Melukis saat sore hari seperti melukis sebuah pertemuan siang dan malam, pelan-pelan ujung barat daya matahari di mangsa oleh samudera yang luas. Alunan biola mengalun, berusaha memuai. Menjelajahi laut terdalam dunia hakikat. Menjelajahi zat yang maha pemberi zat. Aksi melukis dengan cara tertutup mata, pada pada selembar kain putih sepanjang kira-kira empat meter. Hingga mengeklorasi bagian-bagian yang tak terpisah dari diri yakni jazad dan ruh.
Kemudian pada malam hari, menguji api sampai ketitik nur. Juga salah satu bagian inti daripada aksi“ Mantra Bumi” di istilahkan oleh Andi Apti depan Benteng Rotterdam, 12 Nopember 2012. Saya selaku penulis sendiri istilahkan ini gerak, “Spiritual Movement Art”.
Aksi ini sebuah rencana saya coba aliri dari pertemuan-demi pertemuan beberapa waktu lalu dengan beberapa rekan-rekan di Sungguminasa Gowa tepatnya di “ Balla Kayua”.
Fort Rotterdam Makassar adalah sekilas area publik selalu kita kenal. Keterlambatan saya pastinya diluar kesepakatan. Juga pasti keterlambatan acara untuk segera dimulai, karena saya harus tampil dari awal melukis dengan gerak dan mata tertutup bersama saudara Unca. Menurut Andi resiko aksi seperti ini punya tantangan sendiri, yakni punya teguran diluar nalar kita.
Hasilnya bisa jadi adalah bahan renungan bagi siapa saja. Masing-masing dalam diri kita punya tingkatan dalam menalar hal-hal yang gaib.
Meskipun yang gaib yang kita maksudkan kini mulai dicoret-coret oleh ilmu pengetahuan modern, yang hanya mengandalkan rasional belaka. Hingga menyisihkan sebagian sisi-sisi terbaik ilmu pengetahuan berbasis insting dalam diri manusia. Ada tujuan sesungguhnya lebih besar, dibandinkan jika manusia hanya dikenal sebagai benda yang kaku seperti material lainnya buatan manusia itu sendiri.
Tali pengikat suluh obor, sekaligus sebagai bentang batas antara penonton dan pemain menghubungkan empat pasang obor empat penjuru jadi tak seimbang. Dan suluh obor berjatuhan. Namun beberapa saat kemudian kembali diperbaiki oleh panitia. Api bisa saja jadi “Nar”, bukan “Nur”.
Orang-orang dulu bukan membedah petanda, namun ia masuk kedalam petanda dan terlibat bergumul di dalamnya begitulah cara orang timur bekerja dalam kehidupan mereka. Mereka selalu berbekal dengan penanda tubuh. Alam seperti punya cara sendiri untuk memberitahukan sesuatu pada sebuah perjanjian yang telah tak disepakati. Mengubah prekwensi dan menyamakan prekwensi hasrat-hasrat kita. Seperti menyatukan aliran air dalam sungai. Sebuah alur jika tak ketemu, alias berbelok. Konsekwensinya berbeda. Semua orang harus memastikan itu seperti juga kawan-kawan yang lain seperti juga saya.
Saya membaca kalimat dalam bentuk puisi pengantar.
“Ya..Naru Kunni Bardan Wasalaman”.
“Zatul Bukhti” merasuk kejiwa”. Ini adalah mantra bagi kalangan penganut hakikat ketuhanan selalu mereka kenal, kata Andi.
Pengalaman selalu menyerang secara bertubi-tubi, melepas arti jazad yang hanya selalu berkodrat makan dan minum juga mati. Seperti sebuah pernyataan bahwa kita memang harus selalu waspada setiap saat, waspada juga untuk sigap juga menerimanya. Tuhan tak jauh dari muara. Tuhan begitu lekat dengan kata-kata.
A.I.U.
Ini juga mantra yang selalu orang dulu kenal dari sejak dulu untuk mengasah keyakinan keyakinanya menurutku. Penomena ini bagi saya adalah ilmu pengetahuan. Orang-orang dari dulu sebut “ Pappejeppu”. kata orang bugis.
Para pemain memainkan api, juga ma’giri dengan menikam-nikam diri, di iringi tabuhan gendang, yang konon sacralitasnya. Termasuk tunrung (tabuhan) Pakurru Sumangnga, Tunrung Pa' balle oleh Daeng Ramma. Aksi pencak silat Daeng Nyampa Daeng Sila. Teaterikal main tongkat dengan api pemain lainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H