Mohon tunggu...
Avet Batang Parana
Avet Batang Parana Mohon Tunggu... lainnya -

Pengubah Kertas Menjadi Emas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum Membawa Luka

10 Agustus 2012   17:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:58 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Avet Batang Parana Hening. Sendi-sendi kehidupan seakan tidur berserak di bawah atap malam yang merangkai kedamaian dalam gelap. Hanya cahaya kuning lampu pijar yang terlihat menyinari pintu depan surau dan sedikit memberikan variasi pada kepekatan jalan yang tengah aku tapaki. Seketika langkah terlalahku terhenti oleh lambaian tangan pohon palam yang tumbuh besar, tinggi, dan berdiri bak penjaga raksasa di surgaloka. Dengan keramahan mereka, hatiku seakan tercumbu mesra. Kesadaranku terbang, melayang, kemudian hinggap di suatu masa dimana kesetiaan dan penghianatan bercampur menjadi satu seduhan kisah yang berbeda. Napasku mendesah dalam decak yang kian berarak. Mata malam mendadak terbuka, melihat bibirku yang menyungging dalam kesendirian. Aku tidak gila, hanya saja jembatan kayu yang dipagari oleh puluhan pohon palam itu ikut jua memberikan sentuhan kenangan pada sosok wanita remaja yang dahulu sering berkejar-kejaran denganku di atasnya. “Jingga …” Begitulah panggilan akrabku padanya. Bukan nama aslinya, namun setidaknya panggilan itu akan terdengar pantas untuk wanita berparas bak langit sore di dermaga Alexandria, Mesir. Perasaan yang aneh. Entah, mungkin ini yang orang-orang sebut sebagai cinta? Sebelum dia hadir menghiasi kehidupanku, aku merasa bagaikan pangeran tampan yang kesepian dan aku tak pernah merasa beruntung untuk bisa jatuh hati pada seorang wanita. Bahkan sebenarnya, aku tidak pernah kenal dengan wanita manapun selain dia.  Memang, aku bukanlah pria berwajah lebih tampan dari Yusuf AS dan aku bukanlah pria berharta melimpah seperti Ayub AS, namun cara dia menghargai keberadaanku sebagai manusia adalah cinta bagiku. Dan aku juga mencintainya. “Bang Dea!” panggil Jingga, seraya berlari menghampiriku. “Aku menyayangimu, Bang …” sambungnya lembut, kemudian ia menyelimuti tubuhku dengan pelukan yang terasa begitu tulus menghangatkan aliran darah di nadiku. Kendati raja hari telah menduduki singgasananya, namun ia masih saja bersandiwara bak mahadewi yang memalingkan titah tuannya. Napasnya terengah-engah, diiringi butiran bening yang perlahan jatuh dari pipi mulusnya. “Sudahlah, tak perlu kau kucurkan airmatamu! Aku tahu dan perasaanku lebih tulus dari itu,” balasku, sembari menyamarkan tangis yang menoda di wajahnya. “Tapi kau akan pergi jauh, Bang! Kau akan meninggalkanku!” “Tidak! Tidak, Jingga! Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu, tapi untuk melanjutkan cita-citaku; menggapai impian kebahagiaan kita. Aku butuh pengakuan untuk hubungan kita karena aku tak mau kita terus-terusan terlena dengan cinta tanpa pesona dari kedua orangtuamu. Dan jangan pernah mengatakan selamat tinggal karena kita berjalan di jalur cinta, di ujung jalan kita pasti akan bertemu lagi.” Setelah kalimat itu kuucapkan, Jingga melepas pelukannya, lalu seulas senyuman memaniskan wajahnya kembali. Filsuf asal Jerman pernah mengatakan, “Selalu ada beberapa kegilaan dalam cinta, tapi selalu pula ada beberapa alasan pada kegilaan.” (Friedrich Nietzsche). Ya, aku tergila-gila dengan senyumnya. Kendati kala itu adalah kali terakhir aku melihat dia tersenyum. Sesekali aku berlari kecil dan kemudian kembali berjalan pelan sembari menikmati khasanah semesta yang masih berjaya di desaku. Tepat di kala malam melajur pada titik pertengahan, aku tiba di sebuah bangunan kecil bercorak minimalis, itulah rumahku. * “Kamu istirahat saja dulu, Nak! Bunda hanya ingin membersihkan kamarmu,” larang Bunda, melihat aku membangunkan badan tergesa-gesa dari pembaringan. “Bunda mengerti, Melbourne dan Alas bukanlah jarak yang dekat, tubuhmu pasti letih sekali,” lanjut Bunda. “Ah, tidak apa-apa, Bunda. Aku tidak mau melewatkan pagi ini tanpa kesan,” balasku, kemudian melangkah menghampiri jendela dan membuka lebar mulutnya. Seketika kurasakan hembusan udara sejuk, semerbak harum melembutkan tiap helai rambutku. Kekagumanku kian mendalam, setelah melihat hamparan sawah nan luas masih dalam keadaan sediakala, belum tersayat tangan-tangan srigala dari kota. “Jingga, bagaimana kabarnya, Bun?” tanyaku pada Bunda yang sibuk mengatur pakaianku di lemari. Beliau hanya diam, seakan tak mendengar apa yang telah aku katakan tadi dan beliau malah mengganti kesibukan dengan menyapu debu-debu yang mengotori  sudut kamar yang sudah 4 tahun aku tinggalkan. Tahun telah menua, umur pun sudah tak lagi muda, mungkin itu yang menyebabkan pendengaran bunda sudah tak tanggap lagi. “Aku pergi ke danau dulu ya, Bun.” “Baru datang, malah mau pergi lagi? Bunda kan belum ….” “Sebentar saja, Bunda …” kataku memotong dan sedikit bernada merengek. Beliau menggelengkan kepala, kemudian bergumam, “Hmmm, tabiat kekanak-kanakanmu tidak pernah hilang, Dea.” * MENGIKAT SUMPAH Mungkinkah renjana kita rajah? Bersama animo terlarang resah Sanggupkah? Keegoisan ini kian beramarah Dambaku Seiya sekata dulu Menyelami kelembutan bersatu padu Namun tanpa kesucian yang berdebu Desahmu Takkan lagi tersipu malu Walau asmara bertenun ragu Dan harkat dirajam pilu Beranikan diri kita mengikat sumpah! Kekal; sejati menggapai arah Tenanglah! Kesetiaan ini takkan musnah (Victoria, Juni 2004) Kubaca kembali kata hati yang telah kusketsa dalam bait-bait puisi dan  aku sangat berharap bisa memberikannya kepada wanita kedua yang teristimewa dalam hidupku. Jingga. Ya, dialah wanita yang menempati tangga teratas dalam hatiku, setelah bundaku. Sekeliling telaga terasa sepi, hanya kicauan kenari yang terdengar murni bernyanyi di atas kepala pohon palam. Tak ubahnya dengan hutan belantara yang tak jauh dari belakangku, belum terdengar suara sang penguasa yang tengah mengetas parasit dari pohon-pohon jati kebanggaannya. Aku masih bersila di atas jembatan kayu itu, hingga seseorang menepuk lembut pundakku dari belakang. “Astagfirullah!” kataku, terkejut. “Ah, Bunda …” lanjutku setelah menolehkan pandangan. “Radea … Radea … Jauh-jauh ke sini cuma untuk menghayal!” kata bunda bernada menggoda. Dan membuatku tersipu dalam tawa tak bernada. “Aku merindukan Jingga, Bu ..,” kataku memelas. “Nanti juga kamu akan bertemu dengan dia,” balas bunda, sepertinya ingin menguatkan hatiku. “Sekarang kamu ikut Bunda, pulang. Ada Angga dari tadi menunggumu di rumah.” ajak bunda, sembari membimbing tanganku melewati hutan jati; jalan pintas menuju rumahku. * Nanti, di suatu hari nanti, di kala perjalanan panjangku terhenti dan setelah aku dan dia dipertemukan kembali. Akan kulukis sinar rembulan saga dari ujung kaki hingga ujung rambutnya dan akan kudendangkan syair-syair melayu di setiap jengkal kulitnya. Aku mencintaimu.” Ingin kubisikkan kata itu berulang-ulang di gendang telinganya, hingga dia terlelap di atas mahligai permadani keromantisanku. Masih nampak jelas di penglihatanku, sunggingan bibir termanis yang hanya dia berikan untukku dan masih menggema dalam pendengaranku, lirik lagu mahadewi yang hanya dia persembahkan untukku. Dan pagi pun telah serta merta mengagungkanku, namun kabar burung  tentang dia membuatku meragu. “Tak mungkin, Ngga?” Jingga tak mungkin melakukan itu,” elakku, seakan tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Angga, sahabatku. “Kau boleh tidak percaya dengan Angga yang jahil dan usil. Tapi sebagai sahabat, sampaihatikah aku membohongimu?” balas Angga meyakinkanku. “Tidak, Ngga. Aku bukannya tidak percaya denganmu, tapi kebijaksanaan menarik hatiku untuk mencari tahu kebenaran yang hakiki,” jelasku. “Baiklah, Sahabatku. Mungkin aku yang terlalu awal mengatakan semua ini, tapi aku hanya bermaksud agar kamu tidak terlalu kecewa setelah melihat langsung kenyataan tentang wanita yang selalu kamu puja.” * Keheningan malam kembali merajam, aku dan semua makhluk yang mendaki ngarai kesunyian. Namun keceriaan di meja makan, menjelmakan jiwa menjadi bernuansa; tanpa fatamorgana. Setitik cahaya kesakinahan menyinari jiwaku yang tengah terbenam dalam kegelisahan. “Jadi kamu sering dikejar-kejar sama Pak Kades sombong itu?” tanya ayah sejenak menghentikan tawanya. “Begitulah, kalau beliau tahu anak gadis semata wajangnya kuculik,” jawabku, kembali berguyon. “Gila kamu, Nak! Ayah kira kalian hanya berteman.” “Ah, Ayah kayak tidak pernah muda saja. Mana ada pria dan wanita muda yang tahan untuk berteman lama? Walaupun cinta dan kehormatan saling berperang.” Tiba-tiba Ayah dan Bunda membalut tatapan dengan guratan senyum yang saling melempar. Kata-kataku sepertinya membuat mereka tak bisa berkata dan pikiran mereka seakan hanyut terbawa menuju memori yang takkan pernah lekang oleh waktu. Aku hatam betul cerita tentang perjalanan cinta mereka dari mendiang kakekku; ayah dari bundaku. Jika dianalogikan, dulu mereka bagaikan sepasang dara yang tak mungkin untuk terbang bersama. Kenapa? Karena bundaku adalah gadis ayu berlaras Bali yang tidak lain adalah penganut keperyaan dari dewa-dewi, sementara ayahku adalah seorang muslim sejati, anak dari seorang kyai yang sangat dihormati. Namun ketabahan dan kekukuhan ayah memperjuangkan cintanya pada bunda, membuat semua menjadi berubah dan logika tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya bunda dapat restu untuk mengikuti ayah, menjadi seorang muslimah, hingga mereka bermuara dalam fitrah cinta dan aku sebagai aliran pertama dari air kasih sayang mereka. “Ayah, Bunda, mungkinkah Jingga bisa bersatu denganku?” tanyaku lagi, membuat ayah dan bunda menundukkan kepala lumayan lama. “Saran ayah, sebelum kamu melangkah lebih pasti, ada baiknya kamu cari tahu dulu apakah Jingga masih mencintaimu?” kata ayah, membuka percakapan. “Iya, bunda setuju dengan ayahmu,” timpal bunda, mendukung. “Dari nada bicara Ayah dan Bunda, aku seakan menangkap makna keraguan akan kesetiaan Jingga padaku. Angga juga begitu,” balasku, merajuk. Ayah dan bunda kembali saling melempar pandangan, namun dengan sorot mata yang berbeda dari sebelumnya. Timbul semacam prasangka tak menentu yang menghitamkan pikiranku. Ayah dan bunda terus saja diam tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka, hingga acara makan kami malam itu selesai dan aku masuk ke dalam kamar meninggalkan mereka yang berperan seperti wayang. * Dua minggu sudah, aku berjalan di bawah wajah cerah sang pemilik pagi. Aku kadang-kadang merasa bagaikan pangeran yang tengah mencari mahkotanya yang hilang, tersesat, kembali menyepi menyelusuri sunyi, namun dengan langkah tetap, tak ingin mati. Jauh hari, sebelum aku pergi dari bumiku nan bahari; sejenak beranjak dari sebagian kebahagiaan yang aku miliki, ada sejuta drama kama yang tercipta dan tak mungkin aku lupakan begitu saja. Dia yang selalu menyiksa waktuku dengan rindu, hingga semua yang mampu bersuara jadi tak kuasa berkata di kala aku dan dia tak lagi bersama. Aku memang tak berdaya di kala dia memintaku, “Jangan pernah lepaskan genggaman ini!” Sejujurnya, aku jua tak mampu, namun aku lebih tak mampu lagi jika tangan pemisah tak pernah menyudahi kemurkaannya pada hati kami yang saling memiliki. Wahai penjaga jiwa dan raga, aku percaya, sejarah tak mungkin berulang. Kaupun telah bersedia meminda ketidakmampuanku dengan jari-jari ketuhanan-Mu dan aku merasa telah berwibawa di hari baruku atas kemahapemurahan-Mu. Dengan segenap jiwa kemanusiaan, aku ingin menyetarakan semua kata yang telah menjadikan syairku tak bernyawa. Maka pertemukanlah aku dengan dia … Yang Maha Kuasa seolah mendengar himne dan kidung sukma yang kudendangkan di ujung hari. Tiba-tiba bias jingga membuka selaput retinaku untuk menyaksikan pertunjukan sepasang angsa yang tengah berenang dan mengepak sayap dewasa dari kejauhan. Sampai lelah menarik mereka ke atas perahu, kemudian si angsa jantan mengayuh dayung, hingga perahu berlabuh di depan peradauanku. “Bang Dea! Kaukah itu?” Si angsa betina sepertinya terkesima melihatku. “Ya, Jingga. Ini memang aku,” balasku lugas. Kau terlihat lebih anggun mengenakan gaun putih mahal itu. Pancaran kemulyaannya, membuatku terpukau dan mataku hampir tak cakap lagi mengenalimu,” kataku menyambung. “Apa kau bermaksud menyindirku, Bang?” “Sudahlah, tak usah dipikirkan!” kataku, sembari beranjak dari peraduan. “Kau mau kemana, Bang?” “Kurasa tak ada gunanya lagi aku menunggu di sini karena semua sudah jelas. Mahadewiku telah mengucapkan selamat tinggal, kata yang tak pernah kuinginkan terucap dari mulutnya.” Kemudian aku pun pergi tanpa membalikkan pandangan lagi. * Rintik-rintik hujan yang mengotori bumi Dea[1] danLala[2], diiringi gemuruh kemarahan alam yang gundah, seakan mewakili semua yang kurasakan malam itu. Potret wanita anggun yang tersenyum di atas meja, tak berarti lagi bagiku, setelah kutahu senyum itu membawa luka. Alas-Sumbawa, 11 Agustus 2004 Teruntuk Pangeran yang kurindukan, Radea … Dalam suratku kali ini, mungkin aku takkan menjamakkan kata untuk mengurai satu persatu dari apa yang sedang kurasakan saat ini. Namun sekiranya dengan sepatah kata rindu, akan mampu mewakili semuanya. Ingin rasanya kuterbang menghampiri sajadahmu bersama semilir angin subuh yang dahulu selalu mengirimkan senandung adzan ke atap rumah kita. Aku merindukan masa-masa saat kita tertawa lepas di atas perahu, menyisiri danau yang tak pernah kita temui ujungnya. Namun hembusan angin pagi yang menggoyangkan pohon palam, bagaikan lambaian tangan yang selalu memanggil kita untuk menepi tertati-tati ke arah mereka. Aku tersenyum, aku berlari, dan kau selalu menjadi penjawab sempurna dari semua tingkahku. Aku seakan tak sabar ingin mengulang kembali kenangan itu bersamamu dan hanya bersamamu. Aku di sini akan selalu menyayangimu dalam wujud doa dan pengharapan tak henti pada sang Kholik, agar kau bisa secepatnya menyelesaikan beasiswamu dan melanjutkan hari bersamaku lagi. Sebagai akhir dari goresan penaku di kertas ini, aku akan memohon lagi pada-Nya, ingatkan aku untuk selalu mencintaimu melebihi diriku sendiri. Tertanda Mahadewi yang merindukanmu, Jingga …. Perlahan kusulut surat itu dengan api yang kian menyala di genggamanku. Itu adalah surat terakhir yang dikirim Jingga 3 bulan sebelum aku kembali ke tanah air. Aku tak ingin mengingat dia lagi dan aku harus melenyapkan apapun yang membawa ingatanku padanya. “Ini yang tak kuinginkan terjadi padamu, Dea dan ini adalah jawaban  kenapa aku memintamu untuk tidak mengharapkan dia lagi,” kata seorang sahabat yang setia seharian itu menabahkanku, Angga. “Setidaknya aku melihat sendiri kebenarannya, Ngga dan cinta semu ini tak berlarut-larut lagi mendiami hasta kehidupanku ..,” balasku lemah, nyaris tak bersuara. “Dea! ada Jingga di depan menunggumu,” kata bunda yang tiba-tiba menyelinap dari mulut pintu. “Kamu tidak boleh begitu, Nak! Hargailah dia sebagai tamu istimewa kita malam ini,” pinta bunda, menghakimi kebisuanku. Atas titah bunda, akupun keluar dari kamar, kemudian menemui Jingga yang tengah duduk di kursi taman, rumahku. “Apa lagi yang kau inginkan dariku, Jingga? Belum puaskah kau mempermainkan ketulusanku dengan dustamu?” tanyaku, menghentak. “Aku masih sayang padamu, Bang! Dia hanya pelampiasan dari kejenuhanku menunggumu. Cinta tulusku hanya untukmu, Bang Dea,” jawab Jingga, meraut wajah lugu dan penuh keyakinan. “Jangan pernah ungkapkan cintamu lagi padaku! Karena kau telah memberikannya juga pada hati yang lain. Mungkin hidupku akan terasa mati tanpa cinta, tapi aku lebih baik mati daripada hidup dengan cinta yang terbagi.” “Tapi, Bang? Aku …” “Cukup, Jingga! aku tak bisa menerimamu lagi dan maaf aku sudah memutuskan untuk pergi dari kepalsuan ini.” (TAMAT) [1] Panggilan untuk pria bangsawan Sumbawa [2] Panggilan untuk wanita bangsawan Sumbawa -------Dikutip dari antologi cerpen Katastrofa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun