Berikanlah cinta
Cita – cita nan gantungkan isi cakrawala
Ku harap
Kau datang pagi – pagi mengundang lubuk kalbuku
Penuh kelembutan
Tanpa irisan masa lalu kelam
Dan tak kuharapkan kembali
Aku bisa melihat
Matahari menyambut pagiku
Bersama nostalgia yang tersisa
Di bawah sanggar kehidupan bersama takdirmu
Pada suatu hari yang basah oleh gerimis, semangat baruku masih meluap-luap tak terkendali. Aku memaksakan tubuhku menembus gerimis yang nampaknya akan berkepanjangan, bahkan mungkin akan menjadi hujan yang lebat. Padahal, Umi telah mewanti-wanti agar aku menunda keberangkatanku sampai hujan benar-benar tak tersisa. Umi biasanya akan lebih perhatian dibandingkan Abah. “Umi, kapan terangnya kalau mendung terus begini, Adib harus tiba tepat waktu kepondok, takut kalau sampai dihukum, lihatlah langit itu Umi!”. Aku berkilah seraya menjentikkan jari telunjukku ke langit. Hari itu adalah hari terakhir liburan pondok yang sangat membahagiakan. Terlebih, untuk ABG cupu dan kurang gaul sepertiku. Rumah memang benar-benar menjadi surgaku.
Aku berangkat pagi-pagi sekali melebihi waktu para petani berladang. Aku melewati pematang, jalan berlumpur, dan naik bukit turun bukit hingga akhirnya sampai ke jalan raya yang sangat sepi. Disini tidak ada lalu lalang kendaraan sepeti di kota persinggahanku selama ini sehingga udara-udara di kota kecil ini sangat bersahabat dan sejuk, sepoinya adem menyentuh pipi.
Tiga jam berlalu, akhirnya aku mendapatkan mikrobus using yang telah di sesaki para pedagang, buruh , dan beberapa anak sekolah. Mikrobus using ini melaju lambat melewati nostalgia-nostalgiaku di kota kecilku tersayang. Aku bisa melihat orangtuaku memberi salam dari kaca yang basah oleh keringat alam. Sesaat, tiba-tiba butiran hangat jatuh dari ujung pelupuk mataku, bersama irisan masa lalu yang agak kusam karena debu masa yang mengalir.
Aku tiba di terminal kota pukul 12 : 00 siang, tepat saat matahari berda di atas ubun-ubunku. Matahari cukup terik kulihat mengawasi pejajahan, namun sama sekali tidak membuatku kepanasan, bahkan gara-gara ia mengurai sejuk, menjadikan sepoi angin yang sangat nikmat mengurangi peluh lelah berdesak-desakan.
Kemudian, aku mengambil tiket travel yang jau-jauh hari telah ku pesan. Menunggu setengah jam berlalu sembari menyeruput kopi hitam yang tak henti-hentinya mengepul, aneka kue-kue basah, gorengan , dan beberapa makanan yang tak ku kenal di warung sebelah.
Aku mendapatkan tempat duduk paling belakang, disamping gadis ayu berbalut kerudung lembayung, mengenakan baju gamis merah, sebuah jas di tangan, buku, dan handphone digenggam. Aku sempat terpaku melihat wajahnya yang mulus tanpa sedikitpun noda yang bisa kulihat. Semua anugerah di wajahnya begitu pas, wajahnya sedikit kearab-araban, matanya bening terlihat bersinar, coklat dengan bulu yang lentik, alis sedikit tebal, hidung mancung dan sangat dekat dengan mulut mungil berwarna merah muda`yang terlihat basah entah oleh apa aku tak paham, ah, tiba-tiba dia menoleh dan telak membuatku gugup dan salah tingkah–mungkin dia menyadari dari tadi aku perhatikan- aku mencoba tenang dan berpura-pura tidak ada apa-apa.
Awalnya travel yang ku tumpangi penuh dengan orang-orang yang mau bepergian jauh kiranya, terlihat dari pakaian mereka. Semakin mereka menyusut dan hilang seperti permak film yang dipercepat. Akhirnya, ruang travel ini benar-benar menyisakan kami berdua. Sedangkan sopir rapat oleh sekat penutup. “Wah, kenapa kebetulan begini”, batinku. Tapi, keadaan begini benar-benar membuat gugupku kambuh. Selain itu, entah mengapa aku merasa takut. Kami sama-sam diam lama sekali.
“Suasananya enak ya”. Gadis itu memecah kesunyian di runag penumpang yang seperti hampa.
“Ya, enak” jawabku terbata-bata aku gemeteran tanpa berani menaruh wajah kepadanya, aku gugup sekali. Kami diam agak lama. Aku bermain-main dengan jari-jemari tangan ku untuk menghilangkan gugup.
“Kau anak Amtsilati, ya?” tanyanya. Aku yang masih melamun tidak meresponnya sama sekali. “Kau gugup, ya” katanya masih biasa menyambarku. “Eh, iya” jawabku asal karena kaget. “Aku tidak biasa bicara dengan seorang wanita.” kilahku yang jujur. Dia tersenyum manis sekali ketika aku beranikan menoleh wajahnya. Membuat detak jantungku semakin tak beraturan. “Aku juga mondok di Amtsilati, kok” akunya, membuatku tertegun dan sedikit membuatku enakan -paling tidak dia masih satu atap denganku- diam lagi, “Oh, gitu ya” jawabku sekenanya, sembari menghela nafas mencoba menurunkan kecepatan detak jantungku yang tak beraturan. “ Kau bilang mondok di Amtsilati?” kataku meyakinkan, kali ini aku bisa menguasai keadaan. “Ya, aku mondok di Amtsilati.” Jawabnya sambil tersenyum lagi. Setelah itu, kami bercakap panjang lebar. Bahkan, dia tidak sungkan menceritakan masa lalunya, keluarga, dan alasan dia mondok. Dia benar-benar gadis yang hangat, tidak banyak tanya dan menceritakan kisahnya dengan sederhana. Dari naik bis lagi, turun bis, kemudian naik bis lagi, kami benar-benar menjadi teman yang akrab dalam waktu yang relatif singkat.
Saat turun, di depan kami orang-orang ramai memadati gang masuk Dr. Jamil. Kebanyakan mereka adalah wali santri atau anggota keluarga yang mengantar. Mereka berbaur dengan penuh keharmonisan rumah tangga, kupikir begitu.
Sore itu, aku sempat bertanya nama gadis itu, namanya Rima, dan kami saling bebagi identitas kami masing-masing. Aku sempat dikasih nomor teleponnya, BBM, dan id facebook-nya. Begitu pula sebaliknya, dia meminta nomor telepon, dan emailku. Kami berjalan masuk beriringan dan berjarak. Takut dan malu bila harus berdekatan. Sampai akhirnya, dia melewatiku dan berbisik dekat sekali dengan telingaku. “ Aku menyukaimu” desisnya lantas menghambur dengan keramaian didepan ndalem. Aku terdiam agak lama, antara percaya dan tidak percaya, antara apa aku harus bahagia atau tidak, antara takut dan pertanyaan kenapa harus takut. “Ah aku tak boleh begini, lemah. Mungkin dia hanya becanda” batinku menyesali apa yang baru saja terjadi. Kemudian, aku melanjutkan langkahku ke asrama yang penuh nostalgia yang suatu sa’at mungkin akan ku rindukan - walaupun, aku merasa sedikit jengkel dan pengap di balik tembok yang seperti mengakar ini –
Sa’at jumpa sungguh kau rama
tiada jerah resah di wajah
kau tau aku datang basah
begitu bodoh nan resah
sahdan, bila kau mau susah
aku kan kian resah
amboi, tiada bintik hitam di wajah
membikin itu wajah kian indah
dan bila bintik hitam bertambah-tambah
keindahan itu wajah justru musnah
cobalah berpikir arah
jangan bebal sebelum resah
jangan coba tubuh kau resah
semenjak kuyup dan basah
Tembok, ku amati tembok di depan ku menjulang tinggi. Mencoba menerawang kenangan singkat dengan gadis ayu itu tiga bulan yang lalu. Aku hanya tak menyangka, kejadian itu begitu singkat dan membekas di benak ku. Kadangkala, aku hawatir dia benar – benar menyukai ku, aku takut, dia harus sakit hati atau menangis karena menjadi korban dari cinta buta yang selama ini menjadi tren. Di akui atau tidak, aku merindukan gadis ayu itu selama ini. ‘’senyumnya itu loch’’ desisnya kepada jiwaku yang masih sangat lemah. Walaupun, akhir – akhir ini aku bisa menhilangklan bayangannya. Aku bisa menyangka, bahwa tembok yang menggurita ini menjadi tabir yang menyelamatkan iman ku, agama ku, dan martabat ku.
Akhir – akhir ini aku sering melamun, memikirkan masa depan yang semakin jauh. Semakin mendekat,aku semakin merasa jalan masihlah sangat panjang. Aku punya impian, aku juga masa depan. Tetapi, aku jugta merasa aku juga butuh kesemangatan. Sejujurnya, aku benar – benar kalah dengan wanita hal inilah, justru yang membuat ku takut. Aku tidak bisa melangkah bila terus terbayang wanita. Wanita begitu manis mengalahkan tekat ku sebelumnya. Pengalaman ini, mungkin begitu setia menghantarkanku membulatkan tekat ‘’jangan sukai aku, sebelum kau menyukai rosulullah dan jangan cintai aku, sebelum kau mecintai ALLAH SWT’’ mungkin kata – kata ini agak tepat untuk kita ya Rima, hahahaha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H