Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Utang Luar Negeri, Investasi Asing dan Kedaulatan Bangsa Indonesia

7 Januari 2016   12:35 Diperbarui: 10 Januari 2016   13:56 2527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk membayar cicilan utang tersebut, negara akan menggunakan yang namanya cadangan devisa. Negara-negara pengutang itu kecuali AS memiliki cadangan devisa yang cukup besar (bisa dilihat di tradingeconomics.com), sehingga kelancaran pembayaran utangnya tidak bermasalah. Sedangkan Indonesia,  jumlah cadangan devisanya sangat minim yaitu USD 100,240 milyar untuk kepentingan 250 juta orang. Juga, hasil kerjasama investasinya tidak memberikan keuntungan yang semestinya. Akibatnya untuk membayar utang negara ini, pemerintah harus mencari utang baru . Bahkan yang memberi utang itu justru negara-negara pengutang besar, a.l.: Jepang, AS, Singapura, Belanda. Jadi bukanlah hal yang mengherankan, kalau selama ini pemerintah kita seperti “tunduk atau bahkan takut” pada negara-negara tersebut.

Karena itulah Indonesia disebut telah salah kelola. Setiap tahun pemerintah rajin membayar cicilan utang, namun kehidupan rakyatnya banyak yang tidak sejahtera. Sementara jumlah utangnya, walaupun sudah dicicil terus ternyata tidaklah semakin berkurang, bahkan semakin banyak.

Investasi Asing
Pada sisi lain, kekayaan alam bangsa kita berupa migas dan bahan tambang lainnya terlanjur banyak dikuasai oleh asing, al: AS, Jepang, negara eropa, Cina dan Malaysia. Walaupun sebenarnya pada tahun 2015 -2021 ini banyak yang habis masa kontraknya tetapi sepertinya pemerintah hanya mengakuisisi Blok Mahakam saja dengan alasan anggaran negara untuk oprasionalnya tidak ada. Padahal seharusnya, bangsa kita tinggal meneruskan kepemilikannya saja. Atau, mungkin ini bagian dari komitmen permintaan utang-utang pemerintah tersebut ? Tentunya hanya pemerintahlah yang bisa menjawabnya.

Negara investor di Indonesia 5 terbesar tahun 2010 sampai 2015

Secara total, Singapura sejak 2010 merupakan investor terbesar diikuti Jepang dan AS. Namun AS dan Jepang sebelumnya juga memiliki investasi lainnya di bidang pertambangan.

Demikian juga terhadap investasi saham perusahaan. Investasi ini juga banyak dimiliki asing. Informasinya sampai lebih dari 60%. Padahal investasi jenis ini bisa keluar masuk sewaktu-waktu sesuai dengan prediksi besarnya keuntungan yang akan diperoleh para investornya. Mereka setiap saat bisa berpindah ke negara-negara yang dinilainya sangat menguntungkan. Akibatnya nilai tukar rupiah kita bisa bergerak seperti yoyo, bahkan bisa jatuh sangat dalam ketika para investor ini berbondong-bondong keluar dari Indonesia. Kemudian untuk menjaga agar rupiah tidak mengalami kejatuhan yang lebih dalam lagi, biasanya BI menggelontorkan cadangan devisa yang dimiliki. Karena jumlah cadangan devisa kita sangat minim, maka pemerintah/BI –pun terpaksa harus menjual surat utang atau mencari negara yang mau memberi utang baru guna menambah cadangan devisa kita. Di samping itu, pemerintah sampai tega mengirim TKW untuk menjadi “budak” di negara lain agar bisa mendapatkan devisanya.

Demi mendapatkan utang baru, pemerintahpun rela memberikan kompensasi apa saja atas utang yang akan diperolehnya, misalnya: produksi pesawat PT DI di jaman Pak Habibie harus dihentikan, subsidi BBM dikurangi, tak boleh memiliki mobil nasional, rela menjual indosat, rela menjual satelit yang kita miliki, mereka bisa terus investasi di bidang-bidang yang strategis, produk mereka bisa masuk dengan leluasa di negara kita, pemerintah mau membeli produk-produk tertentu dari mereka, pemerintah tetap diam saja walaupun harga diri negara ini dilecehkan oleh negara-negara tetangga, pemerintah tak berdaya ketika terjadi heboh penyadapan, dll. Artinya, karena sudah terjebak dalam utang tersebut, negara kita sudah kehilangan harapan kejayaan masa depan yang saat itu mulai dirintis, dan bahkan saat ini sudah kehilangan harga diri bangsa. Sadarkah kita akan hal ini ?

Sementara negara lain, utangnya jauh lebih besar dari negara kita tetapi cicilan utangnya bisa dibayar dengan hasil pengelolaan negaranya, terbukti mereka memiliki cadangan devisa yang jumlahnya cukup besar, bahkan jauh di atas Indonesia. Namun yang dimaksud dengan pengelolaan itu, diantaranya yaitu “pintar membodohi” bangsa Indonesia. Mereka pintar “mengakali bangsa kita” , misal: melakukan investasi pertambangan dengan bagi hasil yang tidak fair, terus mengutangi pemerintah sehingga bangsa kita semakin terjebak pada kompensasi yang merugikan , investasi di bidang-bidang yang strategis, menampung dana simpanan para pengusaha Indonesia, dll. Dimana kalau kita pikirkan dengan seksama berarti yang “membayar” utang-utang mereka ternyata “bangsa Indonesia” juga. Oleh karena itu, walaupun mereka memiliki utang yang jauh lebih besar dari Indonesia, namun harga diri negaranya tetap terhormat dibandingkan dengan negara kita. Sementara harga diri dan kedaulatan negara kita ternyata berada dalam “cengkeraman” mereka. Kalau kita berani mengganggu atau merugikan kepentingan mereka semua, maka negara ini terancam diumumkan sebagai negara yang gagal bayar cicilan utang karena tidak ada negara yang mau memberikan pinjaman kepada pemerintah kita. Malu bukan ?

Bagaimana di Era Pak Jokowi ?
Gebrakan di awal, seolah pemerintah berani menegakkan kedaulatan bangsa di mata bangsa lain dengan cara membakar perahu nelayan asing yang melakukan illegal fishing, menghukum mati penjahat narkoba yang berasal dari negara lain. Namun dalam perjalanan berikutnya menjelang satu tahun, tekanan-tekanan yang mengindikasikan bahwa bangsa /pemerintahan ini tidak bisa berdaulat itu sudah mulai terasa juga. Baru-baru ini dirilis berita ada penghentian hukuman mati untuk bandar/pengedar narkoba dengan alasan demi menjaga perkembangan perekonomian kita, tenaga kerja asing boleh masuk satu paket dengan investasinya dan tidak harus bisa berbahasa Indonesia, negara memaksakan diri menyetujui proyek KA Cepat Jakarta-Bandung yang sebelumnya dikatakan batal bahkan rela “menggadaikan” 3 bank BUMN kita sebagai jaminan, tidak jadi mengumumkan perusahaan yang terlibat pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Ekspor konsentrat PT Freeport diperpanjang lagi, dll.

Kalau berikutnya pemerintahan Pak Jokowi ternyata juga melupakan /mengabaikan “ Ajaran Trisakti-nya Bung Karno” dan melanjutkan “kegemaran” berutang negara ini, serta mengobral investasi asing terutama di bidang yang sangat strategis, yaitu : listrik , pelabuhan , bendungan, dll itu sama dengan menyerahkan ”leher atau jantung” negara kita ini ke negara lain. Apa ada negara yang mau membesarkan negara lain untuk menjadi pesaingnya di kemudian hari, selain mereka memiliki misi-misi tertentu ?

Buktipun sudah ada, antara lain: ketika pertambangan migas banyak yang habis kontrak, seharusnya kita senang bisa memiliki pertambangan sendiri, tetapi kenyataannya kita tetap saja membiarkan untuk diperpanjang lagi. Ketika listrik 10.000 megawatt ditangani negara Cina, kita harus menerima kenyataan adanya serbuan barang-barang mereka ke negeri ini. Di samping itu, target penyelesaian pembangunan listrik tersebut molor, dan setelah jadi ternyata juga bermasalah karena tidak sesuai dengan ordernya. Juga kapasitasnya tidak sebagaimana yang seharusnya. Mengapa bisa terjadi demikian ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun