Perbuatan yang paling tidak ku suka antara lain nebok celengan. Apapun alasannya, nebok celengan berarti menghentikan harapan, memutus cita-cita dan memenggal asa. Celengan adalah harapan, jika ditebok, maka itu pertanda berakhirnya harapan. Padahal dari celengan ini aku membangun banyak mimpi bersama isteri dan anak-anak. Tapi hari ini celengan itu kutebok. Dan pelan-pelan ku yakinkan isteri dan anak-anaku, tindakan nebok celengan saat ini karena alasan yang benar, Insya Allah.
Nyelengin alias nabung itu fardu ain. Semasa kecil, setiap kami diberi satu celengan. Kata ayahku, kalau ingin senang nanti di masa tua, tiap hari harus bisa nyelengin. Tentunya dari uang jajan. Lebih dari itu kata ayahku, ukuran ketakwaan seseorang bisa juga dilihat dari tabungannya. Hanya orang yang punya tabungan cukup yang bisa dijamin masuk surga. Tentu tabungan yang ini adalah tabungan amal sholeh. Kalau ingin senang di masa tua harus nabung sedari kecil, kalau ingin mendapat surga juga harus nabung dengan jalan memperbanyak amal soleh.
Selain perintah untuk bertaqwa, Allah juga memerintahkan kepada setiap pribadi untuk mempersiapkan diri menghadapi hari esok. Maknanya, bisa persiapan dengan memperbanyak amal soleh untuk menghadap keharibaan Allah swt, bisa juga persiapan tabungan matrial agar hari esok tidak mengalami kesulitan hidup. Seorang muslim hendaknya bisa mempersiapkan perencanaan keuangannya dengan sebaik-baiknya. Caranya ya dengan jalan menabung.
Kisah takwil mimpi Nabi Yusuf as, juga mengandung pesan yang sangat jelas. Kencangkan ikat pinggang, kerja keras bercocok tanam di masa subur. Hasil yang berlimpah hendaknya disimpan sebagian untuk bekal kelak ketika masuk masa sulit, ketika lahan pertanian kering dan tanaman pun tidak subur. Saat itu tabungan yang berlimpah akan menjadi bekal untuk kelangsungan hidup. Terbukti, rakyat Mesir saat itu tetap tidak menjadi rakyat yang kelaparan. Bangsa yang gemar menabung akan sejahtera.
Ini berbeda dengan fenomena hidup modern saat ini. Bukan gerakan menabung yang populer, tapi yang massif juateru sebaliknya, semangat berhutang. Hampir tiap hari ada ajakan untuk hutang. Rumah ngutang, televisi ngutang, sofa ngutang, motor ngutang, mobil ngutang, buku ngutang, komputer ngutang, baju ngutang, celana ngutang. Untuk kebutuhan sehari-hari seperti beras dan lauk pauk juga ngutang. Ngutang bukan lagi sebuah keterpaksaan, tapi telah menjadi budaya dan gaya hidup. Para kapitalis telah berhasil membalikkan utang dari sesuatu yang memalukan menjadi keharusan.
Tidak sampai disitu, ibadah haji pun bisa ngutang. Umroh apalagi. Tanah kuburan bisa diperoleh dengan cara ngutang. Padahal kata orang tua saya, jangan gampang ngutang. Karena orang yang meninggal dalam keadaan punya utang arwahnya terlunta-lunta diantara langit dan bumi. Saya gak ngarti nasihat itu masih berlaku atau tidak. Oh jangan khawatir, kata sales kartu kredit, utang anda diasuransikan. Kalau meninggal, anda bebas dari kewajiban mencicil utangan. Laaah iya lah, masa sudah meninggal masih harus mencicil utang. Kebangetan.
Tapi yang menarik, utang telah menjadi budaya dan gaya hidup dalam kehidupan orang modern saat ini. Sedang menabung sebagai bentuk persiapan menyongsong masa depan semakin termarginalisaasikan. Semakin tidak menarik dan semakin dianggap tidak menguntungkan. Dari budaya menabung yang terbukti dan ampuh dalam membangun masa depan, kini logika orang telah berubah seratus delapan puluh derajat. Dari kelas pribadi, bisnis, sampai negara semua berlomba memperbanyak utang. Orang modern mengubur diri dengan beragam hutangan. Maka jangan sesali nasib kalau saat ini orang hanya jungkir balik pontang panting bekerja siang malam dekadar untuk membayar utangang dengan bunganya memang seleher. Menabung berbuah kesejahteraan, hutang tentu sebaliknya, berbuah kesengsaraan.
Mari kita bermuhasabah. Berapa utang pribadi kita, utang bini kita, utang rumah tangga kita. Ada berapa jenis kreditan yang nguber-uber kehidupan kita setiap hari. Berapa utang perusaan tempat kita bekerja. Berapa utang negara kita. Maka wajar kalau saat ini kita selalu merasa sempit hidup, karena memang selalu terjepit utang.
Kalau hari ini tabungan saya tebok, ini saya lakukan karena amat sangat terpaksa. Saya gak mau tabungan itu menjadi kurus kering terhimpit inflasi. Setiap hari lonjakan harga barang lebih kencang larinya dibanding bagi hasil bank tempat saya titip tabungan itu. Saya ingat kata guru saya, yang mengutip teorinya Imam Ghozali, harta ibarat darah di dalam tubuhmu, harus mengalir. Ketika berhenti mengalir alias terjadi sumbatan, dia pasti jadi penyakit. Harta juga seperti air di muka bumi, harus mengalir. Ketika tersumbat dia pasti menimbulkan bencana. Wallohu a’lam bis shawab,.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H