Konsep Multiple Intelligences Itu Sebagai Pupuk Atau Hanya Sebagai Alat Karbitan Kah?
Keterseretan Angelina Sondakh pada kasus mega korupsi yang terjadi di dalam lingkaran elit politik rezim SBY nampaknya masih cukup menarik untuk dikritisi, setidaknya menurut pertimbangan dan kacamata penulis sendiri. Cantik, muda, cerdas, terkenal (karena prestasinya sebagai mantan ratu) dan relatif berkecukupan. Sungguh, beliau adalah perempuan dengan kecerdasan majemuk. Peristiwa keterseretan mantan ratu tersebut mungkin bukan hal langka atau hal yang dianggap aneh lagi di dalam kehidupan masyarakat modern yang kian sengit pengaruh mantra kebendaan dan kepemilikannya. Yang menggelitik penulis bukanlah pada masalah mantra modernitasnya, melainkan pada bagaimana cara kita memandang dan memaknai kecerdasan majemuk di era modern dan global seperti ini? Paradigma baru apa yang selayaknya diharapkan dengan keberlakuan konsep kecerdasan majemuk tersebut. Mungkin pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah konsep kemajemukan kecerdasan itu mengandaikan adanya asumsian paradigma baru terkait cara pandangnya.
Titik awal keprihatinan penulis pada masalah tersebut sebenarnya muncul karena membaca semacam slogan (asumsi dasar) dari salah satu lembaga psikologi terapan ternama di kota terbesar Indonesia ini. Untuk etisnya, saya tak akan menyebutkan bagaimana bunyi slogannya dan apa nama lembaga tersebut. Yang menjadi tujuan penulisan atau lebih tepatnya keprihatinan penulis adalah bahwa apapun yang jadi produk terkini dan tercanggih bisa juga diperlakukan secara kuno, dan sebaliknya produk yang nampak kuno dapat kita perlakukan secara kekinian (Samuel Mulia, “Parodi”, Kompas Minggu,30 November).Hal ini pun berlaku untuk konsep Multiple Intellegences yang kita amalkan. Bisa dengan cara mempersempit makna aslinya atau bahkan meradikalkannya. Ada yang mengasumsikannya sebagai keragaman aspek kecerdasan (tunggal) dan ada pula yang menerapkan Multiple Intellegences seraya menegasikan kebodohan secara radikal.
Mereka yang mengasumsikan Multiple Intellegences (MI) sebagai sekedar keragaman aspek kecerdasan (tunggal) adalah mereka yang tak bisa melepaskan diri dari cara pandang dominasian tunggal. Para penganut cara tinjau seperti ini masih selalu mencari-cari aspek kecerdasan tunggal(yang mendominasi) pada setiap ragam kecerdasan lainnya. Mereka menggunakan kata majemuk, tapi melihat dengan kacamata tunggal. Melihat atau mencari-cari keunggulan yang sifatnya kognitif dalam setiap ragam kemajemukan kecerdasan. Sebagaimana para penganut keyakinan monotheisme memandang dan menilai keragaman dewa-dewa penganut Hindu atau agama tradisional lainya sebagai polytheisme. Seolah kemajemukan itu muncul setelah dipertentangkan dengan yang tunggal alih-alih menggeser atau mengubah sudut pandang untuk melihat kemajemukan sebagai yang majemuk saja (sebagaimana kita sekarang meyakini yang tunggal sebagai yang tunggal saja, selain ketunggalan yang ada hanyalah yang “non-tunggal” sebagai “majemuk”).
Seturut pemahaman penganut Monotheisme terkait Politheism, maka para penganut Monotheisme cenderung memandang dewa dari sudut Ketuhanan yang Monotheistis. Seolah-olah dewa itu adalah Tuhan-Tuhan kecil yang kehilangan pemimpinnya. Cara pandang seperti ini kurang dapat menjelaskan secara utuh bagaimana para dewa itu dimaknai oleh penganutnya. Dan untuk dapat memahami cara penghayatan penganutnya itu, kita perlu tahu dan paham tentang bagaimana cara pandang mereka terhadap ruang dan waktu (atau dunia).
Demikian pula yang terjadi dengan pemahaman kita akan makna kecerdasan majemuk. Untuk sungguh dapat benar-benar masuk kedalam arti majemuk itu, kita perlu tahu implikasi atau bahkan keberakaran dari makna majemuk tersebut. Singkatnya, kita perlu memahami filosofi makna eksistensi kemajemukan dari kecerdasan itu. Mungkin untuk sampai pada taraf itu, kita terlebih dahulu harus mampu melepaskan keterkungkungan kita pada semua filosofi ketunggalan yang sudah menguniversal. Agar kita mampu melihat dan menilai secara lebih obyektif cara keberadaan “MI” yang kita pandang dan yakini sebagai majemuk itu.
Ada istilah (dari ranah bahasa daerah Jawa) yang penulis anggap lebih tepat untuk dapat menjelaskankecerdasan dalam MI (istilah ini penulis kutip dari pembicaraan dengan Bpk. Dr. Edy Suhardono) yaitu kewaskitaan. Namun istilah kewaskitan ini menyeret (mengimplikasikan) makna moral, karena kata kewaskitaan itu sendiri kerap dilekatkan pada sosok yang memiliki kesadaran moral lebih tinggi dari orang awam.Pertanyaan dasar yang muncul adalah apakah kemampuan tertentu itu mengandaikan (mengisyaratkan) adanyasense of moral? Hal ini jadi lebih problematisketika kita dihadapkan pada pertanyaan “Bagaimana dengan seorang penjahat handal yang memiliki kemampuan empati luar biasa?”
Atau kewaskitaan itu sebenarnya tak berhubungan dengan sense of moral seseorang. Bila demikian, mungkin hanya karena kecemasan dan ilusi sosial-lah maka muncul atribusian kebermoralan dengan kewaskitaan tersebut. Alternatif lain, mungkin aspek kebermoralan lebih erat hubungannya dengan kemampuan mengatasi distraktor yang notabene terkandung dalam syarat pencapaian kemampuan tertentu. Sebagaimanaattribusian sifat kejahatan juga terjadi pada cara pencapaian kemampuan tersebut. Jadikebermoralan atau kebejatan tak ada hubungannnya dengan kemampuan bawaan. Lalu bagaimana dengan peta atau geografis dari kemampuan bawaan tersebut? Seandainya, kemampuan itu kita asumsikan sebagai suatu “alat”,makaapakah ada kemampuan bawaan yang lebih dekat (berkecenderungan) dengan dunia hitam dan atau dunia putih? Pertanyaan yang muncul kemudian adalah syarat atau patok-patok apa yang kita perlukan agar dapat mengungkap kewaskitaan/ kemampuan/ alat tersebut tanpa beresiko memunculkan bencana kebermoralan yang telah diwanti-wantikan oleh kebijakan tradisional. Bila sikap obyektif buta yang diambil, maka pertanyaan di atas tak akan muncul, tapi ketergagapan pada resikonya-lah yang mungkin menuntut biaya lebih besar dari ganjaran kepuasan keingintahuan yang diperoleh.
Dari uraian di atas, sementara dapat disimpulkan bahwa kecerdasan majemuk mengimplikasikan adanya tuntutan perubahan cara pandang pada sistem nilai kemasyarakatan yang berlaku. Konsep kecerdasan majemuk mendorong sikap yang lebih terbuka dan lebih egaliter. Kedepannya, ada banyak hal yang dapat kita ungkap atau pelajari dari kemampuan khusus para narapidana, penjaja seks dan lapis-lapis masyarakat lain yang selama ini terpinggirkan oleh cara pandang dominan ketunggalan. Mereka tak lagikita pandang sekedar sebagai pelanggar hukum atau moral,melainkan juga sebagai pihak yang rentan jadi korban nilai-nilai dominan ketunggalan itu sendiri. Untuk itu akan ada dorongan kuat untuk mengkritisi setiap kebijakan hukum atau nilai-nilai moral yang melanggengkan nilai dominasi ketunggalan. Konsep kemajemukan kecerdasan akan membuka cakrawala pluralitas secara lebih radikal, karenapemahaman pada makna “kebodohan/kepicikan”, “pelanggaran” (yang demikian dominan pada nilai-nilai ketunggalan) selalu harus ditilik ulang dengan nilai-nilai bijak “kemungkinan”. Nilai-nilai kebersabdaaan tidak lagi diterima secara spontan dan apa adanya; melainkan diterima setelah semua kemungkinan dan kemajemukan dipahami dan diaktualkan, karena sabda yang lebih mendasar terkandung dalambenih setiap kemungkinan itu sendiri. Sabda tidak lagi dipahami sebagai suara tunggal yang datang dari luar; melainkan sebagai suara yang menyertai dan membimbing setiap kemungkinan yang majemuk. Suara itulah yang membimbing dan mencerahi setiap temuan-temuan kreatif yang bermakna, bermanfaatdan mengekalkan kelangsungan hidup masyarakatnya.
Kemajemukan Kecerdasan juga mengandaikan tumbuhnya semangat “titen” (perhatian yang jeli) pada berbagai ragam gejala, yang secara serentak mengandaskan kecenderungan pemberian label pada seseorang berdasarkan nilai tuggal apapun. Semangat “titen” ini mengimplikasikan berkembangnya nilai-nilai keheningan dan kebisuan sementara, dan mengobarkan semangat pencarian secara aktif. Membisukan kecerewetan berbagai pertanyaan dangkal (yang biasanya muncul dari kecemasan akibat pola pikir kebertunggalan) yang dapat menyesatkan upaya pemetaan danlebih berfokus pada tindak aktif pencarian atau terobosan ragam alternatif untuk setiap “passion”. Mungkin slogan aktualnya bukan lagi pada salah atau benar/ bodoh atau cerdas melainkan padaragam nilai penyebab dan kemungkinan yang ditimbulkan/diakibatkan untuk perjalanan ke depan. Tak perlu lagi “kambing hitam” (label-label yang merendahkan dan mematikan passion ) selama semangat dan langkah aktif masih diupayakan dan kemungkinan masih terbentang lebar. Kemungkinan itu pun bukan jadi monopoli bagi kaum elit atau the haveskarena kemajemukan itu mengandaikan kesetaraan nilai bahkan bagi semua nilai yang selama ini terjajah atau terpinggirkan. Si kaya harus juga mau mengkaji kemungkinan yang selama ini selalu dihindari atau bahkan diingkari, dan si miskin harus berani untuk mulai mengambil langkah atau kemungkinan yang selama ini jadi monopoli dari si kaya. Beranilah untuk bermimpi! Jangan pernah ingin untuk jadi korban jebakan semua label (miskin, bodoh, kendala jender/orientasi seks, dll.). Mungkin, hal yang lebih problematis adalah bagaimana memelihara nilai kemajemukan itu sendiri setelah sebagian passion berhasil diperoleh.
Jadi slogan yang lebih tepat bukan tak adanya kebodohan atau semua manusia itu cerdas, melainkan jadilah majemuk (plural) dalam setiap semangat dan capaian! Karena dengan sikap ini, semangat “titen” akan dapat terpelihara dan langgeng. Saat kita mulai memegang satu keyakinan ketunggalan; saat itu pula kita mulai mengabaikan spirit atau semangat “titen”, karena kita mulai mereduksi dan menciutkan ranah persepsian kita sendiri.
#IISAVISIWASKITA#KECERDASANMAJEMUK #TITEN#KEWASKITAAN #KEBHINEKAAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H