Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Presiden Naik Pesawat Komersial, Hemat atau Boros?

2 Desember 2014   17:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:14 5559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174965951568357202

[caption id="attachment_379940" align="aligncenter" width="560" caption="Sumber: TRIBUN TIMUR/MUTMAINNAH"][/caption]

Presiden Joko Widodo hari ini kembali meneruskan kebiasaannya “blusukan”. Kali ini beliau bertolak ke Semarang, Jawa Tengah. Dalam kegiatannya ini, Presiden memilih menaiki pesawat komersial ketimbang menggunakan pesawat kepresidenan Boeing Business Jet II. Presiden beralasan agar lebih hemat, mengingat jumlah rombongan yang dibawa hanya berjumlah 15 orang. Jumlah itu kurang dari setengah kapasitas pesawat kepresidenan yang biasa menampung sekitar 40 orang.

Presiden dijadwalkan bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta dengan menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Pesawat akan lepas landas menuju Bandara Ahmad Yani, Semarang, sekitar pukul 07.55 WIB dan kembali ke Jakarta pada pukul 16.25 WIB. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menjelaskan bahwa kedatangan Jokowi ke Semarang adalah untuk bertemu sejumlah kepala satuan wilayah, mulai dari Kapolda hingga Kapolres seluruh Indonesia.

Dengan demikian pesawat kepresidenan Boeing Business Jet II seharga 91,2 juta dolar AS, tetap di hanggar. Padahal pesawat yang dibeli 5 bulan menjelang SBY lengser itu, sedianya digunakan Presiden RI untuk lawatan ke dalam negeri dan ke kawasan ASEAN. Alasan SBY membeli pesawat kepresidenan ketika itu, justru dalam rangka menghemat anggaran mengingat seringnya negara men-carter pesawat yang mana biayanya jauh lebih besar. Berbeda dengan SBY, Presiden Jokowi memilih untuk tidak menggunakan pesawat kepresidenan, tidak pula men-carter pesawat, namun hanya membeli tiket dan menaiki pesawat komersial.

Benarkah naik pesawat komersial, negara hemat?

Menarik untuk dikaji, apakah benar negara lebih hemat jika Presiden Jokowi menaiki pesawat komersial ketimbang menggunakan pesawat kepresidenan yang sudah ada.

Harga tiket Garuda rute Jakarta-Semarang hari ini pada kisaran Rp 770 ribu hingga Rp 2,7 juta, tergantung kelas dan waktu penerbangan. Katakanlah rombongan Presiden membayar tiket dengan harga rata-rata sebesat Rp 1,8 juta. Maka biaya perjalanan untuk 15 orang PP adalah sekitar Rp 54 juta.

Adapun jika Presiden menggunakan pesawat kepresidenan, biaya yang dikeluarkan nyaris hanya untuk avtur dan honor kru pesawat. Sementara itu biaya operasional pesawat lainnya sudah termasuk "fix cost". Artinya, baik pesawat itu digunakan atau tidak, tetap saja ada biaya yang mesti dikeluarkan, seperti biaya perawatan berkala, tunjangan untuk pilot dan kru berhubung mereka harus "stand by" jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Presiden, serta biaya lainnya.

Walhasil besar biaya yang dikeluarkan negara untuk kedua opsi tersebut, mungkin beda-beda tipis. Di sisi lain, Presiden menggunakan pesawat komersial akan menyebabkan langkah pengamanannya menjadi lebih rumit dan bisa berdampak pada biaya operasional Paspampres. Selain itu, kehadiran Presiden di bandara maupun di atas pesawat, bisa menimbulkan beberapa ketidaknyamanan bagi para penumpang lainnya. Gerutuan salah seorang warga negara ini, barangkali bisa mewakili para penumpang yang mungkin terganggu oleh kehadiran Presiden bersama rombongan dengan pengawalan yang ketat itu.

"Why should he go through the metal detector, join the queue, etc? Sir, stop polishing your image, just act natural," Rangga Aditya commented on news portal Detik.com. (Sumber: www.straitstimes.com)

Adanya biaya perawatan pesawat kepresidenan dan juga biaya untuk membeli tiket pesawat komersial bagi Presiden dan rombongan, tentu akan menyebabkan terjadinya "dobel" anggaran untuk satu tujuan yang sama. Sebagaimana dulu "dobel" anggaran ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI, beliau men-carter mobil Kijang Innova untuk "blusukan" namun juga menggunakan mobil dinas Camry atau Fortuner untuk kegiatan lainnya. Jika Presiden Jokowi serius ingin berhemat dan tidak mau menggunakan pesawat kepresidenan, akan lebih bijak jika pesawat kepresidenan itu dijual saja, sebagaimana dulu pernah dilontarkan oleh politisi PDIP Maruarar Sirait. Wacana yang dilontarkan Maruar tersebut, ketika itu menimbulkan pro-kontra.

Pengamat ekonomi Institute for Development and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menyayangkan wacana penjualan. Menurut Enny penjualan pesawat kepresidenan justru tidak efektif. Pasalnya, pembelian pesawat tersebut awalnya justru untuk penghematan. Asal-muasal dibelinya pesawat kepresidenan memang untuk menghemat anggaran perjalanan dinas presiden yang terlalu besar gara-gara selalu menyewa pesawat.

Pengamat Penerbangan, Jusman Syafii Djamal juga kurang sepakat. Pesawat kepresidenan, menurut Jusman, bukan persoalan harga melainkan tingkat keselamatan dan keamanan kepala negara yang harus dibedakan dengan penduduk lain. Proteksi presiden dan wakil presiden harus lebih tinggi dari yang lain,” kata Jusman

Presiden Jokowi sendiri saat itu juga belum berpikir untuk menjualnya. “Siapa yang bilang (hendak menjual pesawat kepresidenan)? Naik saja belum sudah mau dijual,” ujarnya ketika itu.

Presidan Jokowi memiliki gaya dan fokus yang berbeda dengan SBY, oleh karenanya sinyalemen pihak-pihak yang keberatan pesawat itu dijual, bisa jadi tidak relevan lagi untuk saat ini. Perbedaan SBY dengan Jokowi antara lain:

SBY dalam periode kedua jabatannya sangat sering melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka menjalin hubungan internasional. Jokowi diperkirakan akan lebih fokus ke dalam urusan dalam negeri. Selain itu, pemerintahan Jokowi juga bertekad meminimalkan perjalanan dinas ke luar negeri.

Untuk perjalanan di dalam negeri, Jokowi lebih senang lewat darat karena bisa sekalian “blusukan”, sebagaimana perjalanannya ke Sumatera baru-baru ini. Adapun jika butuh pesawat, Jokowi tidak sungkan naik pesawat komersial.

Jokowi juga tidak memiliki kekhawatiran berlebihan soal keselamatan dan sudah membuktikan, ke luar negeri sekalipun, dengan pesawat komersial, bahkan kelas ekonomi, ternyata cukup aman.

Bisa disimpulkan, Jokowi akan sangat jarang memakai pesawat kepresidenan. Walhasil pesawat kepresidenan bernilai satu triliun rupiah lebih itu, tidak lagi efisien dan menjadi beban negara. Frekuensi pemakaiannya jarang, sementara itu biaya perawatan mesti tetap dikeluarkan, tunjangan pilot dan kru, penurunan nilai aset dan lain-lain. Jika dijual atau disewakan, tentu lebih menguntungkan bagi negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun