( By: Angin Kurima/ES )
WP : Pada tahun 1967 kontrak antara Freeport dan Pemerintah Indonesia ditandatangani. Kontrak ini turut menambah trauma dan luka bagi masyarakat Papua. Oleh karena itu, rakyat Papua saat ini menuntut transparansi dan juga meminta agar kontraknya ditinjau kembali. Tuntutannya daalah agar hak dan kepentingan masyarakat Papua sebagai pemegang hak ulayat terakomodasi dalam kontrak tersebut. Sepanjang kita mengerti, mereka yang hidup di atas tanah itu juga harus diakui hak-hak keasliannya secara bermartabat. Sampai sekarang orang Papua menerima 1 % terutama masyarakat yang hidup di seputar areal itu, tetapi mereka belum tahu, DPRD maupun DPR RI juga belum tahu, 1% tersebut diambil darimana dan apakah itu bentuk kompensasi yang memadai atau tidak? Bagi masyarakat Papua, kalau ada lahan besar yang tidak dilakukan aktivitas, lahan tersebut merupakan lahan berburu untuk memenuhi protein hewani. DPR Papua pernah membentuk Pansus Freeport. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Pansus tersebut adalah melakukan perbandingan dengan system yang diterapkan terhadap suku Maori, suku asli di New Zeeland. Sampai saat ini, Freeport belum penuh membangun jalan untuk menghubungkan gunung karena memang derahnya terjal dan terlalu jauh. Kalau bicara tentang hasil, maka tambang Freeport termasuk kapasitas terbesar dalam tambang dunia. Namun, masyarkatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Provinsi ini juga tidak dapat banyak, royaltinya kecil, secara bangsa dan negara Pemerintah Pusat sudah menipu dan menyengsarakan warga masyarakat kita. Source: http://www.ptfi.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H