Selama ini kita selalu terkagum-kagum dengan kemajuan infrastruktur di negara-negara maju. Jalanan yang bagus dan lebar, teknologi canggih, listrik murah, bangunan megah, transportasi modern, dll. Tetapi, kita tidak pernah mengetahui seberapa besar utang negara-negara maju tersebut. Sehingga, jadinya kita hanya merasa iri-iri dan iri, serta terpukau ketika menyaksikan kemegahan-kemegahan negara maju tersebut.
Ternyata kemegahan negara-negara maju itu bukan karena mereka sangat sukses dengan perekonomiannya yang luar biasa, tetapi juga karena utangnya yang demikian besar.
Pertanyaannya: Bagaimana, kalau tiba-tiba negara-negara maju tersebut kesulitan dalam membayar cicilan utang-utangnya, karena pemasukan devisanya yang semakin berkurang ? Apalagi kalau perekonomian global sedang lesu seperti sekarang ini. Pernahkan kita terbayang apa dampaknya ? Amerika pernah heboh dengan kasus kesulitan bayar cicilan utang ini, dan Yunani sudah bangkrut.
Karena itu bersyukurlah kita semua, negara kita berada dalam posisi tidak bisa menambah utang sebanyak-banyaknya. Mengapa ? Korupsilah, yang membuat negara kita tidak bisa utang sebanyak-banyaknya. Karena digerogoti korupsi itulah, walaupun utang negara hanya sedikit yaitu 27% PDB, namun kita sudah kesulitan kalau tiba waktunya membayar cicilan utang tersebut. Ini hikmah yang bisa dipetik dari bobroknya perilaku korupsi bangsa Indonesia ini.
Kalau demikian, apakah para koruptor itu jadi pahlawan ? TIDAK juga. Karena, mereka sekarang yang harus balik kita kejar, supaya mau mengembalikan harta yang telah dicurinya itu untuk pembangunan Indonesia saat ini. Sebab kalau negara-negara maju tersebut sudah kesulitan untuk membayar cicilan utangnya, maka dampaknya kita juga tidak bisa, atau tidak mudah bila ingin berutang lagi. Lalu darimana uang untuk pembangunan itu ? Ya, berasal dari uang yang telah dicuri para koruptor itulah.
Pada sisi lain, pemerintah harus berupaya memperjuangkan agar 1$ nilai tukarnya sama dengan Rp 1. Tetapi maksudnya, tidak ekstrim bahwa nilai tukarnya langsung bisa Rp 1. Maksudnya, saat ini pemerintah harus semaksimal mungkin terus berupaya untuk bisa menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Caranya bagaimana ? Dengan usulan redenominasi yang dikurangi 3 nol-nya itu, sehingga 1$ langsung sama dengan Rp 13 ? BUKAN, karena itu biayanya akan sangat besar juga. Sebab kita harus mengganti semua uang rupiah yang ada. Di samping itu, juga tidak akan berpengaruh pada fundamental perekonomian kita di sini.
Lalu caranya bagaimana ? Dengan memperbanyak ekspor, sehingga kekayaan alam kita semakin habis ? Sebab yang diekspor itu kebanyakan merupakan bahan mentah ? Atau mengirim TKW dan TKI sebanyak-banyaknya ? Padahal kalau tenaga profesional, misalnya perawat atau dokter itu yang membiayai pendidikannya “kita sendiri”, tetapi kemudian yang memanfaatkan tenaga kerjanya justru negara lain. Enak benar mereka ? Apalagi kalau kemudian yang berobat ternyata orang Indonesia. Wah, pasti senang sekali mereka !
“Kalau rupiah menguat, sementara daya saing industri kita bermasalah, maka akan membuat ekspor kita menjadi kurang diminati. Sebaliknya kalau rupiah melemah, ekspornya akan untung, karena harga lebih murah berarti pembelinya lebih banyak”. Begitulah wacana pemikiran yang dilempar ke publik. Benarkah demikian ? Ternyata TIDAK JUGA, terbukti ketika rupiah terus melemah, ekspor kita juga menurun. Karena sebenarnya tentang mahal murahnya produk ekspor kita itu, tidak tergantung dari nilai tukar rupiah, tetapi tergantung dari lemah atau menguatnya nilai tukar masing-masing mata uang negara tersebut terhadap mata uang US$. Sedangkan harga produknya, tetap sama saja karena mereka membelinya dengan $.
Justru karena rupiah melemah, maka mereka belinya jadi lebih murah atau dapatnya lebih banyak. Kalau kebutuhannya tetap, maka pembeliannya tentu akan dikurangi. Tidak bertambah laris, sebagaimana yang dikatakan para pejabat itu. Sehingga, ekspor kita juga berkurang. Sementara para pengusaha Indonesia, memang ada penambahan keuntungan tiap satuan produknya, tetapi kalau total pembeliannya berkurang maka keuntungannya bisa tetap saja. Kecuali kalau permintaan tetap atau bertambah maka mereka akan dapat untung yang lebih besar. Inilah yang membuat, walaupun impor negara kita berkurang banyak, tetapi devisa yang diperoleh negara tidak juga meningkat secara signifikan. Bahkan sama-sama menurunnya.