Mohon tunggu...
Andi Zulfikar Darussalam
Andi Zulfikar Darussalam Mohon Tunggu... -

Student, Doctoral Program.\r\n\r\nBelajar menerima kebenaran dari siapapun.\r\n\r\nTidak ada yang benar 100% dan salah 100%, semua kemungkinan bisa terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama, a problem or a problem solver?

27 November 2014   03:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:44 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dapatkah agama menjadi solusi bagi masalah? jawabnya, tergantung darimana dan bagaimana kita melihatnya.

Dari banyak teori agama, suatu hal yang pasti, agama memberikan dan mengajarkan kebaikan bukan sebaliknya. Premis inilah yang seharusnya menjadi tolok ukur dalam segala bentuk interpretasi dalam penerapan ajaran agama.

Agama dan Sains: Sebuah Korelasi


Cacing Pita Menyerang Otak Manusia

Para peneliti pada Welcome Trust Sanger Institute, Inggris, yang dipimpin Hayley Bennett, menemukan cacing pita pada otak pasien dengan gangguan neurologi, seperti sakit kepala, hilang ingatan, dan kejang. Sebelum pembedahan, citra rontgen menujukkan objek itu di otak pasien berkebangsaan Tiongkok. Riset genom menemukan 1,26 miliar pasang gen. Jumlahnya 10 kali lebih besar daripada cacing pita lian. Banyak dari gen itu berfungsi mengurangi protein dan menginvansi inangnya secara mudah. Menurut Bennet, seperti dikutip Popsci.com, Minggu (23/11), parasit yang hidup di air itu masuk ke tubuh manusia karena mengonsumsi daging kepiting, amfibi, dan reptil terinfeksi, termasuk daging babi setengah matang. Spesies cacing ini  menyerap asam lemak di otak, menyebabkan peradangan hingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Riset dipublikasikan di Jurnal Genome Biology (Paragraf ini diambil di Kompas, 26/11/2014)

Dari potongan info sains di atas jika dihubungkan dengan konteks ajaran agama, khususnya agama Islam, mempunyai benang merah, terhadap bagaimana anjuran/perintah agama melarang memakan jenis  hewan tersebut, seperti: babi, binatang buas, binatang amfibi (kepiting, jenis reptil) dsb (silah googling), yang semua itu secara sains barulah dapat dibuktikan sekarang akan manfaat dari larangan agama tersebut.

Meski tokoh agama (Islam)  menyarankan agar tidak membatasi ajaran agama dalan satu konteks permsalahan, tetapi dalam konteks informasi penelitian di atas cukup memberikan gambaran akan bagaimana agama dapat memberikan solusi lebih awal, jauh sebelum adanya peralatan canggih zaman ini.

Beberapa poin penting:

1. Hendaknya agama dijadikan problem solver, bukan menjadi bagian dari masalah, karena agama muncul untuk mengajar dan menyebar kebaikan (baca: pencerahan/aufklarung), bukan sebaliknya.

2. Teks keagamaan muncul dalam suatu ruang dan waktu tertentu, ada yang bisa dilogikakan adapun yang tidak, justru letak pentingnya agama yakni kita 'yakin' akan ajarannya, tetapi yang beda cara memahaminya, ada yang tekstual dan kontekstual.

2. Menjadi problem solver, agama sebaiknya didekati dengan berbagai pendekatan (integrasi-interkoneksi) yang berujung kepada kebaikan diturunkannya agama, yaitu kebaikan bagi seluruh alam.

3. Menjadi insan beragama dibuktikan dengan perilaku keseharian, bukan hanya dari simbol agama, karena agama ialah nilai yang diamalkan dimana outputnya mencirikan simbol yang bernilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun