Pernyataan resmi International Monetary Fund (IMF) yang menegaskan Indonesia tidak lagi memiliki utang terhadap lembaga tersebut, semestinya bisa mengakhiri polemik yang banyak dibicarakan belakangan ini.
"Pada saat ini Indonesia tidak memiliki pinjaman dari IMF", tegas Adviser IMF, Benedict Bingham hari Rabu, 29 April 2015.
Jelas sudah, Presiden Jokowi keliru atau mendapat informasi keliru karena menyebutkan Indonesia masih punya hutang kepada IMF.
"Siapa yang bilang anti (IMF), kita masih pinjam ke sana kok. Siapa yang kritik, itu sebuah pandangan," ujar Jokowi sebelumnya.
IMF sekaligus juga membenarkan klaim mantan Presiden Susilo Yudhoyono yang menyebut hutang Indonesia pada IMFsudah lunas sejak tahun 2006. SBY menyatakan hal itu sebagai klarifikasi atas pernyataan Jokowi yang menurutnya kurang valid. Penjelasan SBY bahwa Indonesia tidak punya hutang lagi pada IMF, juga dibenarkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan juga diamini oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Koreksi SBY terhadap pernyataan Jokowi adalah wajar, beliau sekedar menggunakan hak jawab dan melakukan klarifikasi. Di era yang lalu, SBY merasa pernah menyebutkan bahwa Indonesia telah melunasi hutang pada IMF, untuk itu dia tidak ingin dituduh telah berbohong oleh publik. Selain itu, penting pula bagi Presiden Jokowi agar tidak melakukan kekeliruan berkelanjutan dan punya persepsi yang keliru. Dalam hal ini, SBY telah membantu Jokowi dengan memberi informasi yang lebih valid menyangkut hutang dengan pihak IMF tersebut.
Sayangnya, Jokowi tidak menangkap maksud baik SBY tersebut, namun malah "menyerang" pendahulunya itu dengan sindiran-sindiran.
Jokowi kembali angkat bicara soal hutang Indonesia kepada lembaga-lembaga keuangan internasional. Ia menyebut, hutang Indonesia saat ini masih Rp2.600 triliun, baik hutang bilateral ke negara-negara lain, maupun ke World Bank dan Asian Development Bank (ADB). Namun kali ini Jokowi tidak lagi menyebut IMF, hal mana secara tidak langsung menunjukan beliau telah menyadari kekeliruannya.
Jokowi juga melunak dengan menyatakan tidak masalah dengan hutang ini, hanya saja dia tidak mengiginkan hutang tersebut digunakan untuk subsidi BBM.
“Ya kita blak-blakan saja, memang itu. Yang paling penting dihitung. Sebetulnya utang itu juga tidak apa-apa kok, jangan terus kita alergi utang, nggak. Utang itu tidak apa-apa asal dipakai untuk produktivitas, untuk hal-hal yang produktif,” kata Presiden Jokowi seperti yang dilansir dari laman Setkab, Kamis (30/4).
Menurut Jokowi, utang untuk membangun jalan boleh, untuk membangun jembatan boleh, untuk membangun perumahan boleh, untuk membangun pelabuhan, membangun airport boleh, itu produktif.
“Tapi kalau kita pinjam, kemudian untuk subsidi BBM itu yang saya tidak, tidak, keliru kalau itu,” ujar Jokowi.
Ucapan Jokowi tersebut tentu mudah dibaca sebagai sindiran pada pemerintah sebelumnya, khususnya era SBY.
Tudingan Jokowi tersebut tentu bisa menjadi perdebatan baru yang tidak perlu. Katakanlah pemerintahan Jokowi bertekad untuk menggunakan pinjaman bank asing untuk hal produktif, tetap saja subsidi yang diberikan kepada rakyat dari sumber lain akan berdampak pada besarnya hutang. Triliyuan rupiah subsidi yang diberikan pemerintahan Jokowi dalam bentuk KIS , KIP, KKS, Kartu BBM subsidi untuk nelayan, subsidi pupuk dan lain-lain, sekalipun bukan dari hutang, namun akan berdampak pada besarnya hutang negara. Seandainya semua dana subsidi tersebut dialihkan ke hal produktif, untuk membangun infrastruktur misalnya, pemerintah Jokowi tentu tidak perlu berhutang sebanyak yang direncanakan saat ini. Artinya, sulit untuk memilah subsidi dari hutang atau bukan, selama negara masih mengambil banyak pinjaman dari bank asing.
Hal yang terpenting dari berhutang tentu kemampuan membayar. Dalam hal ini, pemerintahan Jokowi perlu berterimakasih pada SBY karena telah mewariskan pemerintahan dengan kondisi keuangan yang cukup sehat, sebagaimana diakui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil. Saat ini, menurut Sofyan , rasio hutang luar negeri pemerintah terhadap Gross Domestic Product (GDP) masih cukup bagus sehingga dia cukup percaya diri untuk menambah hutang lagi.
"Utang kita enggak apa-apa. Rasio utang terhadap GDP masih rendah sekali, dibandingkan dengan negara lain utangnya di atas 200 persen," ucap Sofyan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (27/2/2015).
Alangkah eloknya jika setiap Presiden menghormati pendahulunya dan menjaga hubungan baik. Bagaimanapun, para mantan presiden dengan pengalamannya tentu memilki informasi-informasi yang dibutuhkan penerusnya. Jika hubungan antara mantan presiden dengan penerusnya baik, tentu mereka tidak sungkan untuk terus berkontribusi bagi negara, bahkan mereka bisa menjadi “mentor” bagi Presiden aktif.
Andaikata Jokowi mengakui kekeliruannya secara terbuka dan berterimakasih pada SBY, publik tentu akan sangat mengapresiasi. Jokowi akan dianggap sebagai pemimpin yang memilki budi pekerti tinggi dan layak diteladani. SBY juga akan sumringah dan akan terus memberikan dukungan sekuat tenaga, minimal pemikiran, agar penerusnya itu sukses memimpin negara ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI