Mohon tunggu...
Angin Kurima
Angin Kurima Mohon Tunggu... wiraswasta -

....I am a West Papua people and I am take care of human resorts in Grand Valley Dani-High Land of West Papua. "We must always remember that people do not fight for ideals or for the things on other people's minds. People fight for practical things: for peace for living better in peace and for their children's future. Liberty fraternity and equality continue to be empty words for people if they do not mean a real improvement in the conditions of their lives"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyelesaikan Masalah Papua dengan Bermartabat

10 Januari 2012   14:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326204589708257153

(By. Angin Kurima)

Semua rakyat Indonesia hampir “mengetahui” dan “paham”, tentang “persoalan- persoalan” “social politic” yang mecuat di Tanah Papua belakangan ini. Tak terkecuali, media local (nasional) maupun International di Tanah Air, meliput dan memberitakan semua peristiwa di Tanah Papua dengan rinci.

Sesungguhnya persoalan Papua bukanlah hal yang baru dan tabu bagi masyarakat kecil di Indonesia. Dalam beberapa pekan yang lalu, dalam sela-sela pertemuan dengan tokoh-tokoh gereja di Papua, yang difasilitasi oleh Gereja Kristen di Tanah Papua. Cukup menaruh simpati yang mendalam terhadap persoalan Papua, yang belakangan menjadi “dingin” dan tidak cepat diselesaikan, seperti “panas-panas tai ayam”.

Beberapa tokoh Gereja di Tanah Papua juga mengakui adanya persoalan yang berkaitan dengan “conflict culture” dan “Sejarah” yang cukup pelik untuk diselesaikan. Dan bahkan masalah ini menjadi semacam ideology yang bertumbuh dan berkembang secara turun-temurun. Dari generasi ke generasi di Tanah Papua.

Persoalan Culture

Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.

Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada bukunya.

Persoalan Sejarah

Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.

Kemudian lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).

Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari _Aceh sampai Ambon_, bukan dari _Sabang sampai Merauke_. Mohammad Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia.

Kemudaian pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus-2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian.

Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national _Kejora_, _Hai Tanahku Papua_ sebagai lagu kebangsaan dan nama negara _Papua Barat_. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea Raad/NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.

Pada 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.

Dalam hal ini juga Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.

Sesungguhnya hal yang sangat sulit dan rumit kalau bangsa Indonesia tidak melihat masalah culture dan sejarah yang berkepanjangan di atas ini. Untuk mrnguraikan dan menjelaskan akar-akar persoalan di atas, perlu ada semacam “kerja extra” dan mengambil tanggung jawab yang barat dengan keterbukaan hati oleh kedua bela pihak. Kemudian harus duduk dengan terbuka dan menyampaikan apa sebenarnya yang dinginkan oleh Papua dan Jakarta.

Format penyelesaian conflict juga diatur berdasarkan kesepakatan bersama (demokrasi). Artinya menggunakan nilai-nilai demokrasi. Seperti yang diungkapkan oleh Fareed Zakaria, dalam bukunya yang berjudul “The Future of Freedom” dalam paparannya mengatakan bahwa “Bagus dan Hebatnya Demokrasi, jika tidak diikuti dengan Keterbukaan dan Keiklasan untuk Menerima Pendapat dan Pandangan orang lain, sebagai wujud dari nilai Demokrasi itu. Sesungguhnya kita sedang tidak Demoratis”.

Nilai-nilai dasar yang perlu diambil dalam menyelesaikan conflict Papua adalah “Kesepakatan”. Tanpa ada kesepakatan dan pengakuan dari ke dua bela pihak terhadap persoalan yang berkepanjangan ini. Saya pikir persoalan Papua akan tetap muncul dan tetap ada. Maka perlu penyelesaian yang bermartabat, seperti ungkapan Presiden SBY.

Reference:

http://thisisdiversity.com/articles/all/4656/obama-stop-funding-indonesian-torture-of-papuans/

http://www.infopapua.org/artman/publish/article_2357.shtml

http://www.youtube.com/user/WestPapuaFreedom#p/a/u/0/P_VZVbyP0VA

http://www.frewestpapua/uk http://www.westpapua.net

http://www.westpapualife.uk http://www.westpapuadiary

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun