Jadi sebenarnya siapa yang sedang menistakan agama Islam ?
Ini bukan berarti saya mendukung atau membenarkan apa yang sudah dilakukan Pak Ahok. Tetap beliaunya salah, karena penggunaan kata “ ... dibohongin orang pakai surat Al Maidah 51....”. Itu telah menyinggung perasaan sebagian umat Islam. Sebab ada yang tidak tersinggung juga, bukan ? Tapi jangan kemudian kita bertengkar sendiri, dan menilai yang tidak tersinggung itu “akan dilaknat Allah”. Nanti sesama muslim ganti “berperang” sendiri, dan memang inilah yang diharapkan oleh bangsa lain, agar rakyat Indonesia tidak pernah bersatu dan mereka tetap bisa “menikmati” Indonesia untuk kesejahteraan mereka.
Kalau kita mau jujur, bagaimana dengan pidato-pidato yang dilakukan oleh “tokoh yang sering menjelek-jelekkan” ulama lainnya ? Kenapa tidak ada yang tersinggung dan melakukan demo ? Apa karena kebetulan yang melakukannya itu berbeda iman, dan tidak memiliki massa sehingga kita berani demo ? Salahkan kalau hal ini, kemudian dicurigai hanya sebagai upaya untuk menjegal pencalonan Pak Ahok dalam Pilkada DKI saja, sebab pada dasarnya kita tidak mau kalau Pak Ahok bisa dipilih oleh warga Jakarta ?
Karena itu seharusnya kita bisa lebih bijak dalam menyikapi hal ini. Apa untung ruginya kalau kita “menjegal” pencalonan Pak Ahok. Mari kita lihat apa yang sudah terjadi selama 2 tahun kepemimpinan Pak Ahok, a.l.:
- Rusun yang biasanya banyak dimiliki oleh “orang-orang tertentu” sekarang hanya bisa dimiliki/disewa oleh warga yang benar-benar membutuhkannya, dan kondisinya dirawat dengan baik.
- Mereka yang dulu tinggal di tempat-tempat kumuh bisa hidup lebih sehat dan mendapatkan fasilitas umum yang lebih baik.
- Banjir yang biasanya menenggelamkan wilayah Jakarta sudah jauh berkurang sehingga dana milyaran rupiah yang biasanya “terbuang sia-sia” bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat.
- Sungai-sungai jadi bersih dan bisa menjadi lapangan kerja baru bagi warga sekitar.
- Masyarakat bisa menikmati bis gratis dan bis murah
- Penjaga masjid diumrohkan
- Tempat kumuh berubah menjadi taman-taman bermain
- Daerah pasar tanah abang ditertibkan
- Kalijodo dan tempat hiburan yang disinyalir terkait narkoba dibubarkan
- Pasukan kuning dan pasukan oranye mendapat gaji UMR, padahal sebelumnya cuma sekitar Rp 600.000
- Ada biaya pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri bagi warga yang membutuhkannya
- Pelayanan kesehatan terhadap orang miskin juga dihargai
- Lahan makam yang dijual jutaan terbongkar
- E- budgeting diterapkan untuk meminimalkan korupsi.
Kalau kita mencermatinya, sebenarnya semua itu yang menikmati siapa ? Ternyata, yang banyak menikmati manfaatnya tersebut, sebagian besar justru umat muslim di Jakarta, yang selama ini diabaikan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya yang kebetulan selalu seorang muslim. Bahkan kebijakan mereka, justru memperkaya para pengusaha yang sudah kaya, sehingga tingkat kesenjangan sosial di Jakarta semakin meningkat saja. Keberadaan bangunan-bangunan megah, dan lingkungan kumuh sama banyaknya. Artinya kesejahteraan yang satu terjadi karena adanya pemiskinan pihak yang lain. Apakah kita tidak bisa melihat hal tersebut ? Apakah warga Jakarta sebelumnya pernah mendapatkan fasilitas-fasilitas itu dari pejabat-pejabat terdahulu ?
Atau mungkin ada yang mengatakan:” Tidak apa-apa rakyat miskin, tidak apa-apa lingkungan kumuh, tidak apa-apa birokrasinya korup, tidak apa-apa pejabatnya tidak amanah, asal pemimpin Jakarta tetap seorang muslim”. Pertanyaan saya, “Bagaimana kalau kita sendiri yang berada dalam posisi rakyat yang hidupnya selalu kesulitan itu ?” Karena selama ini, yang sering “berteriak lantang" seperti itu, realitanya tidak sedang mengalami nasib yang sama susahnya. Karena penghidupan mereka selalu lancar-lancar saja, bahkan ada yang hidup bermewah-mewah, dan kemana-mana naik mobil.
Sebagai orang yang lebih suka melihat sopan santun, saya juga ingin melihat Pak Ahok bisa berbicara lebih halus. Tetapi saya juga berpikir, apakah perilaku birokrat yang “sudah berkarat” dan preman-preman sungguhan serta preman-preman berdasi itu bisa diajak berbicara baik-baik ? Mohon maaf, terlihatnya Jakarta yang seperti ini, juga baru bisa dirasakan oleh warga Jakarta setelah Pak Ahok berani marah-marah karena sudah menjadi gubernur. Bahkan beliaunya ini siap mati, karena tindakan atau kebijakannya memang nyawa resikonya. Tetapi demi melihat rakyat kecil bisa tersenyum, demi membuat Jakarta yang lebih baik, demi harapan perubahan untuk Indonesia; keluarganyapun rela menghadapi resiko yang mungkin bisa terjadi. Suatu pengorbanan dan kepasrahan yang luar biasa !
Ketika beliaunya masih menjadi wakil gubernur selama 2 tahun, belum terlihat prestasi-prestasi “spektakuler” tersebut, selain adanya Kartu Jakarta sehat, kartu Jakarta pintar. Sidak ke kantor-kantor lurah dan camat. Kunjungan-kunjungan ke berbagai wilayah untuk melihat permasalahan-permasalahan Jakarta. Bahkan Pak Jokowipun masih harus keliling meninjau banjir yang dimana-mana itu. Tetapi setelah Pak Ahok ditetapkan sebagai gubernur, tak lama kemudian terlihat banyak perubahan yang terjadi di Jakarta, walaupun saya hanya melihatnya dari berita-berita televisi dan media on-line. Saya hanya bisa iri melihat semua itu. Kapan di tempat saya bisa begitu ?
Hal itulah yang membuat Pak Jokowi dan yang mendukungnya, mengajak banyak pihak untuk bisa merenungkan akan hal ini. Kalau sekedar emosi, yang penting gubernurnya bukan Ahok, kemudian di Pemda DKI terjadi lagi hal-hal seperti di masa lalu, siapa yang akan bertanggung jawab ? Bisakah kita “menjamin” bahwa penggantinya akan lebih baik atau sebaik Pak Ahok?
Sayangnya Pak Jokowi “tidak mampu” menyampaikan pernyataan tersebut secara terbuka kepada semua pihak. Beliaunya hanya mengingatkan tentang perlunya menjaga NKRI, sehingga respon silahturahmi yang sedang dilakukan ke ormas-ormas Islam itu justru dimaknai sebagai bagian dari intervensi. Intinya sebenarnya, Pak Ahok inilah yang bisa diharapkan untuk menjadi penyelamat Indonesia dari berbagai keterpurukan bangsa yang ada. Karena di samping dia mau bekerja keras, juga memiliki pemikiran yang cerdas dan kreatif, serta yang utama yaitu jujur dan berani menolak keinginan orang yang serakah. Andaikan Pak Ahok itu prestasinya sama saja dengan pejabat lainnya, maka situasinya tidak akan berlarut-larut seperti ini.
Itulah sebabnya Pak Jokowi dalam konferensi pers selalu mengatakan:” jangan mengorbankan NKRI”. Maksudnya kalau kita memaksa harus memenjarakan Pak Ahok, berarti harapan Indonesia menjadi lebih baik itu akan hilang kembali. Sebaliknya preman-preman sungguhan dan preman-preman berdasi itu kembali meraja-lela. Bahkan para preman berdasi ini bisa bekerja sama dengan luar negeri untuk menguras kekayaan Indonesia. Padahal realitanya yang berani menghadapi mereka itu, masih Pak Ahok saja. Ada memang beberapa tokoh baru muncul, tetapi tatarannya masih dalam pejabat yang bersih. Belum sampai pada berani melawan “penggarong” uang negara.