Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Oknum DPRD Komisi E "Pemesan" UPS Ini, Tak Nikmati Hasilnya

18 Maret 2015   12:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara dugaan korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) menimbulkan kerugian negara yang cukup fantastis, taksiran polisi nilainya mencapai Rp 50 miliar. Anggaran untuk pengadaan UPS muncul bukan pada pembahasan APBD DKI Jakarta 2014, akan tetapi masuk saat penyusunan APBD Perubahan DKI Jakarta 2014 dengan nilai sekitar Rp 330 miliar.

Pembahasan RAPBD-P 2014 diawali dengan penyampaian Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan 2014 oleh Pemprov DKI kepada DPRD. Pihak yang menyusun KUA dan PPAS adalah Tim anggaran Pemprov DKI atau TAPD yang terdiri atas Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) serta Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta. TAPD pula yang mengisi kode rekening dan nomenklatur. Begitu pula angka-angka rupiah untuk anggaran pembelian UPS. Merekalah yang bisa menilai harga UPS dan membuat patokan harga.

DPRD DKI nyaris tidak punya waktu untuk membahas secara detail KUA dan PPAS tersebut mengingat saat itu periode transisi, masa tugas dewan segera akan berakhir. Penetapan APBD-P DKI 2014 dilakukan pada pertengahan Agustus tahun 2014, beberapa hari menjelang berakhirnya masa tugas anggota DPRD DKI Periode 2009-2014. Walhasil DPRD DKI boleh dibilang sangat "ngebut" dalam membahas RAPBD-P tersebut. Bahkan menurut beberapa anggota dewan, RAPBD-P tersebut langsung saja disetujui.

Bagaimanapun Polda Metro Jaya tentu perlu memanggil dan meminta keterangan pihak DPRD DKI Jakarta khususnya Komisi E yang mengurusi bidang pendidikan. Komisi E yang dimaksud adalah dewan periode sebelumnya yang terlibat membahas anggaran UPS. Sebagaimana juga polisi berkepentingan pula memeriksa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai pihak yang terlibat menandatangani SPD untuk pembelian UPS tersebut.

Namun polisi tampaknya akan kesulitan mencari benang merah keterlibatan anggota DPRD terhadap kasus korupsinya. Jika proyek UPS adalah pesanan oknum anggota DPRD yang masa tugasnya akan berakhir, tentu sulit baginya untuk mengawal proyek UPS itu nanti. Kalaupun terpilih, tidak ada jaminan dia akan tetap di komisi E tersebut agar bisa terus berhubungan dengan Suku Dinas terkait. Sangat  naif anggota DPRD memesan proyek yang kecil kemungkinannya akan bisa dia ikut nikmati. Pengusaha juga tidak bodoh untuk mengijon proyek melalui anggota DPRD yang akan berakhir masa jabatannya. Tentu lebih terjamin jika mereka "memesan" proyek melalui pihak eksekutif saja.

Pihak yang sebenarnya paling bertanggung jawab dalam pengadaan UPS adalah Bappeda DKI, Unit Layanan Pengadaan dan Suku Dinas. Seluruh proses lelang yang terjadi dilaksanakan oleh pihak eksekutif ini dan pembeliannya ternyata sudah melalui proses lelang yang sah. Sangat aneh jika kemudian Mantan Kepala Dinas Pendidikan Lasro Marbun mengaku kecolongan pada pengadaan UPS bernilai lebih kurang Rp 330 miliar tersebut. dengan nilai kontrak Rp 5,8 miliar per unit.

"Saya waktu itu kaget anggaran itu bisa masuk. Padahal, pas pembahasan tidak ada," ujar pria yang kini menjadi Kepala Inspektorat DKI Jakarta itu.

Sejauh ini pihak kepolisian masih intensif memeriksa bawahan Ahok pada institusi yang dipimpinnya dan sudah menyita Rp 1,5 miliar dari calon tersangka. Polda Metro Jaya telah memanggil 35 saksi dalam kasus ini, mulai dari perusahaan pemenang tender, sekolah penerima UPS, dan sejumlah pejabat DKI Jakarta. Beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah DKI yang diperiksa adalah mantan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lasro Marbun; Ibnu Hajar, Sudin Dikmen Jakarta Barat; Rani Nurani, pejabat pemeriksa hasil pekerjaan Sudin Dikmen Jakarta Barat; dua pejabat pembuat komitmen yakni Alex Usman dan mantan Kepala Sudin Dikmen Jakarta Pusat Zaenal Soelaiman; dan tiga orang pejabat pemeriksa hasil pekerjaan. Penyidik sudah mendapatkan gambaran siapa pihak yang bermain dalam proyek bernilai miliaran itu dan sejauh ini belum satupun oknum DPRD yang dipanggil polisi.

Hal yang menarik, penerima terbesar anggaran UPS tahun 2014 adalah wilayah Jakarta Barat. Pada awal tahun 2015 Ahok memindahkan salah satu pejabat kepercayaannya di Sudin Dikmen dari Jakarta Barat ke Jakarta Selatan. Mutasi pejabat pilihan Ahok hasil lelang jabatan tersebut ternyata membawa "berkah" bagi Jakarta Selatan, yakni kecipratan pula anggaran UPS cukup besar pada RAPBD 2015.

Artikel terkait:

http://politik.kompasiana.com/2015/03/12/ups-meletup-sambar-pejabat-pengagum-ahok--706387.html

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun