Berputar Haluan, Mengulang Pelajaran
”Bertubuh kurus, bukan sosok yang mutlak kudus tapi tetap berusaha untuk tetap di jalan yang lurus, hidup tidak selamanya mulus, kadang pedih, hanya saja ia berusaha untuk tetap tidak bersedih, dengan keberaniannya (sebagian bilang nekad atau bahkan ketidaktahudiriannya) mulai menulis, khususnya puisi, esai ulasan, dan hal-hal lainnya yang tidak selamanya sakral kadang (mungkin lebih banyak) hal profan. Demikianlah, Ia.”
Ini adalah kedua kalinya aku membaca atau mendengar kata profan darinya. Beliau kakak angkatan di sebuah forum kepenulisan yang aku ikuti beberapa bulan lalu. Saat pertemuan perdana aku tidak hadir. Dan pada pertemuan kedua saat membahas cerpen-lah aku pertama kali melihat sosoknya.
Beliau membuka acara dengan sebelumnya meminta kami untuk membuat sebuah prosa dari kata pintu, dan pada saat itulah aku pertama kali mendengar kata profan darinya. Duh, malangnya aku ini. Aku yang mengaku telah mempelajari bahasa Indonesia sejak sekolah dasar ini ternyata tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kata profan itu? Miris, bukan?
Setelah pertemuan perdana yang mengesankan itu aku pun menjalin pertemanan dengan beliau melalui facebook. Tahukah kamu apa yang aku maksud dengan pertemuan perdana yang mengesankan itu? Iya, aku terkesan dengan beberapa kalimat yang diucapkannya, yang menurutku terlalu berat untuk beliau yang masih tampak muda. Dan seperti biodata yang kukutip di atas, aku pun menemukan kata profan lagi, di sana.
Oiya, saat pertemuan kepenulisan berikutnya dengan tema puisi aku datang terlambat, padahal beliau yang menjadi narasumbernya. Lumayan bingung juga karena aku tidak mengikuti materi dari awal.
“Mengapa datang terlambat?” ujarnya lembut sambil menghampiriku.
“Iya, maaf, tadi harus ke Jakarta dulu mengantar teman ke sebuah acara,” jawabku gugup.
“Apakah kita sudah berteman di FB?” tanyanya lagi.
“Iya, sudah,” jawabku cepat dengan tampang yang mungkin tampak aneh. Kamu pasti tahu, kan, kenapa mukaku menjadi aneh? Iya, aku agak sedih juga karena beliau belum mengenaliku. Hehe.
“Siapa nama akunnya?
“Ayati Fa” jawabku dengan lebih rileks.
“Ooo, ini tho Ayati Fa? Lho, kenapa tadi tidak jadi bertanya, ‘Apa sih puitis itu?’ Tadi nggak bawa tugas puisi, ya?” ujarnya lagi dengan senyum yang mengembang.
Aku pun tersenyum senang, rupanya beliau telah mengenaliku.
“Iya, tadi malu mau tanya, soalnya datang terlambat,” jawabku dengan kepercayaan diri yang mulai menumbuh. Kami pun mendiskusikan beberapa puisi dari bengkel puisi. Hingga perbincangan kami harus berhenti karena beliau ada rapat dengan pengurus lainnya.
Sejak saat itu, bila aku menemui kesulitan sewaktu menulis, apakah itu seputar tanda baca, pemakaian huruf kapital dan beberapa kosa kata yang belum kutahu artinya, maka aku sering bertanya kepadanya. Tapi, anehnya, aku tetap malu untuk bertanya arti kata profan kepadanya. Hingga aku menemukan sebuah kamus Bahasa Indonesia di ruang perpustakaan saat aku menginap di rumah temanku tadi malam.
Tidak hanya kata profan, di kamus Bahasa Indonesia itu aku mendapati banyak kosa kata yang baru aku baca dan kuketahui artinya. Diantaranya; adun, adun kl a elok (krn berhias),
-- temadun indah-indah; berjenis-jenis warnanya; baduk, ba·duk a tidak normal, berbentuk buruk; kayun, 1ka·yun lihat putar, 2ka·yun a laku, laris dan masih banyak yang lainnya.
Tiba-tiba aku merasa harus mengulangi pelajaran bahasa Indonesiaku. Sungguh, banyak sekali kosa kata dalam kamus itu yang belum aku ketahui artinya. Saat sarapan pagi di kost-an, aku pun bertanya kepada teman sekamarku, “Apakah tahu arti kata profan?” todongku.
Sejujurnya tidak ada maksud iseng apalagi ngetes, aku hanya khawatir, jangan-jangan yang tidak mengetahui arti kata profan hanyalah diriku sendiri. Akhirnya aku agak sedikit lega, ketika mendengar jawaban dari teman sekamarku. Kamu tahu, kenapa aku lega? Karena temanku juga tidak tahu arti kata profan itu. Berarti aku tidak sendirian. Hehe.
Namun kelegaan itu tidak berjalan lama. Tiba-tiba bilik hatiku yang lain pun berkata, “Jangan pernah merasa gembira dalam ketidaktahuan! Karena, meskipun ada yang menemanimu dalam ketidaktahuan ini. Namun, tidak berarti telah menjadikanmu lebih tahu apalagi lebih pandai dari sebelumnya!” hardiknya lantang. Dug, terasa ada godam yang menimpaku. “Iya, aku harus mengulang pelajaran bahasaku,” balas hatiku yang lain.
Membincangkan mengenai pelajaran bahasa Indonesia, ingatanku melayang ke beberapa tahun silam. Memang aku telah belajar mata pelajaran ini sejak masih SD hingga SMA. Mulai dari belajar mengenal huruf, mendengar cerita, mengeja, membaca, berbicara serta mengarang berbagai cerita pendek, puisi atau pun naskah pidato. Semuanya telah pernah aku pelajari.
Namun, lagi-lagi, pelajaran bahasa Indonesia diantaranya mengarang adalah sesuatu yang membebaniku juga teman-temanku. Meskipun sehari-harinya banyak bicara, tapi bila diminta untuk menulis, kebanyakan dari teman-teman seakan langsung kehilangan ide. Sungguh, mengarang bagaikan momok saat ujian.
Aku dan mungkin sebagian orang pernah berfikir, hanya untuk orang yang ingin menjadi pujanggga atau penyair-lah yang wajib mempelajari bahasa Indonesia dengan mendalam. Mengetahui arti berbagai macam diksi, tahu aturan menulis yang detail dengan berbagai ejaannya dan seluk-beluk kepenulisan. Sedang, kita, yang tidak berkeinginan menjadi seorang pujangga seakan terbebas sudah.
Ya, di negara kita ini memang belum menjadikan membaca dan menulis sebagai sebuah kebiasaan apatah lagi kebutuhan. Sehingga saat aku bergabung dalam sebuah forum menulis, aku benar-benar dibuat kaget. Sungguh, betapa sedihnya aku, karena diusiaku yang telah melebihi seperempat abad ini aku merasa harus mengulangi pelajaran bahasa Indonesiaku.
Bahasa yang seharusnya tidak hanya saja sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat atau wasilah untuk menyampaikan sebuah gagasan dan pemikiran kita. Bahasa yang lembut, indah dengan diksi-diksi yang tepat, tentu tidak saja menjadi milik para pujangga. Hayuk, mari kita memutar haluan ke belakang untuk mengambil ancang-ancang tuk melompat lebih tinggi. Mengulang kembali pelajaran bahasa Indonesia kita.
Bogor, 22 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H