Berita menggembirakan datang dari Washington DC, Amerika Serikat. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, masyarakat dinilai semakin rasional dalam menentukan sikap politik dan lebih selektif dalam menilai kebijakan pemerintahan. Hal ini terungkap pada diskusi bertajuk “Wajah Politik Indonesia Era Jokowi” yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni (ILUNI) UI Chapter USA dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada(Kagama) Chapter DC, bekerja sama dengan Rumah Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh salah satu pembicara, yakni pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Phillips J. Vermonte.
“Belum pernah kita mengalami suatu periode masyarakat yang sangat opinionated, yang punya pendapat terhadap suatu hal. Misalnya subsidi BBM. Ada pendukung BBM yang mati-matian mendukung Jokowi waktu kampanye, begitu soal subsidi BBM dia tidak senang sama Jokowi. Tapi dia senang waktu Jokowi menenggalamkan kapal,” kata Phillips J. Vermonte.
Dengan meningkatknya rasionalitas pemilih dalam melihat setiap isu, kata Phillips, maka sikap mereka terhadap kebijakan pemerintah pun tidak lagi tunggal. Mereka lebih melihat secara mikro untuk setiap kebijakan.
“Masyarakat sekarang mulai melihat isu per isu. Mereka tidak men-define pemerintahan dengan hanya satu isu. One policy does not define the government. Ini melatih masyarakat untuk menjalankan politik yang lebih rasional,” ujar doktor lulusan Northern Illinois University, AS, ini.
Rasionalitas masyarakat kembali diuji dengan kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan di era awal pemerintahan Jokowi-JK. Pasca kenaikan BBM, inflasi meningkat. Kondisi ini diperparah oleh nilai tukar rupiah yang ambruk tidak wajar, rupiah bahkan bertekuk lutut terhadap mata uang regional. Seperti dikutip dari data perdagangan Reuters, Senin (15/12/2014), rupiah juga melemah terhadap ringgit Malaysia, dolar Hong Kong, dolar Singapura, dan yen Jepang.
Sementara itu pemerintah masih menganggap remeh adanya ancaman krisis ekonomi sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil, pada tahun 1998, posisi Indonesia lebih kental karena pengaruh persoalan politik. Selain itu, ditambah oleh dampak krisis moneter di negara-negara Asia.
"Nggak lah, artinya kondisi 98 sangat politik, bersamaan (dengan ekonomi). Tapi lebih kepada krisis politik saat itu, dan krisis di Asia," ungkap Sofyan di kantornya, Jakarta, Senin (15/12/2014).
Sofyan meyakini ekonomi Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik. Tidak ada resiko seperti pada krisis ekonomi tahun 1998.
"Ekonomi kita secara umum bagus sekali, politik kita aman sekali, presiden kita sangat populer dan kebijakan luar biasa bagusnya," jelasnya.
Popularitas Presiden dan jaminan adanya stabilitas seperti yang dikatakan Menko Ekonomi tersebut, tentu juga akan disikapi rakyat secara rasional, sebagaimana sinyalemen Philips J. Vermonte. Rakyat butuh pembuktian, mampukah popularitas Presiden mengenyangkan perut rakyat.
Di sisi lain, saat ini hampir semua kebijakan pemerintahan Jokowi-JK belum bisa dirasakan oleh rakyat korelasinya terhadap kesejahteraan. Mulai dari kenaikan harga BBM, harga gas, hingga tarif dasar listrik (TDL), kemudian diikuti dengan melonjaknya harga barang. Bukan hanya rakyat kecil, kalangan pengusaha juga tertekan oleh kenaikan bahan baku produksi, bunga bank tinggi, dan kenaikan UMR dalam rangka menjaga daya beli buruh. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi dipastikan melambat. Alih-alih lapangan kerja meningkat, yang terjadi bisa sebaliknya. Sementara itu di luar negeri, terdengar pula kabar buruk akan dideportasinya 50 ribu TKI oleh pemerintah Malaysia yang sebelumnya menuduh Presiden Jokowi bersikap jumawa.
Situasi yang dirasakan rakyat saat ini, digambarkan oleh Siti Zuhro, Pengamat Politik dari LIPI.
“Kalau ke masyarakat jangan bluffing, tapi harus konkrit. Kesannya pemerintah hanya membuat kebijakan tambah sulam. Masyarakat kecewa dengan kebijakan yang tidak pro rakyat. Hal-hal ini merupakan pertarungan legitimasi Pak Jokowi yang akan terus merosot. Ini akan jadi bumerang bagi pemerintah. Jadi hentikan politik pencitraan dan perhatikan rakyat kecil,” sambung Siti.
Siti berharap pemerintah melakukan kerja yang lebih kongkrit yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat pengaruhnya pada peningkatan kesejahteraan.
“Pemerintah bilang kerja, kerja, kerja tapi terkesan kamuflase. Kebijakan yang dibuat pemerintah menimbulkan ketidakpastian. Ga perlu politik pencitraan, kapan kerja yang konkrit,” ujar Siti.
Penenggelaman perahu dan kapal ikan ilegal oleh kapal-kapal perang dibantu helikopter tempur TNI dengan cara ditembak dan dibom, tentu bermanfaat untuk mengamankan aset negara. Namun kehebohan atraksi tersebut tentu perlu diiringi dengan upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Menteri Perikanan jangan hanya sibuk memelototi kapal pelanggar teritorial yang mana sebenarnya merupakan domain TNI. Berapapun perahu dan kapal ilegal yang ditenggelamkan, hasil tangkapan ikan nelayan tidaklah akan meningkat. Kesejahteraan nelayan inilah yang semestinya menjadi perhatian utama Menteri Perikanan.
Kondisi kehidupan yang semakin menjepit rakyat ini , mau tidak mau akan membuat mereka semakin rasional menilai pemerintah. Demikian pula pendukung Presiden, khususnya ketika mereka merasakan kepopuleran Presiden belum bisa mengenyangkan perut rakyat.
Pendukung irasional tentu tetap ada, yakni mereka yang menganggap Presiden Jokowi tidak pernah salah atau orang suci. Fenomena itu rupanya luput dari perhatian Philips, sebagaimana kejadian unik di Banjarnegara ini.
Pada saat meninjau lokasi longsor, sepatu kerja pantofel baru milik Presiden Jokowi yang semula bewarna hitam mengkilat, berlumuran lumpur. Sebelum memasuki mobil, Jokowi pun membersihkan kaki dan sepatunya dengan menggunakan air yang sudah disiapkan di dalam ember. Sesaat setelah Jokowi meninggalkan lokasi, ratusan warga yang sudah berdesak-desakan untuk melihat lebih dekat orang nomor satu di negeri ini, langsung menyerbu sisa air cucian Jokowi.
Mereka menganggap bahwa air bersih sisa yang digunakan Jokowi dapat membawa berkah.
"Alhamdulilah saya senang, bisa basuh muka saya dengan air bersih sisa milik Pak Jokowi. Ya semoga berkah" ujar Marnoto, warga Desa Pencil, Kecamatan Karangkobar, usai membasuh muka dengan air bersih sisa Jokowi.
Warga lainnya, Yuni (26) berharap setelah membasuh mukanya dengan air bersih sisa dari Presiden RI dapat mendapat keberkahan.
"Ya moga-moga aja nasib saya ke depan bisa sukses kayak Pak Presiden," kata dia.
Warga berebut air cucian kaki Jokowi (sumber: tribunnews.com)
Adakah pendukung Jokowi di Kompasiana yang termasuk kelompok irasioanal, mirip saudara kita yang di Banjarnegara, saya kok yakin tidak..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H