Mohon tunggu...
Anton Punkq
Anton Punkq Mohon Tunggu... -

translator, peminat buku, dan suka menulis, tinggal di Priyang Tangsel...saat ini bekerja di PT. IISA VISIWASKITA BSD City Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paradigma Kebisuan Dalam Tiga Pertanyaan-nya Leo Tolstoy

12 Januari 2015   15:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:19 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

( Tarian Syiwa Dua Desiring Machines)

Tanggapan Visi Kecerdasan Jamak Pada 5 Tulisan di Kompas Minggu, 11 Januari 2014:

1. Hidup Baru, Parodi, Samuel Mulia

2. Hari-hari Terakhir Karta Pustaka : Catatan Sejarah, Foto Pekan Ini

3. Nasib Seni Indonesia di Biennale Venesia, FX. Harsono

4. Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati, cerpen, Agus Noor

5. Karikatur (Charlie Hebdo), Kredensial,Trias Kuncahyono

Ada tiga pertanyaan agung dalam salah satu kisah karangan Leo Tolstoy. Ketiga pertanyaan tersebut memusingkan dan jadi obsesian seorang raja di salah satu negeri antah berantah. Ketiga pertanyaan-nya adalah:

*Kapankah waktu terbaik untuk melakukan/menuntaskan/mewujudkan setiap hal/tugas/gagasan/pekerjaan?

*Siapakah orang yang paling dapat dihandalkan untuk dapat melakukan hal di atas (pertanyaan nomor 1)?

*Apa yang paling penting (utama) untuk dikerjakan/dilakukan setiap saat/sepanjang waktu?

Singkatnya, setelah mengadakan berbagai macam sayembara dan tak ada seorangpun peserta yang dapat menjawab secara memuaskan hati sang raja, beliau akhirnya berketetapan untuk menghadap ke seorang pertapa ‘aneh’ yang tinggal di salah satu puncak bukit di wilayah negerinya. Seorang pertapa yang sudah tak hendak melibatkan diri pada urusan kekuasaan dan kekayaan dunia dan yang hanya mencurahkan hidupnya untuk membantu kaum “miskin”. Untuk itu sang raja harus menyamarkan diri sebagai petani biasa dan ‘blusukan’ dengan meninggalkan pengawalnya di kaki bukit.

Setibanya di tempat sang pertapa, yang kebetulan sedang menggali pekarangan dan nampak kepayahan, sang raja segera mengemukakan pertanyaan tersebut, namun tak mendapat tanggapan sama sekali dari sang pertapa. Raja pun kemudian menawarkan diri untuk membantu menggali, sang pertapa hanya diam dan menyerahkan paculnya. Setelah beberapa lama menggali dan cukup memenatkan, sang raja mengajukan pertanyaannya kembali. Si pertapa lagi-lagi tidak menanggapi dan hanya meminta kembali paculnya untuk ganti menggali setelah pulih rasa penatnya. Sang raja pun menyerahkan pacul, dan beberapa saat kemudian kembali mengajukan pertanyaan serupa. Tetap tidak menanggapi, beliau hanya memperingatkan ada suara orang yang sedang tergopoh-gopoh mendekati mereka. Sang raja menoleh, dan benar ada seorang yang nampak kepayahan dan tangan orang tersebut berupaya menutup aliran darah yang keluar dari luka menganga pada salah satu sudut lambungnya.

Singkat cerita, sang raja membantu orang itu dengan merawat luka, mengambilkan air untuk pemuas rasa dahaga si penderita dari salah satu sumber air yang cukup jauh, menopangnya ke pembaringan dan berbagai upaya perawatan bantuan lain yang diperlukan ketika itu, sehingga karena rasa lelah yang teramat sangat sang raja pun duduk menggelosor dan bersandar pada salah satu dinding lalu tertidur.

Esok paginya, kedua orang itu terbangun. Sang raja sesaat mengalami rasa linglung pada apa yang telah dilakukannya seharian. Si penderita tiba-tiba meminta maaf pada sang raja. Raja tambah bingung dengan permintaan maafnya itu. Si penderita lalu bercerita bahwa ia sebenarnya adalah musuh terbesar sang raja. Berencana untuk menghabiskan nyawanya ketika ia tahu sang raja hendak menyamar dan “blusukan” ke bukit sang pertapa. Karena lama menunggu di kaki bukit, dan sang raja tak nampak ada tanda-tanda turun maka ia bertekad untuk menemuinya di puncak. Namun sebelum mulai pendakian ia bertemu dengan para pengawal raja yang juga sedang menunggu. Mengetahui ada ancaman besar bagi rajanya, para pengawalpun menyerang dan mencederai dirinya. Untung saja ia berhasil lolos, tergopoh-gopoh melarikan diri ke puncak bukit dan bertemu sang raja. Atas segala bantuan tulus sang raja, bila dimaafkan ia bersedia mengabdikan hidupnya untuk kepentingan kerajaan.

Sang raja bersyukur bahwa musuh besarnya tanpa disadari telah menjadi teman bahkan pendukung setianya-nya. Karena rasa syukur, raja memerintahkan para pengawalnya untuk memfasilitasi segala kebutuhan rekan barunya yang masih terluka.

Kembali ke si pertapa, sang raja pun mengajukan ulang pertanyaannya. Sang pertapa hanya menjawab bahwa semua pertanyaannya itu telah terjawab dengan apa yang telah ia lakukan sejak pertemuan dengan dirinya. Saat terbaik adalah saat ia membantu menggali pekarangan, membantu si orang terluka. Orang yang paling layak dihandalkan adalah saya sendiri dan orang yang terluka itu. Sedangkan hal utama yang harus dilakukan adalah apa yang sudah kau sendiri lakukan terhadap saya dan orang itu. Ingat, hanya ada satu waktu yang terpenting, waktu itu bernama kekinian.Kekinian adalah waktu dimana kita diberi kuasa atasnya. Dan orang terpenting adalah orang yang bersamamu dan ada di hadapanmu dalam kekinian, karena siapakah yang sudah tahu akan bersama siapakah engkau disaat yang paling kritis dalam hidupmu? Akhirnya, hal terpenting untuk diupayakan adalah menjadikan orang yang bersamamu itu bahagia karena sebenarnya itulah tujuan kita hidup (bukan yang lain).

Dengan kisah di atas-lah (yang merupakan salah satu kisah karangan Leo Tolstoy) saya coba menanggapi kelima bacaan Kompas Minggu, tertanggal 11 Januari 2015.

Dalam Hidup Baru-nya (Parodi), Samuel Mulia menggambarkan perubahan diri teman dekatnya yang semula memuja dominasian kepala (pemikiran) atas “hati” menjadi pemuja “kebisuan hati” yang mengendalikan pemikiran. Temannya itu semula adalah pekerja keras di ranah bisnis yang mencanangkan dasar hidupnya semata-mata dalam semboyan “time is money” dan “thinking is the most effective method of buying time”. Amat menarik untuk disimak, bagaimana si teman mengomentari perubahan sikapnya sendiri. Pertanyaan yang paling mendesak untuk dikemukakan dalam kisah ini, apakah mungkin bila prosesnya dibalik? Dari yang berpihak pada dominasian hati, karena situasi tertentu jadi penggila pikiran?

Dalam Hari-Hari Terakhir Karta Pustaka dan Nasib Seni Indonesia di Biennale Venesia ( yang kedua ditulis oleh FX. Harsono), karena hanya sebagai pengingat pada pembaca, maka tanggapan saya cukup berdasarkan kisah di atas. Prinsipnya, kekinian lah yang mendominasi kuasa bahkan pada patok-patok riwayat yang tak mudah untuk disingkirkan begitu saja. Karta Pustaka tergilas oleh perubahan trend media terkini. Nasib Seni Indonesia pun (dan dimana pun) akan selalu terancam bila tak lagi menghargai kekinian (dalam salah satu ulasannya itu, Sdr. FX Harsono mengungkapkan bahwa pada “event” tertentu pihak wakil peserta dari Indonesia bahkan tak mampu membayar uang sewa rumah tempat konter pamerannya digelar!). Bagaimana kita dapat menghargai seni yang lintas waktu, bila pada momen kekiniannya pun dihinggapi “lupa” yang mencerminkan rasa kekurangpercayaan diri.

“Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati” (cerpen oleh Agus Noor), seakan hendak menyindir pelaku pembunuhan di kantor redaksi Charlie Hebdo yang dipaparkan secara rinci dalam Karikatur, kolom Kredensial oleh Sdr.Trias Kuncahyono. Singkatnya, semua perilaku itu (bila harus menyitir konsepnya duo Deleuze-Guattari) hanyalah producer product yang tak akan berujung tuntas karena jadi lingkaran setan sebagaimana dipaparkan dalam cerpen Agus Noor di atas. Hasrat tunggal jadi mesin produksi yang akan memunculkan/melahirkan rangkaian mesin produksi tandingan lainnya, bak pertikaian tak berkesudahan dari dua orang pemimpi. Mimpi itu ( sebagaimana mimpi agung sang raja) harus disadarkan melalui praksis kebisuan. Melalui jawaban bisu sang pertapa di puncak bukit pengembaraan jati diri kita sendiri! Sekian, terima kasih.

Salam Amor Fati untuk Indonesia Hebat!

*) Maaf, minggu lalu gagal menayangkan tanggapan karena di Tangerang Selatan hujan dari jam 2 pagi hingga jam 2 siang, hingga tak sempat beli Kompas Minggu.

#visiwaskita#kecerdasanjamak#paradigmakebisuan#kompasminggu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun