit. Kesan yang muncul hampir mirip dengan Timor, Sumba, Gunungkidul atau Pulau Rinca di Manggarai Barat.Sebagai pulau yang dikelilingi laut, penduduk Nusa Penida terbagi dalam dua kelompok besar; nelayan (termasuk budi daya rumput laut) serta petani tegalan atau lahan kering. Komoditas utama adalah jagung dan “gayot”, ketela pohon serta bagi yang mampu memelihara babi atau sapi. Sebagian lain menjadi pedagang serta tentu saja merantau ke luar pulau. Jukung nelayan hanya ada di bagian utara pulau yang berkontur landai, sedangkan dibagian selatan, tebing terjal membatasi kemungkinan penduduk mencari nafkah dari laut. Di bagian selatan pulau inilah Batukandik berada, dataran tinggi yang kering yang tiba-tiba berujung kepada tebing karang yang terjal, membatasi dengan lautan dalam; Samudera Hindia. Setelah beberapa hari tinggal di Dungkap, saya menyadari bahwa tidak hanya secara geografis maupun ekonomi saja daerah Dungkap terisolir, namun juga secara sosial. Anggapan yang umum dari warga luar Batukandik adalah desa tersebut sarang kriminal, susah makan, kurang air, berisi orang yang berperilaku tidak sopan dan berbagai atribut buruk lain. Lebih dari itu ada yang memper-olok dengan menyebut orang dungkap sebagai pengikut aliran “rasta” ala Jamaika, yang diartikan sebagai orang-orang yang jarang mandi.Ya, air memang bukan barang yang mudah didapatkan di Batukandik. Memang ada kesan berbeda saat ber-interaksi dengan masyarakat Dungkap yang cenderung hati-hati dan penuh selidik. Saya memahami kondisi tersebut karena faktor lingkungan yang keras, selaras dengan pandangan Sarah Strauss dan Ben Orlove dalam Climate, Weather and Culture: “the complex forms of our collective life are affected by weather and climate”

Mendekati senja, akhirnya rombongan kami mendekati dusun Dungkap. Jalan aspal sudah terkelupas, digantikan jalan berbatu dan berdebu. Ada juga “pedalaman Papua” di Bali, guman saya teringat jalanan yang sama buruknya di Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire yang saya lewati bertahun sebelumnya. Awalnya kami diarahkan untuk tinggal di sebuah rumah kecil di Banjar Buluh, di ujung desa. Rumah tersebut tidak kosong, ditinggal seorang nenek tua yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan anaknya. Saya sebenarnya sudah siap untuk menghadapi kemungkin terburuk apapun, termasuk tinggal berhari-hari di daerah tanpa fasilitas dasar memadai. Dan betul, tak ada kamar mandi, wc serta hanya kamar kecil serta ruang tengah untuk ber-8, itupun berbagi dengan tuan rumah. Bukan hal yang baru bagi saya sebenarnya, masalahnya kali ini saya tidak sendirian, namun beserta beberapa teman perempuan. Keputusan dadakan yang tepat diambil, kami ditawarin tinggal di rumah I Wayan Rinten, seorang tokoh masyarakat Dungkap, sekitar 1 km dari SDN 4 Batukandik yang terletak di Banjar Buluh. Di tempat ini, tersedia 2 kamar sederhana untuk kami berdelapan, TV, kompor gas,kamar mandi serta sumur dengan cadangan air yang cukup dari sumber air Guyangan di tepi laut. Baru berhari-hari setelahnya saya tahu, keluarga tuan rumah telah mengorbankan kenyamanan keluarganya dengan berpindah ke rumah lain yang lebih mirip gubuk atau leuit, semacam lumbung padi yang saya lihat saat berkunjung ke Kasepuhan Banten Kidul Cipta Gelar di sisi selatan Gunung Halimun atau Kampung Naga di Tasikmalaya, puluhan tahun silam. Saya akan berhutang berterimakasih seumur hidup kepada I Wayan Rinten, Ni Nengah Rumi dan si kecil; I Kadek Sumarandana atas kebaikan yang tidak diduga tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun