Mohon tunggu...
Tanwir An Nadzir
Tanwir An Nadzir Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Forum Kajian Piramida Circle Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bu Eni dan Wajah Intoleransi Indonesia

14 Juni 2016   20:54 Diperbarui: 14 Juni 2016   21:05 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momentum Ramadhan kali ini cukup mengejutkan dengan adanya berita razia warung nasi bu Eni oleh Satpol PP. Dalam kejadian tersebut, terlihat satpol PP mengambil semua makanan ada tanpa tersisa. Di sisi lain, bu eni  (pemilik warung) menangis histeris tanpa bisa dihentikan. Atas kejadian tersebut memunculkan pelbagai argumen dari berbagai sisi. Baik sisi hukum, agama, maupun sosial.

Dari sisi hukum, Satpol PP dinilai ‘anarkis’ dalam mengerjakan tugasnya. Namun mereka berdalih bahwa apa yang dilakukannya merupakan tugas yang sudah ditetapkan dalam Perda Banten. Namun warung bu eni yang notabenenya warung kecil, Satpol PP mendapat counter strike, bagaimana razia di warung-warung yang besar, seperti di mall dll. Kejadian ini tentu terlihat adanya diskriminatif kepada wirausahawan kecil. Dengan kata lain, pemerintah tidak pro rakyat kecil.

Agamawan pun tak kalah diam. Melihat kasus tersebut berbagai ulama unjuk gigi menjelaskan mengenai hukum buka warung di bulan puasa. Ya, Ramadhan merupakan bulan yang religi, sehingga segala sesuatu yang bersifat religi tentu memiliki hukum agamanya. Inti jawabannya adalah tetap membolehkan seseorang membuka warung nasi pada saat ramadhan. Sebab, tidak semua orang (pada ramadhan) menjalankan puasa. Ada istilah ruksoh (keringanan) dalam Islam, sehingga orang tersebut boleh tidak puasa. Artinya orang yang membuka warung makan pada saat ramadhan itu dibolehkan untuk memfasilitasi orang yang terkena ruksoh.

Kalangan sosial pun bergerak, adanya kasus razia warung bu eni, masyarakat berbondong-bondong menyalurkan bantuan. Hingga kini lebih dari 200 kita sudah terkumpul. Uang tersebut diberikan kepada bu eni sebagai bentuk kepedulian bersama. Hal ini dilakukan dikarenakan geramnya masyarakat atas kezaliman pemerintah. Apa yang dilakukan satpol PP sudah dinilai berlebihan, dalam pandangan agama pun tidak dilarang. Oleh karena itu gerakan ini jelas diajukan sebagai kritik tajam kepada pemerintah.

Kasus di atas dapat dikemas dalam tiga point. Pertama pemerintah, kedua agama, ketiga sosial. Ketiga variabel ini terdapat argumen saling menyalahkan dan mencari pembenaran sendiri sendiri. Padahal menteri agama sudah memberikan statment untuk saling menghargai satu sama lain. Dengan kata lain, tidak perlu mencari siapa yang salah atau mana  yang benar. Dari sinilah kajian mengenai toleransi perlu diterapkan bersama.

Momentum religi di indonesia tidak hanya terjadi pada ramadhan. Indonesia memiliki banyak agama yang dianut oleh masyarakatnya. Beberapa agama besar seperti kristen, katolik, hindu, budha, konghucu. Ada juga agama kepercayaan yang berkembang sampai saat ini. Seperti sunda wiwitan, jawa-sunda, bratakesawa, dan agama kepercayaan lain yang tidak bisa disebut satu persatu. Di Hindu misalnya terdapat momen religi yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Bagi non Hindu pun harus menghargainya. Seperti momen Hari raya nyepi. Pada saat itu, seluruh aktivitas pemeluk hindu tidak melakukan apapun. Begitu juga dengan aktifitas lainnya, semuanya senyap.

Hindu di indonesia identik dengan daerah Bali. Pada saat nyepi, bisa dipastikan di Bali sunyi tanpa aktifitas. Baik aktifitas masyarakat bahkan rutinitas yang menghubungkan masyarakat bali dan lainnya ikut sepi. Seperti kejadian penutupan bandara-bandara yang ada di Bali. Padahal, selain identik dengan Hindu, bali identik dengan pariwisata internasional. Turis internasional banyak sekali yang berdatangan ke Bali untuk menikmati kecantikan pula Dewata ini. Bisa dibayangkan, jika bandara libur satu hari berapa kerugian perusahaan yang bekerja di bidang tersebut? Tapi demi menghargai satu sama lain, apakah materi selalu dijadikan alasan dan mengorbankan kehidmatan momentum agama?

Kasus Bu Eni memberikan catatan dimana momentum agama (Islam) cukup ternodai. Khususnya pembelaan yang berlebihan sehingga membolehkan kebebasan aktifitas non-puasa. Bahwa puasa adalah ibadah personal adalah benar. Akan tetapi mayoritas personal yang menjalankan ibadah tersebut nampaknya cukup dikatakan “ibadah sosial”. Mayoritas ini diambil dari banyaknya pemeluk agama islam dan banyaknya islam yang menjalankan puasa ramadhan.

Wajah toleransi di Bali sebenarnya sudah tercipta. Meskipun Hindu pemeluknya lebih kecil dari Islam, namun sikap toleran (dalam moment nyepi) diperlihatkan. Bahkan termasuk pemerintah, masyarakat (khususnya turis), ekonomi dan sebagainya ikut silent. Hal yang berbeda dalam moment ramadhan (Islam), semenjak kasus bu eni muncul, kejadian ini dijadikan momen untuk membebaskan ketidakmenghargainya orang yang tidak puasa kepada orang yang berpuasa.

Apabila yang disoroti adalah persoalan “anarkisme” razia satpol PP, maka sebenarnya tidak perlu memunculkan boleh atau tidak bolehnya buka warung nasi di siang Ramadhan. Apalah artinya “Ramadhan Karim” dan momen religius yang terkandung dalam ramadhan jika terus digerus secara perlahaan?

Saya memang bukan orang pintar, dna belum membaca kitab yang banyak. namun apa yang didapat dari berbagai informasi sebatas menganalisa. Asas diperbolehkannya membuka warung nasi adalah menghargai orang yang tidak puasa. Lalu bagaimana orang yang tidak berpuasa menhargai orang yang berpuasa? Jika saat nyepi sampai menutup bandara, bagaimana di Ramadhan? Apakah satpol PP yang tidak menghargai warung kecil? Atau ulama yang tidak menghargai? Atau memang masyarakat menginginkan puasa atau tidak sama saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun