Mohon tunggu...
Asnelly Daulay
Asnelly Daulay Mohon Tunggu... -

timbang dan rasakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tukang Pijatku Dimanakah Kau…?

18 Oktober 2010   07:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:20 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penyakit pegal linu menyerang hampir semua orang, dimulai dari kelas pekerja fisik hingga pekerja otak alias kantoran. Orang dewasa, anak-anak, bahkan bayi yang baru berumur beberapa bulan, juga butuh pijatan. Ketika jamu pegal linu tidak mampu mengurangi rasa pegal-pegal di badan, tidak ada alternatif lain selain menyerahkan raga ini ke tukang pijat. Saya menyukai tukang pijat tradisional.

Namun mencari tukang pijat yang cocok, bukanlah urusan sepele. Jalannya panjang dan berliku-liku, bahkan diantara sesama pasien pun terjadi saling rebut tukang pijat. Di rumah tukang pijat top, biasanya terdapat antrian 3 hingga 5 orang. Mereka datang ke tukang pijat yang sama dengan alasan ‘pegangan’ tukang pijat tersebut mengena dengan bagian tubuh yang pegal-pegal.

Sebagian pasien ingin dipijat di rumah mereka sendiri. Alasannya; ingin lebih nyaman dan tidak terburu-buru. Namun pilihan ini sering berbuntut kecewa. Seorang tukang pijat yang diorder untuk datang ke rumah pada jam 4 sore, ternyata hingga beberapa jam kemudian tidak muncul juga. Ternyata dia sedang memijat tetangga sebelah yang kebetulan melihatnya lewat dan langsung menyeretnya ke dalam rumah.

Tukang pijat pun sering ingkar janji dan malu-malu menyebut tarif. Sering lewat telpon dia menyanggupi untuk datang namun ditunggu dan ditunggu, tidak muncul. Ternyata dia pergi memijat ke tempat lain. “Iyalah, yang jemput dia kan pakai mobil. Bayarannya pasti lebih besar. Kita-kita yang walaupun tinggal dekatan rumah, tahu diri saja,” ucap seorang ibu yang kesal karena persoalan layanan tukang pijat ini.

Banyak tukang pijat ‘panggilan’ memang tidak menyebut tarif resmi atas jasanya. Katanya takut kualat kalau mematok harga. Kepandaian memijat merupakan berkah tuhan, jadi masalah tarif tidak boleh disebut-sebut.

Tapi tukang pijat juga manusia. Kalau ada yang membayar lebih mahal, kecendrungan tukang pijat untuk melayani panggilan pasien gedongan tersebut akan lebih kuat ketimbang menyambangi pasien lain yang walaupun masih sekampung namun bayarannya ‘standar’.

Tukang pijat menjadi semakin langka, juga karena faktor tidak ada regenerasi yang mulus. Tidak semua tukang pijat mewariskan ilmunya kepada keturunannya. Begitu juga tidak semua keturunan tukang pijat mau melanjutkan profesi orangtua atau kakek neneknya. Padahal penghasilan tukang pijat lumayan lho. Jika satu orang yang dipijat memberi upah Rp.25 ribu, 5 orang pasien sudah mendatangkan uang Rp 125 ribu per hari. Modalnya hanyalah minyak kelapa, balsem atau minyak kayu putih. Kalau dipanggil ke rumah bayarannya pun lebih besar, berkisar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu, plus buah tangan yang lain seperti kue atau kain sarung.

Jadi, meskipun pijat refleksi bertabur di mana-mana, tukang pijat tradisional tetapsangat dibutuhkan. Sayang, tak banyak yang tertarik jadi tukang pijat ini. Gak keren kali ya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun