Kerusakan lingkungan dan buruknya kualitas kehidupan masyarakat di bagian utara Bekasi sudah “lampu merah”. Pekan lalu masalah ini diangkat sebagai tema sebuah seminar oleh Sekolah Tinggi Attaqwa bekerjasama dengan Ikatan Abituren Attaqwa. KH Abid Marzuki M.Ed ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Attaqwa pun angkat bicara. Katanya, buruknya kualitas lingkungan hidup dan kehidupan di Bekasi Utara ini disebabkan karena pemimpin yang tidak peka. Masyarakat Bekasi sedang tidak punya pemimpin. Kalaupun ada pemimpin, mereka tidak hadir di tengah persoalan rakyatnya
MASIH LEKAT dalam ingatan, sekitar tahun 1977, saya berkunjung ke rumah encing (tante) di Pondok Soga. Pagi itu saya keluar rumah mandi di pinggir kali Bekasi. Airnya jernih, deras mengalir ke utara. Menjelang siang, saya membawa kail ikan, merapat ke semak-semak rerumputan di tepian kali. Dalam beberapa menit, saya sudah dapat beberapa ekor udang sebesar ibu jari dewasa. Bahkan saya sempat mendapat dua ekor udang catang, udang sebesar kepalan tangan dengan kaki-kakinya yang berwarna biru.
Pada sekitar tahun 1982, ketika saya bersama teman teman dari Pondok Pesantren Attaqwa kembali menjambangi daerah ini, kali itu sudah mulai tidak bersahabat, tak lagi mengalir dengan deras. Warna air pun tak lagi bening jernih. Hanya beberapa orang masih mandi di pinggir kali itu. Udang dan ikan-ikan mulai langka. Saya pun harus berburu lebih jauh lagi, ke Pondok Dua. Dengan menyewa perahu, kami memancing. Luar biasa, ikan lundu dan keting begitu mudah didapat. Udang juga masih bisa didapat di tepi tepian kali. Pondok Dua jaraknya sekitar 6 sampai 7 kilometer dari Pondok Soga ke arah utara.
Kini, suasana sudah sangat berbeda. Kali Bekasi yang pernah menjadi tumpuan masyarakat untuk mencuci, mandi dan mencari ikan, telah berubah total. Permukaan tertutup eceng gondok. Airnya hitam. Aromanya bau menyengat. Kalaupun ada ikan yang bertahan hidup hanya ikan sapu-sapu. Panjang kali Bekasi terbentang dari Babelan, Muara terus Ke Pondok Soga dan Pondok Dua. Kini sudah tak layak lagi disebut kali. Ia lebih cocok disebut comberan raksasa.
Masyakarat belahan utara Bekasi, mulai dari Babelan, Muara, Pondok Soga, Pondok Dua, Tanjung Aer, Bale Kambang, Muara Gembong dan sekitarnya telah menjadi korban kerusakan lingkungan. Kali tempat kehidupan mereka telah tercemar. Daerah ini pula yang menjadi langganan banjir ketika datang musim hujan. Di musim kemarau tanah-tanah pertaniannya retak, kering dan sulit air. Jangankan air mandi, air minum pun sukar didapat. Para ahli lingkungan menyebut mereka sebagai masyarakat terdampak buruk pembangunan.
Kini, kali yang menjadi penopang kehidupan masyarakat di utara Bekasi telah berubah. Kali Bekasi ini tak lagi mampu menopang kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kali yang tadinya bisa menjadi tempat mandi, cuci, cari ikan, jalur transportasi, telah berubah menjadi comberan yang menebar bau busuk. Tak ada lagi keramahan dari kali Bekasi.
Bagaimana dengan kali kali yang lain? Memang ada banyak sungai yang melewati wilayah Kabupaten Bekasi. Semuanya merupakan kali yang dulunya potensial sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dalam catatan Slamet Daroyn, peneliti dari ICLEI, sedikitnya ada 16 aliran sungai besardengan lebar berkisar antara 3 sampai 80 meter, yaitu Sungai Citarum, Sungai Bekasi, Sungai Cikarang, Sungai Ciherang, Sungai Belencong, Sungai jambe, Sungai Sadang, Sungai Cikedokan, Sungai Ulu, Sungai Cilemahabang, Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Siluman, Sungai Serengseng, Sungai Sepak dan Sungai Jaeran.
Selain itu ada 13 situyang tersebar di beberapa kecamatan dengan luas total 3 Ha sampai 40 Ha, yaitu Situ Tegal Abidin, Bojongmangu, Bungur, Ceper, Cipagadungan, Cipalahar, Ciantra, Taman, Burangkeng, Liang Maung, Cibeureum, Cilengsir, dan Binong. Namun kali dan situ ini bisa dipastikan sudah tak lagi menjadi kali dan situ yang bisa memberi manfaat lebih kepada masyarakat. Pesatnya pertumbuhan pembangunan di Bekasi membuat kali dan situ ini mangkrak, setidaknya tak lagi banyak memberi manfaat ekonomi langsung bagi warga sekitar.
Masih menurut Slamet Daroyn, saat ini kebutuhan air di Kabupaten Bekasi dipenuhi dari dua sumber, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah dimanfaatkan untuk pemukiman dan sebagian industri. Kondisi air tanah yang ada di wilayah Kabupaten Bekasi sebagian besar merupakan air tanah dangkal yang bera di Sda pada kedalaman 5 – 25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada umumnya didapat pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Air permukaan, seperti sungai, dimanfaatkan oleh PDAM untuk disalurkan kepada konsumennya, baik permukiman maupun industri. Tapi tentunya itu tidak dari kali Bekasi lagi.
Jangankan air kali, air tanah permukaan saja di wilayah utara Bekasi sudah sangat berbahaya bila dikonsumsi. Pada tahun 2000, KH Abid Marzuki bersama LSM lingkungan melakukan penelitian tentang air bersih di wilayah utara. Sampel air dari beberapa titik diteliti di lab Sucopindo. Hasilnya, air tanah apalagi air kali di Bekasi dianggap berbahaya untuk dikonsumsi dan tak layak unti cuci dan mandi. “Saat itu beberapa perusahaan masih diwajibkan melakukan pengolahan limbah industri mereka. Apalagi sekarang, ketika pabrik makin banyak dan mereka telah seenaknya membuang limbang langsung ke sungai,” kata KH Abid Marzuki, Ketua STAI Attaqwa.