Aryandra Delkadosh Takubesi, bayi permatur yang lahir setelah tujuh bulan di dalam kandungan ibunya kini telah pulih. Dirawat selama dua bulan lebih di Rumah Sakit Umum Daerah Drajat Prawiranegara Serang Banten, akhirnya keluar dengan berat 1.8 kilogram.
Sebelumnya Aryandra lahir dengan berat 1.103 kilogram, tetapi kemudian turun menjadi 980 kilogram karena dilakukan terapi sinar. Beberapa minggu kemudian, berat badan kami (Arianto Tb, suami) dan (Intan Ardiani, istri) ini perlahan naik.
Hingga menginjak bulan yang ketiga, berat Aryandra sudah mencapai 2.250 kilogram. Tidak ada yang menyangka bayi dengan berat tidak lebih dari satu kilogram itu kini tumbuh normal layaknya bayi bayi yang lainnya.
Orang tua dan paramedis hanya sebagai pendukung, tetapi mujizat Tuhanlah yang menentukan. Betapa tidak, ketika ibu Aryandra, Intan Ardiani yang hamil tujuh bulan itu difonis menderita darah tinggi oleh dokter yakni 140/120 (labil) dan kemungkinan Aryandra tidak mungkin lahir. Selain itu lamanya penanganan, membuat protein yang masuk ke tubuh ibunya kemudian tidak diteruskan atau terhambat ke ari ari sebagai suplay makanan. Sehingga kondisi janin pun semakin kritis.
Dokter mengatakan suplay makanan yang tidak masuk ke tubuh bayi menyebabkan bayi kecil padahal sudah tujuh bulan. Tubuh sang ibu pun mulai membengkak karena protin yang seharusnya diterima oleh janin tidak tepat sasaran alias bocor.
Pada hari itu, Kamis 21 September sekira pukul 11 pagi, Intan, istri sayapun dirawat. Sejak itu dokter dan para pembantunya di RS tersebut hanya bisa memantau perkembangan Intan, tidak ada tindakan apapun. Kepada saya, dokter mengatakan "Jika bayi prematur tidak bisa dilahirkan di RS Adjidarmo yang notabene tidak ada fasilitas NICU nya, kalau seandainya dilahirkan secara paksa atau tidak pun pasti penuh dengan resiko"
Jalan terakhir saya menanyakan istri apakah mau keluar dari RS Adjidarmo ke RS yang lain sebagai pasien umum yang memiliki fasilitas NICU? Istri saya menyanggupinya, mengingat kondisi istri yang semakin hari semakin lemah sehingga harus terus berada dalam penanganan tim medis. Kali ini, saya sebagai suami mengambil keputusan untuk lepas atau keluar dari RS Adjidarmo secara paksa dan tidak memakai fasilitas BPJS.
Akhirnya pada Rabu, 27 September 2017, istri saya Intan pun dipindah ke RS yang memiliki fasilitas NICCU, itupun karena kami dibantu oleh keluarga yang merekomendasikan kami masuk ke RSUD Drajat Prawiranegara Serang. Semenjak masuk, perawat dan dokter tidak begitu tegang atau biasa saja dan kami merasa seperti ada keganjilan. Di RS sebelumnya istri saya divonis untuk dioperasi secepat, di RS Serang istri saya hanya diberikan infus. Dan pada malam harinya diberikan obat perangsang.
Di dalam benak saya sebagai suami kurang menerima dan bertanya tanya, apakah istri saya bisa melahirkan secara normal? Maklum ini kelahiran putra kami yang pertama jadi membuat kami sangat takut. Begitu obat perangsang di suntikan saya sebagai suami disuruh menandatangani surat persetujuan untuk kelahiran dilakukan secara normal. Tidak ada beban apapun, saya pun langsung menghampiri perawat yang memberikan kertas tersebut dan menandatangani.
Istri saya pun mulai mengerang kesakitan semalam suntuk. Saya sebagai suami yang juga sudah lelah karena menjaga istri seorang diri. Tak satupun keluarga yang datang malam itu, karena jarak ke rumah sakit cukup jauh. Berdoa dan pasrah, hingga kamis pagi sekira pukul 6 lebih 20 menit ketuban istri saya mulai pecah. Saya pun meneriaki perawat yang masih pulas tidur. Alat penyedot dan semua perlatan medis yang mendukung pun disediakan, usaha paramedis untuk membantu kami pun berhasil. Mujizat itu ada, meskipun Delkadosh, buah hati kami keluar dengan tanpa menangis sekalipun tetapi paling tidak istri saya sudah berhasil mengeluarkan bayinya.