Tidak hanya masyarakat mungkin, yang menunggu; siapa Capres dan Cawapres 2014. Para kandidat Capres pun saling tunggu-menunggu, seolah-olah ingin mengetahui “pasangan” Capres lain. Barangkali lantaran strategi untuk menggali kelemahan lawan, sehingga dapat mengukur kekuatannya diri.
Santer di public, hanya 3 Capres yang ramai dibicarakan: Jokowi, ARB dan Prabowo. Ketiganya saling menunggu sambil mencari pasangan masing-masing. ARB menunggu; Jokowi berpasangan dengan siapa. Prabowo, Jokowi berpasangan dengan siapa. Sementara yang ditunggu-tunggu, Jokowi, asyik-asyik saja seolah-olah tidak ada yang menunggu; blasak-blusuk kesana-kemari sampai membingungkan ARB dan Prabowo.
Barangkali lantaran tidak mau ambil pusing dengan apa yang dilakukan Jokowi, ARB dan Prabowo mulai “bekerja”, kasak-kusuk, bertemu dan membicarakan arah koalisi dan sekaligus juga berbagi-jatah. Sementara, kubu Jokowi dan Megawati masih asyik memainkan permainannya, sembari terus berihtiar mencari pasangan yang cocok untuk Jokowi.
Sementara, partai Islam (partai lain selain partai Islam ada kemungkinan disebut partai non Islam) juga tak kalah sibuk dengan Jokowi, ARB dan Prabowo. Tapi sesibuk-sibuknya partai Islam, juga agak “kurang jelas” hendak merapat kemana dan dengan siapa. Tegasnya, masih linglung. Yang lucu, satu partai yang mengaku paling bersih dan paling Islami sejak hasil Pileg menyatakan diri akan berkoalisi tapi harus memimpin koalisi, hasilnya; tidak laku-laku, tidak ada yang mau.
Sikap politik yang ngawur (pimpin koalisi) bagi partai yang sok suci dan sok bersih itu tak ubahnya seperti penjagal merindukan sapi. Sapinya lari, penjagal tentu saja gigit jari. Tidak wajar, perolehan suara legislatif tidak seberapa, maksa pengen jadi imam (mimpin koalisi), ya siapa juga yang mau jadi ma’mum, sementara yang ngotot pimpin koalisi tidak memenuhi syarat sebagai imam?
Akhirnya (mungkin), mereka bercermin. Daripada tidak laku dan tidak dapat jatah di pemerintahan, menunggu kecenderungan masyarakat soal Capres yang disukai dan diprediksi memiliki “jaminan” sebagai Presiden RI 2014. Pilihan agak condong ke Prabowo. Karena diprediksi oleh mereka, kemungkinan kans Prabowo jadi Presiden lebih unggul daripada Jokowi dan ARB. Tapi politik itu serba tidak pasti, meski Kaum Sapi mengemis ke Prabowo, bisa jadi Prabowo sudah memiliki pilihannya sendiri.
Dan, pertemuan Prabowo dengan ARB akhirnya terlaksana, Kaum Sapi kembali harus rela untuk mengemis keduanya; ARB-Prabowo. Wajar, jika tidak mengemis kepada ARB dan atau Prabowo, mereka tidak akan dapat jatah apa-apa alias melongo nganggur, persis sapi yang nunggu antrian sembelihan. Kaum Sapi terpaksa harus menjilat pantat ARB dan Prabowo. Tapi lagi-lagi, politik itu serba tidak pasti.
Bisa saja terjadi, setelah Prabowo dijilat pantatnya, Prabowo berbaik hati. Mungkin karena keikhlasan Kaum Sapi menjilat, Prabowo berpaling dan memilih mereka untuk mendampinginya. Dalam dunia politik, jilat-menjilat pantat itu sudah wajib hukumnya, jika tidak begitu, tidak sah koalisinya, batal soal jatah. Nanti 5 tahun mau makan apa, puasa?
Tapi bisa jadi, barangkali ARB dan Prabowo sudah menemukan kesepakatan untuk sehidup-semati membangun koalisi demi mengalahkan Jokowi. Namanya politik, apapun bisa terjadi. Masing-masing parpol saling membangun serangan, menyerang rival, membantu “teman”, dan juga sekaligus memanfaatkan kelemahan lawan; untuk menang. Dalam politik, halal segala cara, termasuk membusukkan calon kandidat dan memfitnahnya.
Jokowi dibusukkan segala rupa, Prabowo “diadili” dengan kisah-kisah lama, dan ARB untuk sementara tidak ada yang memperhitungkannya. Entahlah, apa karena maneuver Boneka Teddy Bear terlalu sederhana dan mudah diterka juga tidak berdampak seperti yang diharapkan tim suksesnya. Wallahu’alam. Atau jangan-jangan, stigma masyarakat soal ARB kadung berlumpur dengan Lapindonya.
Saya kira, siapapun nanti Presidennya, mengetahui dan paham perbedaan antara jalan raya dan sawah. Itu yang lebih penting. Karena kerusakan jalan raya, selalu yang menjadi korban rakyat. Sementara apa pernah kita dengar kabar; ada pejabat pemerintah (mudah-mudahan sih seluruh karyawan dari Kementerian PU atau syukur-syukur Menteri PU-nya) njungkel di jalan atau kecelakaan dan tewas akibat menghindari jalan berlubang.
Silahkan saja para pejabat itu korupsi, sepuasnya. Sampai anak-cucu mereka hidup dari hasil korupsi, silahkan. Asal, jalan raya kuat dan bagus minimal 5 tahun. Tidak perlu ditambali asal-asalan dan diperbaiki pertiga bulan atau jelang lebaran. Tradisi memperbaiki jalan raya pertiga bulan atau menjelang lebaran harus dihapus selama-lamanya. Tradisi Kementerian PU yang buruk itu, sangat memalukan negeri ini di mata dunia International. Jalan raya kita, terburuk di dunia.
Kecelakaan kendaraan bermotor atau dan sejenisnya itu, mayoritas karena jalan raya yang buruk, rusak dan dibiarkan berlubang-lubang. Bukan lantaran motor tidak menyalakan lampu besar di siang hari atau karena pengendara selalu lalai dan tidakmematuhi rambu-rambu lalu-lintas. Mayoritas karena jalan raya buruk dan rusak. Peraturan lalu-lintas soal motor wajib menyalakan lampu besar di siang hari bolong, itu peraturan absurd, terlucu di dunia.
Saya kira siapapun orangnya, entah itu pagi hari atau siang hari, kalau naik motor kemudian cuaca sedang mendung tebal, pasti reflex menyalakan lampu untuk menerangi jalan. Tidak perlu diatur (memangnya mereka bodoh?). Berbeda saat malam hari, kalau ada pengendara motor tidak menyalakan lampu besar, sudah pasti kategori pengendara tolol, wajib rehabilitasi mental. Bukankah kita tidak perlu menyalakan obor besar saat siang hari, hanya untuk –misalnya—mencari sandal yang tertinggal? Peraturan itu sama saja begini; seperti menyuruh orang buta untuk mengendarai motor (siang ataupun malam) supaya ngebut di jalan, tidak boleh jatuh dan tidak boleh tabrakkan. Aneh bukan?
Saya kira, mayoritas masyarakat sangat berharap; harus sering ada kecelakaan lalu-lintas, korbannya pejabat (bukan masyarakat), yang njungkel di jalan raya gara-gara kalap menghindari lubang atau karena jalan rusak. Biar mereka (pejabat) merasakan, betapa jalan raya layak, bagus dan kuat itu maha penting, lebih penting ketimbang cengar-cengir karena korupsi seperti sapi di media televisi.
Presiden ke depan harus tegas terhadap pengerjaan infrastruktur jalan raya, harus serius (tidak boleh main-main), harus segera merubah sirkulasi anggaran untuk infrastruktur jalan raya, agar tradisi perbaikan tidak lagi perbulan atau menjelang lebaran. Rakyat sudah bosan terhadap tradisi Kementerian PU ini, harus tegas menegur Menteri PU berikut jajarannya dan membuinya jika berani menyelewengkan dana perawatan untuk jalan raya.
Pertanyaan paling penting untuk Presiden ke depan: apakah kita tidak punya insinyur (SDM) di bidang infrastruktur jalan raya? Masa merawat jalan raya wasian Belanda saja tidak pernah bisa. Bukankah kita tidak pernah membuat jalan raya, hanya merawat warisan Belanda? Jika merawat saja tidak bisa, lalu apa yang dipikirkan insinyur-insinyur kita? Apa gunanya insinyur lulusan dari ITB atau ITS atau lembaga kompeten lainnya?
Baiklah, bilamana persoalan kelayakan jalan raya dianggap tidak lebih penting dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kita harus mulai membiasakan diri berhadapan dengan para koruptor yang lebih islami, lebih santun dan lebih punya jiwa berbagi (bagi-bagi hasil korupsinya, secara merata, adil serta bijaksana). Rakyat jangan lagi kagetan kalau ada pejabat korupsi, jangan deprsesijika ada pejabat yang kolusi dan jangan linglungan kalau ada pejabat yang menyalah-gunakan jabatannya. Anggap saja itu sebuah “tradisi” bangsa kita, harus dilestarikan sampai tanda-tanda kiamat tiba. Wallahu’alam bissowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H