Tema pemberantasan pungli ini menimbulkan kontroversi dengan berbagai sudut pandang ,ada yang menganggapnya sebagai suatu terobosan mengejutkan dari Presiden dan membangkitkan skeptisme publik ada pula yang menganggap tema sidak Pungli apalagi Presiden yang ikut dalam tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) bukan levelnya Presiden bahkan seperti “mengece” lembaga kepresidenan, dimana Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo sampai harus turun langsung untuk mempelopori operasi tangkap tangan yang dimulai dari kantor kementerian perhubungan, jika diilihat tindakan tersebut dari aspek sebagai bagian strategi reformasi hukum untuk keluar dari kejahatan pungutan liar yang sudah sistematis yang dilakukan oleh oknum tertentu di bagian tertentu pada kantor/ institusi/unit orgnaisasi pemerintahan yang terjadi di semua lapisan sektor kehidupan masyarakat terutama dalam aspek pelayanan masyarakat sangatlah relevan.
Jika mau menelusuri regulasi yang sebenarnya menjadi kebijakan guna antisipasi kegitan pungli ini, tidak kurang kurang , aturan normative setingkat undang-undang, peraturan gubernur, surat edaran bahkan sampai spanduk bertema dilarang prilaku pungli d yang dipasang di jalan stategis atau pada kantor pelayanan tersebut sebagai upaya dan usaha pengendalian social prilaku penyelenggara negara, sebagaimana diketahui telah ada UU No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN , UU Tindak Pidana Korupsi UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001, maupun Undang undang nomor 25 Tahun 2009 pelayanan publik yang sebenarnya dapat jadi “benteng” untuk antisipasi tindakan atau mencegah prilaku pungli namun yang terkesan UU ini belum efektif karena tetap saja prilaku pungli tumbuh menjamur dari yang julmlah nilainya recehan (ribuan sampai milyaran) dari kelas rakyat pinggiran sampai kelas pengusaha, atau bagi sebahagian pejabat sekalipun dipungli oTleh atasannya.
Maka adalah wajar tidak tanggung tanggung langkah konkrit Presiden dengan membentuk tim satuan tugas pemberantasan pungli (saber pungli) dan mengeluaran peraturan Presiden khusus agar dalam pemberantasannya bersinergis dengan kementerian yang lain dan Kapolri untuk mengatasi tema keresahan sosial masyarakat ini sebagai wujud bukti janji Presiden Jokowi dalam menjalankan nawa cita dan mengoperasionalkan program revolusi mental yang dijadikan sebagai salah satu program primadona yang diunggulan, pada masa janji kampanyenya 2 tahun lalu, karena reformasi agenda hukum ini akan memperkuat kehadiran peran negara dalam upaya penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat dan terpercaya..
Jika ditelaah nawacita dalam agenda hukumnya ada 11 komitmen yang ingin digapai oleh Presiden yang antar lain : politik legislasi yang jelas dan terbuka, berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi lembaga penegak hukum, memperkuat KPK, memberantas mafia peradilan, pemberantasan narkoba dan psikotropika, kepasstian hukum kepemilikan tanah, pemberantasan tindak pidana perbankan, pencucian uang , melindungi anak, perempuan dan kelompok marginal dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Dari ketiga 11 komitmen ini dapat dikerecutkan bahwa fokus Presiden dan Wakil Presiden pada isu berkait sistem hukum dan penegakan hukum yaitu soal substansi hukum, struktur hukum dan aparat hukum yang menjadi catatan penting untuk dituntaskan.
Diketahui dan telah menjadi hal-hal yang telah diketahui oleh umum ada beberapa pintu kegiatan yang rawan pungli, yaitu dalam hal kepegawaian, pendidikan, perizinan, dana desa, pelayanan publik, hibah, bantuan sosial serta pengadaan barang dan jasa. Contohnya, bagi pegawai DLLAJ yang bertugas di lapangan uang Rp. 2000 sampai Rp.10.000 (sepuluh ribu) juga diambil karena kewenangannya memang untuk menerima pungli sebesar itu, di kepolisian untuk mencabut perkara dikenakan biaya, bervariasi angkanya dan kasus pungli terbaru sebagaimana yang dialami oleh Istri Jeremy Thomas di Polda Bali sebesar 2 Milyar, para kontraktor juga sudah diketahui bersama harus setor uang setara 10 % sd 20 % dari nilai proyek untuk mendapatkan pekerjaan proyek proyek dalam pengadaan barang dan jasa dilingkungan pemerintah,untuk dapat izin pendirian SPBU di pertamina juga harus bayar begitupula di sektor usaha stategis lainnya bahkan untuk menjadi agen gas elpiji tabung gas harus bayar pungli, untuk dapat diterima jadi pegawai pemerintahan juga harus bayar yang jumlahnya bervariasi melalui orang orang tertentu.
Hal yang sama terjadi juga saat mengurus surat surat berupa KTP, SIM, surat izin praktik (SIP) dokter di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,untuk masuk ke sekolah negeri juga harus menyiapkan uang tertentu, jual beli ijazah juga sebagai sarana pungli ,begitu pula dalam aspek pintu pelayanan yang disebut diatas selalu ada pungutan liar, masyarakat juga pada kebanyakan harus bayar, karena tidak ada pilihan lain hanya institusi atau via pegawai tersebutlah satu satunya sebagai lembaga yang mengeluarkan surat surat yang memang dibutuhkan masyarakat untuk menjalankan dan mendukung pekerjaan sehari harinya sehigga mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus mengeluaran biaya tambahan atau kena pungli dari orang orang tertentu yang bertugas di kantor pemerintahan yang mengurusi pelayanan masyarakat tersebut.
Mengutip pernyataan Presiden RI “ Bukan masalah Rp. 10.000,- (uang pungli) tetapi pungutannya itu membuat masyarakat kita susah mengurus sesuatu yang akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi, tetapi bagaimana membangun nilai-nilai untuk melawan kebiasaan pungli ini, prilaku pungli ini juga berakibat menurunkan daya saing ekonomi Indonesia” (Kompas , 21 Oktober 2016 halaman 1).
Pernyataan ini sangat relevan untuk disambut bukan karena kecilnya karena angkanya ribuan, namun jika angka ribuan ini dijumlahkan dengan setiap kegiatan masyarakat dan dalam setiap urusan masyarakat (jika ilustrasinya item urusan pelayanan tersebut ada ribuan bentuk jenisnya) menjadi berapa jumlah total punglinya tentunya sangat berat, sangat merugikan sekaligus menjadi potret buram bagi rakyat atas prilaku penyelanggra pemerintah, rasa yakin masyarakat dengan komitmen pemerintah yang bersih semakin jauh karena masih adanya kutipan pungli ini, sekaligus membuat massyarakat tidak percaya pada pemerintahan.
Gubernur Jawa Tengah sudah action dan lebih dahulu bergerak yang dimulai dari sidak di jembatan timbang dan kini semakin gencar masuk di semua unit pelayanan masyarakat dengan lebih kretif memanfaatkan tennologi telekomunikasi dengan penggunaan aplikasi media social salah satunya melalui twitter semoga langkah ini menjadi getok tular menjadi lebih besar dilakukan oleh semua Kepala Daerah dan pimpinan organisasi di level manapun
Selama ini karena pungli sudah dianggap mengakar, seolah-olah pungli tidak ada barang bukti, tidak ada pelaku , tidak ada korban, karena perbuatan curang ini sudah dianggap lazim terjadi dalam kehidupan setiap urusan urusan pelayanan masyarakat. Malah beberapa dekade lalu bagi masyarakat yang melaporkan ada pungli dapat menjadi masalah baru yang dincam dengan fitnah atau menyerang nama baik institusi.Padahal ironisnya kejahatan ditempat tempat tertentu pungli ini berlangsung dengan ketidakterlihatan (invisibility) ,sangkingkan lazimnya cendrung seolah masyarakat sudah tidak mempersoalkan penerapan pungli ini
Persolan lain harus diakui negeri ini akibat sudah terlalu banyak aturan(hyperreguelated) bahkan kejahatan berupa pungli ini dapat pula bersembunyi dibalik aturan ini, jika satu kejahatan bersatu dalam kekuasaan (aturan/hukum) maka kejahatan itu dapat menyempurnakan dirinya, ia leluasa berjalan dibalik topeng topeng kekuasaan atau berdasar simbol atas nama kekuasaan, cirinya biasanya terdapat permaianan dari sebuah institusi melaluai orang orang tertentu atau dapat pula berupa ,organisasi atau badan hukum yang penuh rahasia, ada koptasi dari organisasi profesi atau ditunjuk pengurusan melalui organisasi tertentu (a confidence game organization cooptation a profession)