Mohon tunggu...
Anwar Fatahuddin
Anwar Fatahuddin Mohon Tunggu... -

no comment

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Saya Rasanya "Drop"

11 Agustus 2012   19:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:55 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perasaan ini telah lama saya pendam, saya sadari kalau rasa nasionalisme saya sebagai anak bangsa atau seorang  Warga Negara Republik Indonesia sepertinya menurun (drop). Kalau pun masalah ini saya ungkap, anggap saja ini pelampiasan atau "curhat".  Ide untuk menulis isi perasaan saya ini muncul secara spontan tatkala saya mendengar lagu Novia Kolopaking berjudul "asmara" yang mengalun dari sound komputer saya. Saya sendiri tidak memahami apa hubungan antara "kegalauan" rasa nasionalisme ini dengan "nafas" lagu itu, yang jelas lagu tersebut seketika saja menghentak hati saya untuk munggeledah dan menuturkan sendiri bagaimana perasaan nasionalisme saya saat ini.

Sebaiknya saya awali penuturan ini dengan pernyataan bahwa saya pernah mengalami nasionalisme yang "hebat" pada zaman Orde Baru ;  dulu saya sangat bangga pada ABRI ---dulu disebut ABRI, bukan TNI---  sehingga sewaktu kecil, saya pernah bercita-cita untuk menjadi tentara/prajurit, saya pun amat mengidolakan figur pemimpin-pemimpin nasional (Presiden Soekarno dan Soeharto beserta  para menterinya) sehingga saya suka membaca biografi-biografi mereka. Bahkan dulu saya selalu antusias menonton pertandingan bulutangkis lewat televisi antara Indonesia vs China (beberapakali mereka bertemu di final atau semi final) kerap kali pula saya bernazar  puasa 1 hari bila Timnas Indonesia memenangi event  internasional tersebut. Saya bernazar puasa dengan harapan "alih-alih" nazar itu bisa menjadi syarat buat kemenangan Tim Indonesia demi menharumkan nama Indonesia dimata dunia. Itulah beberapa kisah  untuk menggambarkan rasa nasionalisme saya dari SD - SMP - SMA  dan sampai saya sarjana 1997  pun nasionalisme saya rasa-rasanya masih stabil.

Tak lama kemudian terjadilah peristiwa reformasi Indonesia pada Mei 1998. Adapun di era reformasi ini menurut hemat saya memang banyak pelaku yang melakukan pembenahan terhadap sistem, tetapi  tidak sedikit pula oknum yang justru mengambil "kesempatan dalam kesempitan". Sebagai contoh yang banyak terjadi didaerah adalah pemanfaatan isu program pendidikan gratis sebagai materi kampanye oleh calon gubernur ataupun calon walikota/bupati didaerahnya masing-masing. Program pendidikan gratis sengaja mereka isukan untuk memberikan kesan menklaim program tersebut seolah-olah ide murni si-calon dalam rangka meringankan beban biaya pendidikan rakyat, padahal tanpa dikampanyekan pun program pendidikan gratis sudah menjadi agenda pemerintah pusat.

Hal lain yang berubah didaerah adalah syarat untuk menjadi bupati, sekarang ini tanpa perlu proses penjenjangan karir ataukah pengetahuan pemerintahan yang memadai, seseorang bisa saja "welcome'  mencalonkan diri sebagai kandidat bupati sepanjang diusung oleh partai politik atau berhasil mengumpul poto copy  KTP (untuk jalur independen) sesuai yang dipersyaratkan KPUD, selebihnya adalah usaha untuk menciptakan citra dan penggalangan suara.  Tapi bagaimana jadinya kalau calon bupati itu tidak  "mumpuni"  tetapi  "berduit", apakah seleksinya diserahkan kepada masyarakat berdasarkan suara terbanyak. Metode seperti ini tidak menjamin kemenangan idealisme, tetapi lebih mengarah pada pragmatisme "like or  dislike".

Contoh-contoh diatas membuat saya merasakan sesuatu yang sulit saya bahasakan, seakan-akan ada yang "hambar" dalam sistem pengelolaan negara kita saat ini  ---terlalu lepas dan bebas---  namun itu terus berlangsung atau dibiarkan begitu saja tanpa jelas lembaga apa yang memiliki otoritas untuk memperkuat infrastruktur kepemimpinan didaerah sebagai bagian dari penguatan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Perlu dipahami bahwa seleksi terhadap calon bupati/walikota yang dilakukan oleh KPUD setempat sifatnya pasif atau prosedural saja, tidak menyentuh pada kompetensi maupun kapasitas calon. Kalau pun ada pemaparan "visi-misi" oleh masing-masing calon, rasa-rasanya uji kompetensi seperti itu belum pas, sebab konsep visi-misi  bisa saja disusun dari kumpulan teori atau bahkan dicopy-paste dari kandidat lain. Coba kita bandingkan dengan sistem rekruitmen di era Orde Baru, dimana Lemhanas berperan sebagai sentra pengkaderan sekaligus "lembaga sertifikasi" bagi calon pejabat  yang akan dipromosikan. Sistem yang diterapkan oleh Orde Baru tampaknya lebih ketat, sistematis dan jelas.

Dan banyak lagi "keganjilan" yang terjadi didaerah tetapi pemerintah atau negara tidak cepat-tanggap menanganinya, seperti  keterlibatan kolektif anggota DPRD dalam pengaturan tender-tender proyek,  terjadinya "jual-beli"  jatah pengangkatan PNS.  Apakah sistem rekruitmen dinegeri ini berorientasi untuk menggiring politisi/aparatur untuk mengutamakan "cari duit" dari pada pengabdian ?.  Mencermati praktek-praktek "miring"  yang masih marak terjadi didaerah, maka semestinyalah pemerintah pusat memberikan  "lampu hijau" kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan monitoring terhadap setiap daerah, termasuk monitoring terhadap cara pengelolaan pemerintahan didaerah.

Sebab sistem desentralisasi (otonomi daerah) dengan berbagai "penyimpangan" dalam konteks praktek dibeberapa daerah, memberi kesan bahwa negara tidak sanggup mengendalikan dinamika yang terjadi diseluruh Indonesia. Disisi lain, dampak dari penerapan sistem berdemokrasi kita saat ini, yakni  sistem pemilihan langsung untuk pemilihangubernur atau walikota/bupatipada kenyataannya hanya membuat konsentrasi elit daerah  lebih banyak "terkuras" untuk membangun kekuatan dan pencitraan diri  ---kunjungan kerja mereka tidak bisa lagi dibedakan dengan silaturrahmi politik---  berpindah dari satu titik  ke titik lain, dusun satu  ke dusun lainnya, dari desa A ke desa B dan seterusnya. Begitu pula dengan prilaku yang dipertontonkan oleh elit-elit pusat, mereka tampak sibuk untuk membangun  jaringan, strategi pemenangan pemilu  plus pencitraan diri masing-masing.

untuk mempertahankan kekuasaannya....

para elit itu disibukkan dengan pencitraaan diri

sampai  bertahun-tahun  sebelum suksesi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun