Mei 1956, Bung Karno melakukan kunjungan resmi ke Amerika Serikat. Ini pertama kalinya “Putra Sang Fajar” menginjakkan kaki di benua lain. Amerika Serikat, negeri yang dicap sebagai dedengkot imperialisme, pernah dikagumi oleh Soekarno muda.
Ketika masih muda, tepatnya bersekolah di HBS Surabaya, Soekarno sudah menyelami gagasan-gagasan Thomas Jefferson, salah satu bapak pendiri Amerika Serikat. Dalam beberapa tulisannya, Soekarno membandingkan “declaration of independence”-nya Thomas Jefferson dan “Manifesto Komunis-nya” Karl Marx dan Engels.
Kunjungan ke Amerika sangat berkesan bagi Bung Karno. Dalam perbincangan dengan Cindy Adams, wartawati AS yang mengerjakan otobiografi Bung Karno, ia bahkan ingat jumlah wartawan yang mengerubuti untuk wawancara dengan dirinya. “Ada 110 orang wartawan mengadakan wawancara denganku di Amerika Serikat,” tutur Bung Karno.
Orang Amerika, kata Bung Karno, sangat ramah. Tetapi ada satu hal yang tidak disukai Bung Karno: orang Amerika terlalu takut kepada bau keringat dan napas busuk. “Sikap demikian itu yang tidak bisa kupahami,” ujar Bung Karno.
Dalam kunjungannya, Bung Karno bukan hanya sibuk dengan urusan politik dan relasi antar kedua negara, tetapi ia juga sibuk mengamati situasi dan keadaan masyarakat Amerika. Bung Karno membuat penilaian tentang wanita Amerika yang dianggapnya “agressif” dan terkadang lebih tinggi dari suaminya.
Bung Karno senang melihat-lihat toko serba ada di Amerika. Kadang-kadang, tanpa diatur dan direncakan, Soekarno mendatangi toko-toko itu. Petugas keamanan pun dibuatnya kalang-kabut. Suatu hari, ditemani Nyonya Eric Johson—pemilik Motion Picture Association of America (MPAA), Bung Karno mengunjungi toko besar di California. Hari itu Bung Karno hendak membeli pesanan istrinya, kutang atau pakain dalam wanita.
Soekarno juga mengunjungi Hollywood. Ditemani Eric Johnstone, Bung Karno bertemu dengan banyak artis Hollywood. Marilyn Monroe, artis kenamaan Holywood dan sekaligus pujaan Bung Karno, juga hadir dalam sebuah perjamuan yang digelar oleh bos Motion Picture Producers Association, Eric Johnston.
Tetapi, sekalipun Bung Karno terlihat sangat menikmati kunjungannya, tetapi ia tidak larut dengan politik Amerika. Terhadap sekretaris negara AS saat itu, John Foster Dulles, Bung Karno menerankan bahwa politik Indonesia tidak akan menjadi negeri satelit dari salah satu blok: Amerika Serikat atau Uni Soviet. Tetapi Amerika tetap saja mencap negeri-negeri berposisi netral seperti Indonesia sebagai pendukung Soviet. “Politik Amerika bersifat global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah immoral,” kata Dulles.
Sikap Bung Karno juga disampaikan kepada Presiden AS, Dwight D. Eisenhower, dalam sebuah pertemuan khusus di gedung putih. Ia menjelaskan keengganan menggunakan sistim kapitalisme dan demokrasi ala barat. Sebaliknya, kata Soekarno, Indonesia akan menumbuhkan suatu cara baru yang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Sikap Bung Karno ini sejalan dengan sikapnya di dalam negeri, ketika berhadapan dengan keinginan yang hendak menjadikan Indonesia penganut demokrasi liberal. Dan saat itu, 1956, adalah tahun perjuangan mengubur demokrasi liberal di Indonesia.
Dalam pidato di depan Kongres Amerika, Bung Karno juga menegaskan seruannya untuk penghancuran nuklir. Pada bagian lain pidatonya, Bung Karno mengatakan Indonesia berterima kasih atas segala bantuan, apalagi jika mempercepat jalannya perjuangan. Tetapi, kata Soekarno menambahkan, Indonesia tidak rela seujung jari pun kemerdekaannya ditukar dengan bantuan asing.