"Kami tidak melawan dengan kebencian, kami tidak melawan dengan rasa ketidaksukaan. Kami akan membawa ini dengan spirit suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti," ujar Anies. (cnnindonesia.com)
Pernyataan Anies Baswedan yang menggunakan frasa "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti" dalam pidato penutup debat terakhir pilpres menggambarkan pendekatan yang kental dengan nilai-nilai kearifan lokal, terutama filosofi Jawa, dalam konteks perpolitikan nasional. Pernyataan tersebut dapat memiliki beberapa relevansi dengan situasi politik dan sosial di Indonesia, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pendekatan Humanis dan Kebijakan Berbasis Cinta Kasih:
Anies menekankan pentingnya cinta kasih (pangastuti) dan welas asih dalam perjuangannya. Ini dapat diartikan sebagai upaya untuk membangun pendekatan kebijakan yang lebih humanis dan peduli terhadap kesejahteraan rakyat. Pernyataan ini mencerminkan sikap kepemimpinan yang berfokus pada keadilan sosial dan penyelesaian masalah dengan cara yang penuh empati.
Penolakan Terhadap Kebencian dan Ketidaksukaan:
Anies menegaskan bahwa perlawanan terhadap ketimpangan tidak dilakukan dengan kebencian atau rasa ketidaksukaan. Hal ini dapat diartikan sebagai penolakan terhadap polarisasi dan konflik berbasis emosi negatif dalam politik. Strategi seperti ini mencerminkan upaya untuk membangun persatuan dan mengatasi perbedaan dengan dialog yang konstruktif.
Spirit Persatuan dan Kesejahteraan (Jayaningrat):
Penggunaan frasa "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti" menunjukkan tekad untuk mencapai kebesaran dan kesejahteraan bersama (jayaningrat) melalui kepemimpinan yang bijak (diro) dan persatuan (lebur). Ini mencerminkan cita-cita untuk menciptakan kondisi yang adil dan sejahtera bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penghormatan terhadap Kebijakan yang Bermakna dan Beretika:
Frasa tersebut mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dalam pengambilan kebijakan. Anies menyatakan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan harus dilakukan dengan semangat dan tindakan yang bijak, menekankan bahwa perubahan yang diinginkan harus dibangun di atas dasar nilai-nilai yang positif dan etis.
Penggunaan frasa tersebut oleh Anies Baswedan menunjukkan upaya untuk menyelaraskan diri dengan nilai-nilai lokal dan budaya Indonesia, khususnya filosofi Jawa, sebagai bagian dari identitas kepemimpinannya. Dalam konteks lebih luas, hal ini juga dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan suasana politik yang lebih inklusif, berlandaskan kebijakan yang adil dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H