Mohon tunggu...
Riska Yuvista
Riska Yuvista Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hentikan Komersialisme Pendidikan

31 Mei 2015   10:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Judul: Melawan Liberalisme Pendidikan

Penulis: Darmaningtyas, Edi Subakhan ,FahmiPanimbang

Penerbit: Madani

Terbit: Cetakansatu, April 2014

Tebal: 342 halaman

Merdeka itu tidak hanya berarti bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tapi juga berarti kuat dan mampu mandiri sendiri – Ki HadjarDewantara

Privatisasi dan liberalism pendidikan ini, yang salah satunya ditampilkan oleh RUU/UU BHP maupun RSBI ( Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ).Kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi sector pendidikan melalui UU BHP –serta peraturan-peraturan lain yang mengikutinya-dan RSBI itu kelak akan mengantarkan bangsa Indonesia ke dalam jurang kehancuran untuk selamanya, karena sumber daya alam akan habis, tapi disisi lain warga Indonesia tidak pintar, sehingga menjadi warga terjajah selamanya.

Pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi tiba-tiba mengalami gejala kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi paska reformasi politik dimulai 21 Mei 1998 bersamaan dengan kejatuhan rezim Soeharto. Pada masa jabatannya Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan Pertama sebagai tugas pertamanya sebagai presiden dan sebagai pembeda dari kabinet-kabinet sebelumnya yang menekankan berbagai aspek rekayasa sosisal yang berorientasi ideologi. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”.

Gerakan kearah kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan itutidak mudah terbaca oleh public karena menumpang pada gerakan demokratisasi yang sedang diusung oleh para aktivis pro-demokrasi, sehingga kesannya selalu baik. Implikasi negative dari berkurangnya campur tangan pemerintah tersebut tidak pernah disebutkan kepada publik, padahal, dampak negatifnya jauh lebihburuk karena pendidikan tak lagi ditempatkan sebagai hak dasar yang dimiliki warga dan Negara wajib memenuhinya, melainkan menjadi barang komoditas. Itu bukan tanpa kesengajaan, melainkan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh kaki tangan WTO (World Trade Organization) dalam bidang pendidikan telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan dan Bretton Woods, seperti Bank Duniaserta IMF (International Monetary Fund). Mereka memanfaatkan momentum penjadwalan ulang utang luar negeri yang telah jatuh tempo dan hanya dapat dilakukan dengan syarat negara yang bersangkutan harus menerapkan kebijakan penyesuaian structural (SAP=Structural Adjustmen Policies) yang disusun oleh institusi-institusi di Washington.

Pada tingkat perguruantinggi, awal liberalisasi pendidikan itu dimulai dengan privatisasi yang mengacu pada pengertian bidang perekonomian, yaitu menyerahkan pengelolaan (pendidikan) kepada pihak swasta, bukan pemerintah sebagai pelaku utamanya dan sebagai proses gradualuntuk mentransformasikan metode pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kekayaan public lainnya agar dapat secara sehat berkompetisi dengan sector swasta. Konsekuensi dari privatisasi itu adalah subsidi untuk PT BMHN berkurang atau tetap, tapi perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan dituntut untuk meningkatkan kualitas dan pelayanannya kepada mahasiswa. Akibatnya, mau tidak mau pimpinan PT yang bersangkutan memobilisasi pencarian dana dari banyak sumber, dan salah satunya yang paling mudah adalah dari mahasiswa. Maka sejak muncul kebijakan BHMN, SPP di semua PTN terkemuka itu terus naik secara signifikan setiap tahunnya (rata-rata diatas 25%) dan dikembangkan teknik-teknik penerimaan mahasiswa baru yang melegitimasi pungutan besar. Substansi yang menonjol dari UU BHP adalah pengelolaan pendidikan oleh suatu badan hokum pendidikan (BHP) atau dengan kata lain diprivatisasi, karena negara tidak lagi bertanggung-jawab sepenuhnya pada pendanaan pendidikan serta menekankan pada pilihan menuju reseach university dan world class university.

Pada tingkat SD-SMTA, kecenderungan liberaliasi ditandai dengan pelaksanaan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang implementasi di lapangannya ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah yang kerap kali dijadikan sebagai tameng bagi Pemerintah/Pemda untuk menghadapi tutunan masyarakat terhadap pebaikan layanan pendidikan dan menyangkut besaran pungutan dana. Liberalisasi pendidikan di tingkat SD-SMTA it juga ditandai dengan munculnya konsep RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 Tahun 2009tantang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Sekolah Berstandar Internasional yang selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mutu tertentu yang berasal dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Developmen) atau negara maju lainnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan mendali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya.

Marakya Neoliberalisme pendidikan dengan pengurangan peranan negara dalam pembiayaan pendidikan disekolah negeri disatu pihak dan melakukan pemindahan peranan perusahaan di lain pihak atau juga disebut budaya korporasi atau budaya bisnistidak lepas dari pengaruh globalisasi yang menimbulkan perdebatan, baik sebagi konsep, cakupan, maupun keunikan fenomenanya.

James Petras, melihat bahwa neoliberalisme itu muncul karena adanya kolaborasi antar kelas penguasa nasional dengan orang kaya dan penguasa. Mereka berkolaborasi dengan kepentingan yang sama, penguasa mengharapkan kontribusi penguasa untuk menjamin stabilitas kekuasaannya, sedangkan pengusaha mengharapkan restu dan dukungan dari penguasa untuk mempertahankan bisnisnya. (halaman 28).

Berbagai instrument diciptakanoleh OECD maupun anggotanya sebagai dasar untuk dapat intervensi ke negara-negara WTO dalam sector pendidikan, salah satunya adalah tes PISA (Programme for International Student Assesment) adalah studi internasional tentang kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains untuk murid sekolah berusia 15 tahun, yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali, TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) merupakan tes untuk mengukur tingkat pencapaian dalam bidang matematika dan sains pada tingkat empat dan delapan dalam konteks internasional, and PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) merupakan studi internasional mengenai literasi membaca untuk siswa sekolah dasar. Indonesia termasuk salah satu negara yang menanda-tangani pembentukan WTO dan GATS, konsekuensinya Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan WTO/GATS ini dalam meliberalisasi banyak sector termasuk pendidikan.

Beberapa perguruan pendidikan tersebut menerapkan sistem yang di adopsi dari perguruan tinggi di luar negeri. Sementara penerapan pendidikan di indonesia tidak setara atau belum mencapai standar pendidikan tersebut. Sehingga menimbulkan pro dan kontra, seperti dalam penerapan standar pendidikan. Berdasarkan hasil PISA, hampir semua siswa indonesia hanya hanya menguasai pelajaran hingga level 3 saja, sementara negara lain banyak yang mencapai level 4,5,6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia di ciptakan sama, interpretasi dari hasil ini kita hanya diajarkan berbeda dengan tuntunan zaman sehingga butuh penyesuaian kurikulum. Demikian pula dengan hasil TIMSS dan PIRLS, lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara hampir 50% Siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Dengan keyakinan bahwa setiap anak dilahirkan sama, kesimpulan dari hasil ini adalah yang di ajarkan di indonesia berbeda dengan yang diujikan [di standarkan] Internasional (halaman 110).

Menyadari bahaya UU BHP terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang dengan mengetahui bahaya liberalisasi pendidikan tersebut, diharapkan masyarakat akan ramai-ramai menolak praktek liberalisasi pendidikan. Penolakan dapat dilakukan dengan melakukan berbagai cara, seperti misalnya pembangkangan sipil dengan tidak mau melaksanakan aturan liberalisasi listrik, uji materi (judicial review) ke Makamah Konstitusi (MK), maupun memilih keluar sistem. RiskaYuvista

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun