Bagaimana solusi “kegagalan” APBN yang efektif ? Ini ada 2 cara. Solusi untuk jangka panjang, yaitu harus ada perubahan konsep penerimaan yang mendasar. Coba direnungkan: pemerintah mengandalkan pemasukan dari cukai rokok, padahal rokok itu ditengarai merusak kesehatan. Pemerintah mengandalkan penerimaan dari migas, padahal migas itu sendiri sebenarnya sangat dibutuhkan di negeri sendiri. Pemerintah ingin bersaing dengan produk luar negeri, sementara pajaknya dibandingkan dengan negara pesaing lebih mahal. Logikanya dimana ? Karena itu ke depannya, memang harus ada perombakan yang total terhadap konsep penerimaan negara ini. Juga perlu perencanaan yang matang untuk menetapkan program kerjanya. Jadi kalau setiap tahun pemerintah dan DPR itu selalu membuat APBN-P, seharusnya mereka malu karena perencanaannya selalu gagal.
Untuk yang jangka pendek bagaimana ? Tentu saya sangat setuju, kalau memotong anggaran yang sifatnya merupakan pemborosan, misalnya: rapat berkali-kali, studi banding yang hanya plesir saja (biasanya DPR dan DPRD), beli kendaraan dinas pejabat, pembangunan gedung pemerintah, dll. Tetapi, kalau dari pemotongan-pemotongan itu belum cukup, dengan indikasinya yaitu belanja/daya beli masyarakat yang masih lemah, maka kemudian pemerintah harus melakukan pemotongan belanja pegawai. Bukan dengan menambah utang baru.
Dimana hasil pemotongan gaji ini, kemudian dialokasikan pada hal yang produktif yaitu subsidi BBM. (Jangan menolak dulu !). Subsidi BBM ini dampaknya akan sangat efektif, karena akan bermanfaat pada kedua sisi, yaitu menurunnya biaya produksi dan meningkatnya daya beli rakyat. Namun untuk subsidi BBM ini harus diikuti dengan kebijakan yang bisa membuat mobil pribadi menjadi jarang digunakan. Banyak caranya dan itu sudah pernah saya bahas di sini.
Atau, bisa juga pemerintah melakukan pengurangan PPh badan atau PPN, terutama yang terkait dengan produk yang menjadi kebutuhan dasar rakyat, dll.
Tentunya pemerintah juga harus mengupayakan faktor penentu lainnya, yaitu tidak membuat nilai tukar rupiah menjadi mahal. Kemudian juga diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan, dll.
Dengan demikian diharapkan harga barang bisa menjadi lebih murah, tetapi kualitas produksi barang tidak menjadi berkurang. Juga daya beli rakyat menjadi meningkat. Dampaknya, permintaan terhadap produk–produk industri diharapkan semakin besar, dan ini akan menggelindingkan perkembangan ekonomi yang semakin membaik. Akhirnya akan meningkatkan penerimaan negara.
Bandingkan jumlah penduduk, jumlah cadangan devisa, dan nilai tukar mata uang berikut ini, berdasarkan data yang diambil dari tradingeconomics.com 29 Agustus 2016:
Oleh karena itu, saya sering meneriakkan tentang hal ini, karena Pak Jokowi tidak pernah “mengkaji secara serius” besarnya nilai tukar rupiah yang sangat jauh dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain. Juga tentang minimnya cadangan devisa negara yang kita miliki (alat untuk membayar kebutuhan negara yang terkait dengan luar negeri). Padahal itu sangat penting sekali, kalau kita ingin bisa meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Apalagi kalau kita ingin menyusul menjadi negara yang maju.
Sampai saat ini yang terpikirkan oleh pemerintah masih berkisar pada kebijakan mengurangi penggunaan valuta asing di dalam negeri, dan belum menyentuh permasalahannya secara komprehensif. Padahal saya sudah kirimkan konsep pemikiran untuk memperbaiki bangsa ini secara lebih lengkap, yang diawali dari hal sepele tetapi sangat mendasar, dan bisa dilakukan oleh banyak orang. Bukan dari yang masih tinggi di awang-awang, yang justru akan menyusahkan banyak korang. Pemerintah lebih banyak memperhatikan apa yang belum terjadi, dan tidak memaksimalkan apa yang sudah ada. Itulah kelemahan yang ingin saya koreksi. Sayangnya, sepertinya justru tidak diperhatikan !?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H